ketiga.

81 15 13
                                    

"Saya hamil."

Dua kata yang membuat kesadaran Jean cukup terguncang, hingga ia tak bisa menggerakkan mulutnya untuk mengucapkan barang satu pun kata. Sarah juga sama, setelah dua kata itu terucap tak ada yang lain lagi yang keluar dari mulutnya, seperti sengaja dikunci rapat menunggu Jean memberi tanggapan.

"Ini, serius?" tanya Jean pada akhirnya. Karena tak mungkin juga mereka terus larut dalam hening dan hanya ribut dalam pikiran masing - masing.

Sarah menatap netra Jean sekilas, lalu merogoh pouch yang ia bawa dan mengeluarkan benda pipih dengan dua garis didalamnya. Jean tak pernah menyangka jika benda kecil tersebut bisa membuat perasaannya meledak seperti diberi granat aktif. Luapan perasaannya begitu meletup - letup sampai ingin rasanya ia melompat kesana kemari mengejar setiap kupu - kupu yang terbang dalam perutnya.

"Ini serius? Bener - bener serius?" tanyanya sekali lagi, kini lebih antusias dan waras dari sebelumnya. Jean pun memberikan tatapan berbinar sambil menarik kedua tangan Sarah dalam genggaman.

Hanya anggukkan kepala, tapi itu amat cukup untuk meledakkan kembali kembang api dalam hatinya yang kini tengah bersuka cita. Jean pun bawa tubuh Sarah dalam dekapan, dipeluk erat dan tak akan ia lepas lagi seterusnya.

"Jean kamu sadar gak sih, saya hamil!"
Pekik Sarah sembari berusaha melepaskan diri.

"Sadar kak, puji tuhan! Aahh kak aku happy banget!" kembali ia rengkuh perempuan itu. "Kita bakal jadi orang tua," lanjutnya. Jean berdiri, sedikit melompat dan menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

"Itu masalahnya, kita bakal jadi orang tua. Jean kamu siap lepas masa muda kamu buat urus anak? Kamu mikir kesana gak sih sebelum jingkrak - jingkrak kayak barusan! Kamu mabok?"

"Sadar, aku sepenuhnya sadar." jawab Jean cepat, ia hampiri Sarah lagi. Berdiri setengah badan, menghadap Sarah dengan dengkul yang menjadi tumpuan.

"Je, kamu—"

"Ini berkah, ini anugrah. Sudah sepatutnya kita bahagia atas hadirnya titipan tuhan buat kita, kak." Jean genggam lagi kedua tangan Sarah, menatap dalam netra perempuan yang kini perasaannya tengah berkecamuk.

"Tapi ini salah." lirih yang lebih tua. Kepalanya tertunduk lemah.

"Yang kita lakuin kemarin memang salah, amat salah. Tapi menurut aku hadirnya dia bukan suatu hal yang salah, tuhan kasih kita titipan agar bisa memperbaiki kesalahan yang pernah kita lakukan." sela Jean. "Kak, yang harus kita lakukan sekarang adalah jaga dia sebaik mungkin. Biarkan dia tumbuh dengan sehat."

"Apa kamu pikir saya akan—" sergah Sarah cepat.

"No, aku tau kakak pun gak akan melakukan hal yang buruk. Aku cuma pengen kakak tau kalo mulai sekarang aku akan selalu jaga kakak, jaga anak kita." ucapan terakhir agaknya memberi sedikit gelombang pada hati Sarah, hingga membuat tubuhnya seketika gemetar.

"Terus gimana sama sekolah kamu, masa depan kamu?" Sarah cukup kalut.

"Setelah keluar dari rumah, aku gak pernah lagi memikirkan apa itu masa depan. Bahkan aku sendiri gak punya cukup alasan untuk tetap menghirup udara, tapi setelah bertemu kakak, aku punya secerca harapan yang mampu membuat aku bisa bergerak." jawabnya. "apalagi sekarang, bertambah pula alasan aku untuk tetap bertahan dan berjuang. Tentang masa depan aku," Jean simpan telapak tangannya pada perut Sarah yang masih datar. "ini masa depan aku." ucapnya penuh syukur.

Jelas saja , ucapan Jean membuat perasaan Sarah yang dipenuhi kabut kebimbangan kini terasa menghangat. Tulusnya setiap kata yang terlontar telah sampai pada relung hati Sarah yang paling dalam. Lantas kini apalagi yang harus membuatnya bingung atau takut, jika Jean saja sudah sangat berani untuk memikul tanggung jawab ini, maka dari itu Sarah pun mulai melunak dan mencoba menerima genggaman tangan Jean untuk bersama menjaga buah hati mereka.

Perfectly C(k)ook✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang