11. Hendry; He's Gone

9 4 0
                                    

—𝘿𝙪𝙠𝙖 𝙙𝙖𝙣 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙢𝙚𝙡𝙪𝙗𝙚𝙧 𝙙𝙞 𝙢𝙪𝙠𝙖 𝙩𝙖𝙣𝙖𝙝, 𝙗𝙖𝙨𝙠𝙖𝙧𝙖 𝙥𝙚𝙧𝙜𝙞 𝙢𝙚𝙣𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡𝙠𝙖𝙣 𝙡𝙖𝙣𝙜𝙞𝙩 𝙩𝙖𝙣𝙥𝙖 𝙟𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖. 𝘼𝙠𝙪 𝙙𝙞 𝙨𝙞𝙣𝙞, 𝙗𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙡𝙖𝙣𝙜𝙞𝙩 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙪𝙡𝙖𝙞 𝙩𝙖𝙢𝙥𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙪𝙖. 𝙏𝙚𝙣𝙖𝙣𝙜𝙡𝙖𝙝 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙙𝙞𝙥𝙚𝙡𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙨𝙖𝙢𝙪𝙙𝙚𝙧𝙖 𝙨𝙪𝙧𝙜𝙖—

🥀🥀🥀___________________________

Tidak ada sepatah kata terucap dari bibir pemuda itu sejak beberapa menit lalu, seolah sepatah kata yang terlafal kian mahal, ia hanya fokus mematut diri di depan cermin.

Sebuah refleksi lain menunjukan eksistensinya, seorang pria tua yang menatap penuh kagum di balik punggung sang putra.

𝙃𝙚𝙣𝙙𝙚𝙧𝙮 menekuk bibirnya kebawah, tidak ada esensi bahagia yang tercipta. Pun ketidaknyamanan yang terdefinisi dari bahasa tubuhnya.

Dengan gerakan yang semakin cepat, pemuda 17 tahun itu buru-buru menyelesaikan tatanan rambutnya, bahkan dasi yang belum sempat tersampul dengan benar ia kesampingkan.

Seolah ada yang salah dengan tatapan itu, kedua manik sepuh dengan garis wajah rapuh memberi segenap perasaan gelisah, padahal sebenarnya tidak.

Hendery juga menyukai dirinya di balik seragam yang begitu ia banggakan. Menampakan diri dengan indah sebagai satu-satunya orang yang mengeyam pendidikan tertinggi dalam garis keluarga.

Namun ia tidak tahu pasti penyebab timbulnya perasaan ganjil dalam hati. Tidak juga berniat mengeksplor rasa, sebab takut jika celah terbuka sedikit saja, mungkin Hendery bisa menemukan seberapa buruk perasaannya.

Dari pada sisi emosional menguasai, pemuda itu lebih memilih menghindari, dan memutuskan untuk melangkahkan kakinya cepat.

“Mau berangkat? Tolong ambilin teh manis A𝘣𝘢𝘩 dulu.”

Baru selangkah, pemuda itu memaksa langkahnya terhenti. Hanya sedetik terintrupsi, tapi ironinya begitu Hendery sesalkan. Remaja itu memutar balik dengan agresif, sebelum meraih segelas teh manis dari sebuah nakas tua sesuai permintaan abah—𝘢𝘺𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢.

“Nih!”

Tangan yang tidak lagi kokoh itu menerima dengan gemetar, kepulan asap mengepul di antara dinginnya suhu, menyesap teh yang satu-satunya penghangat dan pemanis bagi pria tua itu.

Sekadar dilidah, tidak ada sensasi hangat dan manis dalam ‘arti lain’ di kehidupannya. Agaknya mereka yang melihat pun bisa tahu, begitu juga dengan Hendery yang banyak merasakan pahit.

“Aheng berangkat dulu.” Ia pamit, dengan gerak mulut yang bahkan tidak terbuka sepenuhnya, nyaris menggumam dan tanpa niat.

Menundukan diri agar sejajar dengan sang ayah yang duduk di papan tanpa alas sebelum akhirnya mencium tangan sebagaimana mestinya.

Sedangkan sang ayah tersenyum menanggapi, sudah terbiasa menikmati nada dingin yang nampaknya kekal. Tidak ada sajian lain di pagi yang mengigit tulang itu.

Pria lanjut usia itu menatap nanar kepergian putra semata wayangnya, dengan ketidak tahuan bahwa sebenarnya kala Hendery membuka mulut lebih lebar ia takut akan mengeluarkan kata-kata fatal.

“Iya, hati-hati, ya. Semoga dapet rezeki.”

“Hm.”

Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Hendery pergi membelekangi dengan do'a yang menjadi bekal utama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sweetizen [NCT's Oneshoot Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang