"Saya ngga bakal tinggalkan kamu kok, tenang saja. Saya bakal ada di samping kamu."
Begitulah yang dikatakan Canda beberapa tahun lalu. Nyatanya kata itu kini hanya bak kata penghibur semata yang tak memiliki arti.
Daania ingat betul momen itu. Momen di mana dia menangis dengan perihnya saat harus kehilangan cinta pertamanya-- Papa. Dengan peluh bercucuran di dahinya, Canda terus mengatakan kata-kata penenang untuk Daania.
Bahkan dia juga rela meninggalkan sesi perkuliahannya begitu menerima telepon dari Daania yang menangis sendu sambil mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal. Begitulah Canda selama ini di hidup Daania. Selalu hadir selama 24/7 dalam kesehariannya selama lima tahun terakhir. Namun kini keadaan berubah dalam semalam, Canda tiba-tiba saja pergi dari hidupnya dan memulai sebuah hidup yang baru.
"Sudah lama menunggu, ya, Daa?" itu suara Canda. Hanya Canda yang memanggilnya dengan panggilan itu. Tanpa perlu melirik pun Daania tahu siapa orang yang sedang berbicara dengannya. Tepat sekali, tadi Daania baru saja memikirkan kenangan masa lalu dengan lelaki di hadapannya.
Daania sendiri hanya menggeleng menanggapi pertanyaan tersebut.
"Maaf, ya, saya telat."
Suasana kali ini amat sangat membuat Daania tak nyaman. Tadi siang, Canda tiba-tiba saja menelponnya dan mengajaknya untuk bertemu di kafe dekat kantor. Dapat Daania tebak kearah mana pembicaraan ini akan berlabuh.
"Langsung ke intinya aja. Gue lagi ada urusan kebetulan." Daania benar-benar ingin segera mengakhiri suasana ini. Daania tahu bahwa sikapnya saat ini sangat kekanakan, tapi sungguh Daania rasanya sudah tak ingin bertemu Canda.
"Kamu lagi mencoba menghindari saya? Saya sudah beberapa hari ini menghubungi kamu tapi semua pesan saya tak pernah dibalas. Begitupun dengan semua telpon saya. Ada masalah apa, Daa?"
Daania tersenyum kecut kearah Canda. Baru kali ini dia bertemu lelaki yang amat sangat tak peka seperti Canda. Sungguh. Selama ini Daania sudah memberikan semua afeksi dan perhatiannya pada Canda, bagaimana bisa Canda tak pernah menyadarinya? Bagaimana bisa dia tak merasa bersalah sedikitpun saat dia tak mengenalkan pacarnya pada Daania?
Bahkan mereka sudah saling berjanji untuk memberitahu satu sama lain saat hendak menikah. Bagaimana bisa Canda tak mengatakan apapun pada Daania? Padahal hubungan mereka baik-baik saja. Padahal selama ini mereka masih bertukar kabar. Walau Daania akui bahwa beberapa hari ini Daania mulai menghindari Canda. Setelah mengetahui kabar pernikahan Canda, Daania segera menutup semua akses komunikasi dengan lelaki itu.
"Masalah lu bilang? Gila! Yang bener aja?!"
"Daania, saya ngga bakal tahu apa yang kamu rasa kalau kamu tak pernah cerita." Sedikitpun Canda tak pernah melepaskan pandangannya pada Daania. Sebaliknya, Daania justru terus saja memalingkan wajahnya dari Canda.
"Katakan! Katakan sejak kapan kamu berpacaran dengan Amara? Gue bukan mau ikut campur, tapi kita udah janji untuk ngasih tahu satu sama lain." Tubuhnya bergetar hebat akibat amarah yang ditahan.
Di sudut lain hatinya, Daania merasakan nyeri yang amat sangat dalam. Ternyata dia bahkan belum mampu menyebut nama wanita itu.
"Baru satu bulan, ah tidak tepatnya baru satu bulan lebih dua minggu. Saya tak bisa menceritakan kehidupan pribadiku padamu Daania." Berbeda dari sebelumnya, kali ini Canda justru menundukkan pandangannya. Tak berani menatap Daania.
"Lalu, lu anggap gue apa, Canda?! Gue tahu gue ga pernah punya hak apapun atas hidup lu. Gue amat sangat tahu. Tapi gimana bisa lu ngga cerita soal pernikahan lu sama gue?" air mata kini mulai membendung sudut mata Daania.

KAMU SEDANG MEMBACA
Canda
Romansa"Gue suka sama lu, Can. Dari sejak kita ketemu. Dari jaman kita masih kuliah. Lu pikir aja kenapa gue selama ini ga pernah pacaran? Lu pikir aja gimana perasaan gue waktu tau lu punya pacar bahkan mau nikah? Friendzone sialan--" Daania "Mungkin kita...