Pilihan

7 2 2
                                    

Blitz lampu menyilaukan pandangan Daania. Tampaknya hari ini suasana kantor sudah amat sangat sibuk. Sejak tadi, beberapa staf sudah mondar mandir membawa properti untuk pemotretan produk lipstik terbaru yang bertema korean look. 

Daania sendiri dari tadi masih melihat-lihat  beberapa contoh moodboard syuting  hari ini. Di sebelahnya, Danu sedang mengontrol proses jalannya pemotretan.

"Nu, menurut gue, makeup nya kurang korean look deh. Eye make up terlalu berlebihan menurut gue. Mending pakai warna-warna peach aja deh. Terus lipsticknya mending di ombre aja ga sih?"

Danu sempat melirik sekilas pada Daania, lalu selanjutnya memperhatikan makeup para model yang sedang difoto.

"Kalau untuk lipstick kita foto dua kali sih. Nanti ada yang foto lipstick ombre gitu. Biar keliatan aja ini warna-warnanya. Jadi ada Katalog shade warna-warnanya gitu sih menurut gue." Daania hanya menganggukkan kepalanya. Menerima usul dari Danu.

"Btw, Daania... bisa tolong bawain beberapa properti buat pemotretan produknya ga? Sudah ada di box di meja kerja gue, ya." Daania meletakan laptop yang tengah dipegangnya sejak tadi pada Danu. Lalu segera bergegas untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan Danu.

Hanya butuh sekitar beberapa menit bagi Daania untuk melaksanakan tugas yang diberikan padanya. 

Kebetulan saat ini merupakan waktu istirahat. Setiap staf diberikan nasi kotak yang sudah dipesan sebelum pemotretan dimulai. Daania sendiri duduk berempat dengan Danu dan kedua staf marketing lainnya. Di sela makan siang itu, Danu tiba-tiba saja membuka obrolan, "Kalian tahu ngga kalau perusahaan kita bakal buka cabang loh di daerah Bali? Tapi kali ini bukan fokus ke kosmetik, justru fokus ke beberapa essential oil sama body care gitu."

Kami bertiga serempak menggeleng mendengar ucapan Danu. Daania sendiri sempat menghentikan makannya sekilas. Menebak-nebak siapa yang akan dimutasi dan  menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Selintas Daania sempat bergidik ngeri. Daania merupakan tipikal orang yang paling sulit beradaptasi dengan lingkungan. Wanita itu tipikal yang selalu mengutamakan kenyamanan. Baginya, jika dia sudah nyaman dalam sebuah lingkungan, maka dia tak akan pernah mau pindah dari tempat itu.

"Menurut loh siapa nih yang bakal dimutasi? Jauh loh kali ini, tapi lumayan menarik sih di Bali. Kalo kalian dapat tawaran mutasi mau diambil atau ngga?" sahut Pamela heboh.

"Kalo gue sih dapet tawaran mutasi ke Bali, kayaknya bakal diambil sih. Gila secara bisa kerja sambil jalan-jalan." Kali ini Sultan mengungkapkan pendapatnya. Sedang Daania dan Danu  hanya mengedikkan bahu dan melanjutkan makan. Mereka sepertinya sedang berpikir dan menebak-nebak siapa yang akan mendapatkan tugas tersebut.

Disela makannya, Daania mendapati bahwa ponselnya bergetar beberapa kali. Nama Canda muncul di layar display ponselnya. Sejenak Daania mematung mencoba menimbang untuk mengangkat telepon tersebut. Namun hatinya urung untuk menerimanya dan memilih untuk menyimpannya kembali di saku blazernya. 

Sejak obrolan mereka kemarin, Daania kembali mengacuhkan Canda. Semua panggilan dan pesan Canda tak ada yang diangkat maupun dibalas olehnya. 

Daania sempat membacanya sekilas, Canda kembali meminta untuk bertemu dan menyelesaikan permasalahan mereka. Menurut Canda, masih ada yang belum usai di antara hubungan mereka. Canda masih saja meminta untuk mempertahankan persahabatan ini. Sedang Daania sendiri sudah tak bisa bersahabat dengan Canda. Hatinya sudah amat dalam menyukai Canda. Persahabatan yang dibumbui oleh perasaan cinta tak akan pernah bisa berjalan dengan lancar, hanya mampu menyakiti satu sama lain.

"Take 1! Rolling Action!" Suara itu mampu membuyarkan lamunan Daania. Akhirnya Daania harus kembali pada realita di mana Canda hanya salah satu bagian dalam hidupnya. Masih banyak hal lain yang harus Daania perjuangkan dalam hidupnya, melanjutkan mimpi salah satunya. Maka hari itu, Daania mencoba menenggelamkan kekalutan hatinya pada pekerjaan.

****

"Jadi, gimana? Mau diambil atau ga tawaran dari bosmu?" Ariani sudah menanyakan pertanyaan itu kurang lebih tiga kali pada Daania. Sedang wanita itu masih saja menyantap indomie kuah rasa soto kesukaannya dengan khidmat. Sekilas Ariani mampu melihat Daania mengedikkan bahunya asal. Masih tak mau menanggapi ucapannya.

"Lu dari tadi denger gue ngomong ga sih? Capek gue dari tadi ngomong sama lu." Kesal Ariani pada Daania.
Saat itu juga Daania segera mengakhiri acara makannya, diteguknya air minumnya dalam sekali teguk.
Lalu ditegakkannya badannya, memandang lurus pada Ariani sambil berucap, "Ga tau."

Sore tadi, Daania tiba-tiba saja dipanggil oleh pihak HRD yang memberikan surat pemindahan tugas padanya. Ternyata karyawan yang sempat dibicarakan oleh rekannya untuk pindah tugas adalah dirinya. Ternyata karyawan yang sempat dianggap kasian oleh dirinya adalah dirinya sendiri. 

Hidup ternyata cukup lucu bagi Daania. Bagaimana bisa dia tiba-tiba saja dapat kesempatan untuk pergi ke tempat yang cukup jauh. Bagaimana bisa dia pindah dan meninggalkan kota Jakarta, kota yang sudah membesarkannya. 

Walau saat ini Daania tinggal terpisah dari orang tuanya, tapi Daania sudah tinggal di Jakarta selama kurang lebih hampir setengah hidupnya. Masa remajanya dia habiskan di kota metropolitan ini. Jadi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sulit bagi Daania untuk pindah. 

Di lain sisi, Daania seperti mendapatkan angin segar dan kesempatan cerah dalam hidupnya. Bukan. Bukan kesempatan untuk mengejar mimpi dan mengejar karirnya. Melainkan kesempatan untuk menghindar dari Canda. Rasanya, Daania kini menjadi seorang pengecut yang bahkan tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

"Apa gue coba terima aja, ya? Gue juga lagi jenuh banget sama kota Jakarta," Daania bicara asal sambil melahap kerupuk bulat yang sebelumnya sudah melempem karena dimasukan ke dalam kuah indomie rasa soto. Terdengar helaan napas lelah selanjutnya dari Daania.

"Coba pikirkan ulang. Jangan ambil keputusan tanpa pertimbangan. Jangan juga ambil keputusan hanya karena lu mau lari dari masalah," ucap Ariani bijak. 

Ariani sendiri tak mengharapkan kepindahan Daania. Karena jika Daania benar memilih untuk pindah, maka akan sulit bagi nya untuk bertemu dan bersenda gurau seperti saat ini. Ariani tahu bahwa apa yang sedang Daania alami pasti membuatnya terasa sesak dan ingin pergi ke tempat yang jauh hanya sekedar untuk melupakan masalahnya. 

Namun lari dari masalah tak akan pernah menyelesaikan apapun. Justru dapat memperkeruh keadaan. Bagi Ariani saat ini, Daania hanya perlu berbicara dengan Canda. Mungkin dia bisa mengambil jeda sejenak untuk menenangkan diri, lalu dengan tegas mengatasi masalahnya dengan Canda. Entah dengan pilihan untuk mengakhiri persahabatan atau tetap mempertahankannya, tentu dengan interaksi yang akan berbeda dari sebelumnya.

"Gue bingung, Ni. Bingung banget. Kenapa sih hidup harus membingungkan begini? Kenapa gue harus menghadapi masalah ini? Rasanya gue cuma mau lari dari semuanya."

"Tapi lu ga bisa lari selamanya. Semakin lama lu menghindar, semakin pelik masalahnya, Daania. Coba berpikir sejenak lalu ambil langkah dan keputusan paling tepat. Kayanya lu cuma butuh istirahat dan menenangkan diri. Kapan deadline keputusannya?"

Sekali lagi, Daania menghela napas berat, "Minggu depan. Bingung banget gue. Arghhhhh." Daania mengacak rambutnya asal hingga ikatan rambutnya terlepas berantakan begitu saja. Ariani hanya mampu menggelengkan kepala menatap kelakuan sahabatnya itu.

Saat itu, tanpa disadari ponsel Daania berdering nyaring. Sempat membiarkannya selama beberapa detik, akhirnya Daania mencoba menerima panggilan tersebut. Terdengar suara dari seberang yang menanyakan kabarnya. 

Daania masih terdiam. Belum mau memulai percakapan dengan lelaki di seberang telpon. Padahal biasanya lelaki ini yang mampu menenangkannya. Pada biasanya obrolan setiap malam sudah biasa mereka lakukan hanya untuk sekedar bertanya mengenai kegiatan masing-masing. Hanya untuk sekedar menceritakan keluh kesah hari yang sudah mereka lalui.

Tak seperti biasanya, kali ini Daania hanya mampu berkata pelan dan tegas,"Canda, sorry gue masih perlu waktu untuk sendiri. Untuk sementara waktu kita tak perlu komunikasi dulu, ya? Gue butuh waktu buat menenangkan diri. Gue butuh waktu untuk membiasakan diri tanpa lu. Gue mohon jangan perlakukan gue dengan baik. Jangan perhatian kaya gini sama gue. Karena gue mau mengakhiri rasa gue buat lu."

Maka setelah diputusnya telepon itu, keputusan bulat sudah Daania genggam. Keputusan yang Daania harap tak akan pernah ia sesali. Keputusan yang menurutnya akan baik bagi dirinya sendiri di masa depan. Bukan. Bukan untuk lari dari masalah, tapi untuk belajar menjadi lebih dewasa dan bertanggung jawab.

CandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang