3. Waktu Bersama?

23 9 7
                                        

"Loh? Kamu nggak kerja?" Tanya Rea setelah melihat Galih berada di dapur, kalau di lihat seperti sedang menyiapkan sarapan.

Aneh sekali lelaki itu berada di rumah pagi-pagi di hari kerja.

"Aku cuti. Mau santai-santai, kerjaanku udah nggak sibuk kayak kemarin." Jawabnya masih dengan tangan memotong selada, lelaki itu membuat roti isi sayur yang biasa Rea buat untuk sarapan.

Rea yang niatnya mau buat kopi di pagi hari itu jadi urung, Ia malah pergi menuju ruang tv. Galih yang melihat itu langsung menghampiri Rea sambil membawa roti isi sayur serta dua cangkir kopi di nampan.

Bunyi ketukan nampan di meja depannya membuat Rea sadar dan langsung menjauh dari Galih yang ingin duduk di sampingnya.

"Kamu kenapa?" Tanya Galih bingung sambil menatap Rea.

"Nggak kok. Kamu mau makan disini? Kalo gitu aku pergi."

Saat Rea ingin beranjak, Galih menarik pergelangan tangan istrinya tersebut hingga terjatuh di pangkuannya.

"Tuhan. Kembalikan Galih kayak dulu, hamba tau ini bukan Galih, tapi makhluk yang mirip dengannya. Saya nggak mau mati muda, saya mau jadi sarjana!"

"Hei?! Kamu ngomong apa sih?" Galih menepuk pipi Rea pelan. Istrinya ini kenapa seperti itu?

Mata Rea terbuka dan langsung dapat melihat wajah Galih dari dekat.

Ia terpaku. Sudah lama sekali ia tak melihat wajah suaminya dari dekat, terakhir kali pas saat pernikahan. Kalau dihitung-hitung sudah satu tahun yang lalu, sangat lama.

Galih melihat respon Rea tidak sesuai ekspektasinya. Apakah Rea menganggap dirinya begitu aneh bila mendekat kepadanya? Apakah terlalu lama jarak dari terakhir mereka berdekatan? Sampai-sampai dirinya disamakan dengan makhluk tak kasat mata.

Susah payah menyusun cara agar bisa berdekatan dengan istrinya tersebut, tapi, melihat istrinya yang nggak begitu suka dirinya mendekat. Ia sedikit merasa, bisa dibilang kecewa?

"Kalau ini Galih, coba cium aku."

Tanpa berlama-lama, Galih mencium Rea dengan durasi agak lama. Ia rindu sekali dengan istrinya itu walau sering berjumpa dirumah.

Rea terkejut, karena serangan ciuman tiba-tiba. Ia nggak percaya kalau dihadapannya ini suaminya, iya, suaminya yang menjaga jarak darinya hampir dua tahunan.

Galih melepaskan tautan mereka dan melihat wajah Rea dengan seksama, cantik.

"Udah, kan? Percaya kalau aku ini suami kamu?"

Rea mengangguk. Seketika ia langsung panik karena telah melanggar ucapan Galih. Dengan tergesa, bangkit dari pangkuan Galih tapi urung sebab suaminya lebih dulu menahan.

"Kamu mau kemana? Nggak kangen sama aku?" Galih menghela nafas kasar. "Maaf, jadi buat kamu takut gitu sama aku karena perjanjian waktu itu. Untuk saat ini kita boleh deketan, tapi, besok balik ke semula lagi. Karena waktunya cuma terbatas."

Bermesraan dengan suami sendiri dibatasi, apakah yang kalian buat jika berada di posisi Rea?

"Kenapa cuma terbatas?" Celetuk Rea penasaran.

"Karena nggak bisa lama-lama."

Jawaban Galih buat Rea pikir berkali-kali untuk bertanya. Rea kira kali ini pertanyaannya akan dijawab beserta penjelasannya, ternyata tidak.

Galih mengambil roti isi sayurnya dengan posisi masih sama, memangku Rea. Berterima kasihlah kepada meja ruang tv-nya yang berjarak dekat, tidak perlu susah payah untuk berdiri lagi jika mengambil apa yang Galih inginkan.

Saat roti isi sayur itu sudah ada di genggamannya, Galih menyuapi Rea terlebih dulu. "Enak, nggak?" Tanya Galih

Rea mengangguk. "Enak, mirip buatan aku."

Galih tersenyum manis. Ia pun melahap roti isi sayur-nya bergantian sambil menyuapi Rea. Terus seperti itu hingga beberapa menit berlalu.

"Kamu nggak pegel aku duduk di sini terus?"

"Nggak kok. Kalau cuma pegel doang nggak masalah buat aku, asal, bisa deketan sama kamu."

Roti isi sayur buatan Galih sudah tandas. Tapi tidak menurunkan niat Galih untuk melepas Rea dari pangkuannya.

Galih bersandar pada sofa dan tangan Rea dikalungkan di lehernya. Posisi Rea masih sama, duduk tegak sambil melihat Galih yang menatapnya balik dengan senyum yang terus-terusan mengembang.

Tangan Rea terulur untuk mencubit gemas pipi Galih. "Kayak mimpi tau."

"Nggak mimpi kok. Kalau tugasku sudah selesai semua. Kamu boleh terus-terusan cubit pipi aku, sampai di gigit juga nggak masalah."

Rea mengangguk paham. "Oke, kalau gitu aku mau mandi dulu." 

Saat ingin beranjak, Galih menahannya lagi. "Nanti aja mandinya." Galih mencium leher Rea. "Masih wangi kok."

Rea cemberut, begini ternyata sifat asli Galih.

Untuk ukuran Rea dan Galih yang jarang banget interaksi intim, mereka berdua nggak pernah canggung. Kadang masih bercanda juga—tapi jarang—dengan jarak yang jauh. Kadang juga berantem, debat dan abis itu baikan lagi.

Kalau keduanya sibuk sama urusan masing-masing, beneran nggak mau diganggu satu sama lain. Pernah waktu itu, hampir seminggu lebih nggak nyapa karena memang sibuk pake banget dan cuma tiga kali makan malam ketemunya.

Karena mereka sudah dewasa, jadi maklum-maklum aja. Biasanya Rea yang jenuh dan Galih selalu berhasil bujuk istrinya tersebut.

"Karena hari ini aku cuti dan bisa deketan sama kamu. Aku mau manjain istri aku dengan nurutin kemauan kamu." Galih menatap Rea. "Sayang, kamu mau apa?"

"Mau keluar."

"Pengecualian yang itu."

"Galih!"

Galih memeluk Rea yang masih ada di pangkuannya. "Yang lain ya, sayang?"

"Aku mau keluar, mau jajan makanan di mall, mau ke kafe juga, mau jalan-jalan." Ujarnya di ceruk leher Galih.

"Aku bawa semuanya ke apartemen kalau gitu."

Rea melepas pelukan Galih. "Maksud kamu?"

"Aku beli apapun yang kamu mau. Kamu tinggal kasih tau aku menunya dan yang kamu mau bakalan ada di rumah. Jadi, nggak usah repot-repot kita keluar."

"Emang bisa?"

Galih mengangguk. Lalu, lelaki itu mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat menelpon seseorang. Saat panggilan sudah menyambung, Galih menyuruh Rea untuk mengatakan apapun yang istrinya mau.

Setelah sudah selesai. Galih mengajak Rea untuk minum kopi bersama, kali ini Rea tidak duduk dipangkuan suaminya karena ia tahu diri. Kalau ia terus-terusan duduk di pangkuan Galih, ia akan membuat Galih lumpuh saat itu juga. Untungnya sang suami menurut dengan syarat Rea harus menempel dengannya, nggak boleh jauh-jauh barang sejengkal pun.

Setelah menunggu lama, akhirnya keinginan Rea sudah sampai. Dari jenis makanan ringan hingga berat, minuman bersoda sampai kopi telah berada di meja ruang tv.

Mereka menikmati waktu santainya hingga jam kelas Rea tiba, dari siang sampai sore. Selama itu, Galih masih setia di samping Rea. Tidak mau lepas dari pandangannya barang sedetik pun.

Untuk kali ini, mungkin, Galih baru membayar setengah hutang dari lamanya mereka berjarak. Semoga, setelah selesai nanti, ia bisa menikmati waktu bersama Rea setiap akhir pekan—ralat, setiap hari.

[02.06.2022]

HOW TO EXPLAIN?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang