BAB III

5 2 0
                                    

RENUNGAN YANG DIANGKAT DARI KISAH NYATA!!

Lamat-lamat kudengar suara dua orang yang tengah beradu mulut, dan membuatku terbangun di pertengahan malam. Suara mereka terdengar semakin keras dan jelas.

"Apa sih maumu! Suami baru pulang, capek, bukannya disambut ramah, malah dicecar begini!"

"Oh, jadi kelayapan malam-malam bikin capek, ya, Mas? Kalau begitu kenapa enggak di rumah aja? Temenin istri, kek! Lihat, perutku sudah semakin besar! Ketimbang kelayapan enggak jelas malem-malem, mendingan malemnya dipakai buat istirahat! Terus bangun pagi, cari kerja apa, kek! Persediaan bahan pokok di dapur udah pada habis, Mas! Aku juga lagi bingung, besok mau makan apa! Duit yang kamu kasih seminggu yang lalu juga sudah habis!"

"Sudah cukup ngomel-ngomelnya? Kalau sudah aku mau tidur! Capek juga dengerin istri mau enaknya sendiri kayak kamu!"

"Siapa bilang aku mau enaknya sendiri, Mas! Aku ini istrimu, juga ibu rumah tangga! Semua pekerjaan rumah, ngurus anak, semua aku yang urus, Mas. Kamu sih enak jadi laki-laki. Bisanya menafkahi doang. Itu pun enggak pernah cukup. Sebab kamu sukanya malas-malasan!"

Kemudian suara seperti sebuah pukulan atau tamparan keras mengejutkanku. Astaga, apa yang terjadi?

Nina, gadis imut berusia tujuh tahun yang tengah tidur di sebelahku pun mendadak terbangun. Matanya terbelalak dengan telinga mengawasi.

Sementara suara tangisan seorang perempuan yang tak lain adalah ibu kandungnya sendiri, seolah memberitahu Nina perihal apa yang tengah terjadi.

Nina bangkit dan duduk di kasur dengan wajah gelisah, gemetar, ketakutan. Tak lama kemudian, ia menoleh ke arahku yang masih terbaring. Tangan lembutnya meraih tubuhku, mendekapku ke dalam pelukannya, erat. Dan aku dapat merasakan betapa cepat suara detak jantung Nina. Gadis ini ketakutan. Sangat ketakutan.

"Perempuan sialan! Bisanya cuma ngomel dan merepotkan!"

"Ayo tampar lagi, Mas! Tampar lagi biar kamu puas! Biar aku sadar, kamu tak lebih hanya pendusta! Mana janjimu dulu sebelum kita menikah? Kau pernah bilang ingin membahagiakanku. Buktinya, setelah menikah, hidupku sangat menderita! Menyesal aku nikah sama kamu!"

"Aku juga menyesal menikah dengan perempuan tukang ngomel kayak kamu!"

"Seharusnya aku berpikir ulang sebelum menikah denganmu dulu. Pantas ayah dan ibuku meragukan keseriusanmu! Mereka benar, lelaki pemalas kayak kamu enggak bakalan becus menafkahiku!"

"Cukup!! Kalau begitu, biar aku pergi dan silakan kamu urus dirimu sendiri! Dasar perempuan sialan!"

Suara keras kembali mengejutkanku dan Nina. Kali ini bukan suara tamparan, melainkan suara seperti benda berbahan kaca dibanting. Lalu suara pintu ditutup dengan cara dibanting juga terdengar. Dan suara isak tangisan Mamanya Nina masih terus memecah kesunyian malam.

Kurasakan sesuatu yang basah menimpa gaun indahku. Oh, ternyata Ninaku juga sedang terisak. Ninaku pasti sedih karena hampir setiap hari mendengar dan mendapati tragedi pertengkaran papa-mamanya seperti ini. Jangankan Nina, aku pun turut prihatin.

Andai aku bisa mengatakan pada dua orang itu bahwa aku lelah mendengar pertikaian demi pertikaian. Aku kasihan kepada Nina. Dia selalu menangis dan ketakutan setiap kali kedua orang tuanya bertengkar.

"Ya Allah, Nina enggak mau papa dan mama bertengkar terus. Jangan biarkan mereka bertengkar lagi. Nina takut ...." Begitulah doa-doa Ninaku sembari terisak.

"Aamiin," ucapku turut mendoakan.

Ingin rasanya kuusap air mata yang membasahi wajah Nina. Namun, apalah daya. Aku hanya bisa menatapnya iba, dan membiarkan tubuhku disentuh, rambut panjangku dimainkannya, dan apapun terserah Nina memperlakukanku.

Setiap hari, bahkan setiap saat, akulah yang bermain dan menemani Nina. Kadang-kadang Nina tersenyum menatapku, kadang-kadang ia gemas dan mencubit pipiku, kadang-kadang dia mengajakku berbincang tentang perasaannya atau bercurhat tentang ketidakakuran kedua orang tuanya, lalu dia menangis.

Aku selalu bilang padanya, "Sabar Ninaku. Aku selalu bersamamu."

Hingga hari demi hari, pertengkaran yang biasanya terjadi, hampir tak pernah ada lagi. Awalnya aku senang, sebab doaku dan Nina sepertinya sudah terkabul. Akan tetapi, ada yang aneh. Papanya Nina sudah tidak kelihatan batang hidungnya lagi.

Mamanya Nina juga menjadi sangat aneh. Dia menjadi sering tertawa sendiri, menyanyi sendiri, berjingkrak-jingkrak tak jelas, mengobrol sendiri, lalu menangis sendiri. Gelagatnya menjadi sangat berbeda. Bahkan penampilannya menjadi seratus delapan puluh derajat berubah.

Mamanya Nina yang biasanya terlihat cantik itu, sekarang menjadi awut-awutan, bau karena jarang mandi, pakaiannya tidak teratur lagi, kadang malah tidak berpakaian sama sekali.

Orang-orang sekitar, seperti para tetangga menjadi sering kesal akibat ulah Mamanya Nina. Pernah beberapa kali, Mamanya Nina diomeli karena mencuri di warung Mbok Sri. Pernah beberapa kali juga, Mamanya Nina menangkap ayam milik tetangga dan memasaknya sendiri di rumah. Ada saja ulah Mamanya Nina.

Nina sendiri menjadi sering diabaikan, tidak dirawat seperti dulu. Nina semakin sering menangis, wajahnya murung, tubuhnya semakin kurus. Tak hanya itu, Nina pun tidak lagi berangkat ke sekolah. Nina suka menyendiri di kamar, sebab mamanya juga tidak mau didekati oleh Nina. Nina menangis.

Sampai kusadari, tak hanya Mamanya Nina yang berubah menjadi aneh. Ninaku pun sekarang sangat berbeda. Ia tak lagi mau bermain denganku. Ia tak mau mengobrol lagi denganku. Ia tak mau menyisir rambut panjangku lagi. Ia tak mau mendandaniku lagi. Bahkan untuk sekadar menyentuhku.

Aku dibiarkannya terjatuh di lantai kamarnya. Bahkan yang paling menyakiti hatiku, Nina pernah menginjak dan menendangku dengan sengaja, dan tak meminta maaf.

Padahal dulu, Nina begitu lembut memperlakukanku. Nina tak pernah membiarkanku jatuh dan kesakitan. Sekalipun dia tak sengaja menjatuhkanku, Nina akan langsung mencium kening dan pipiku, meminta maaf, kemudian memelukku. Itulah Ninaku, sahabat terbaik yang sangat menyayangiku, sebelum berubah aneh seperti sekarang.

Sekarang, Nina ikut Mamanya, pergi entah ke mana, meninggalkanku sendirian dengan tubuh tak beraturan. Ya, terakhir kali Nina menyentuhku, ia menusuk-nusuk tubuhku dengan pisau dapur. Nina mematahkan kedua tangan dan kakiku, bahkan kepalaku.

Kini, aku bukan lagi sesosok boneka imut nan menggemaskan. Aku hanyalah seonggok sampah yang mungkin siap dibuang ketika sudah tertemukan orang. Menyedihkan ....

______________________________________

Pesan moral dari Nonashitha:

"Menikah bukan hanya tentang menyatukan dua insan yang saling mencintai. Sebab cinta dapat tumbuh sekaligus dapat tumbang karena keadaan. Maka dari itu, mempersiapkan diri sebelum menikah bukan hanya tentang kematangan ekonomi, tetapi juga kematangan mengontrol emosional diri."

"Jangan biarkan anak menjadi korban keegoisan orang tua. Bila tidak mampu memberikan yang terbaik, setidaknya berikanlah contoh melalui ucapan dan perilaku yang baik-baik."

"Jikalau bisa, berpisahlah baik-baik, tanpa menyakiti pihak mana pun, termasuk tanpa menyakiti mental anak."

Terima kasih sudah berkenan membaca. Salam hangat dari Nonashitha.

Dari Hati Untuk HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang