Kupikir darahku telah terkuras habis lewat lubang di perutku. Kukira jantungku sudah terlalu lelah untuk berdetak. Aku tak mengira kedua mataku bisa membuka lagi dan melihat wajah Jiwoo lagi.
"Choi Mujin... Choi Mujin, apa kau sudah sadar? Apa kau bisa melihatku? Apa kau bisa mendengarku?"
Di matanya, terpancar kekhawatiran, jika aku tak salah lihat. Dan suaranya terdengar bergetar.
"Uh... hm..."
Aku hendak mengatakan sesuatu, namun kerongkonganku terasa sangat kering hingga hanya deheman yang bisa keluar. Jiwoo mengambilkanku sebotol air mineral dengan sedotan agar aku dapat membasahi kerongkonganku. Ia membantuku untuk duduk. Luka di perutku yang sudah dijahit dan terbalut terasa nyut-nyutan.
"Kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk. Kemudian aku melihat ke sekelilingku. Cahaya temaram dari bohlam berwarna kekuningan yang tertempel pada pojok-pojok dinding kayu, dan aroma dupa yang familiar. Ini adalah sebuah kuil, aku berdonasi tiap tahun di sini. Letaknya di atas bukit dan tertutupi pepohonan. Jadi ini cukup aman sebagai tempat persembunyianku.
"Jiwoo-ya..."
"Aku di sini. Apa kau membutuhkan sesuatu?"
"Bagaimana kau bisa ada di sini?"
"Jung Tae Ju memberitahuku."
"Hari apa ini?"
"Minggu. Sudah 3 hari kau tak sadarkan diri. Para biksu menemukanmu pingsan dan memberimu pertolongan pertama sebelum dokter Yong Pal datang. Untung saja, terlambat sedikit mungkin kau--"
Ia tak melanjutkan kata-katanya, hanya memalingkan wajahnya dariku.
"Maaf, aku terlambat," ucapnya pelan.
"Do Gang Jae... kau membunuhnya?"
Ia mengangguk. Aku melirik kedua tangannya di atas pangkuannya yang ia gosok-gosokkan. Ini pertama kalinya Jiwoo merenggut nyawa seseorang. Pasti berat baginya. Mungkin ia juga mengalami mimpi buruk.
Kugenggam tangannya. Ia menoleh menatapku.
"Gwenchana. Waktu akan membuatmu melupakannya," hiburku, meski nyatanya, aku sendiri masih belum bisa melupakan manusia yang pertama kali kubunuh.
Ia mengangguk.
"Lalu bagaimana dengan timmu? Apa mereka mencurigaimu karena membunuh Do Gang Jae?"
"Mereka mulai mencurigaiku. Mereka bertanya kenapa aku melakukannya. Jeon Pil Do membelaku dengan berkata kalau aku hanya terlalu gugup dan tak sengaja melepaskan tembakan. Tapi aku tetap dihukum skorsing."
"Jeon Pil Do..."
"Hm, dia rekanku di kepolisian."
"Aku tahu." Dia rekan detektif Jiwoo yang selalu berada di sekitar gadis itu, yang tertawa bersamanya di sebuah kedai.
"Jiwoo-ya, pergilah ke luar negeri."
"Apa? Tiba-tiba?"
"Ini bukan keputusan yang mendadak. Aku sudah merencanakan jauh sebelum hari ini, setelah kau diculik oleh Do Gang Jae. Aku sudah membuatkan pasport palsu untukmu. Kurasa keputusanku memasukkanmu ke dalam kepolisian adalah keputusan yang salah."
Ia melotot sambil menghembuskan napasnya, tampak kesal, "setelah semua yang ku lakukan, kau mau membuangku, begitu?"
"Bukan begitu, Jiwoo-ya. Aku hanya tidak ingin kau berada dalam bahaya lagi. Lagipula, mereka sudah mulai mencurigaimu. Itu artinya penyamaranmu sebagai mata-mata akan terbongkar, tinggal menunggu waktu saja. Sebelum itu terjadi, sebaiknya kau pergi sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Blue (My Name FF)✔
FanfictionEntah memang mencintainya sebagai wanita, maupun sebagai anak buah kesayangan, atau bahkan menganggapnya seperti adik atau anak kandung sendiri, apapun itu, Choi Mujin menyayangi Jiwoo. Rasa sayang yang tak seharusnya tumbuh.