7

232 38 8
                                    

Tidak kunjung jera, lagi-lagi Anjani mengikuti Waksa. Kali ini bukan di kantin, kafe, atau tempat lain yang normal. Hari ini Waksa ada kompetisi debat antar universitas. Anjani membelakan diri untuk skip kelas untuk menonton bagaimana Lomba yang diikuti Waksa.

Ia duduk di tribun, dengan ditemani Jeje dan Reva. Dua temannya itu kebetulan berkesempatan untuk mendukung Waksa sebagai perwakilan kampus dan fakultas. Hal itu semakin memudahkan Anjani untuk ikut melihat Waksa.

Wibawa seorang Waksa tidak main-main pada kompetisi hari ini. Setiap kata yang diucapkan lelaki itu sangat berbobot, pandangat tajam dan menusuk sanggup membuat lawannya menciut sebelum berargumen. Melihat Waksa yang sedang serius membuat Anjani merasakan kupu-kupu terbang di perutnya.

Segala hal baru yang dilakukan Waksa sanggup menyihir Anjani. Sekali lagi, gadis itu tak mau mengakui perasaannya adalah rasa cinta. Ia masih kukuh jika ia hanya mengidolakan Waksa.

"Waksa udah selesai tuh debatnya, kita cari makan dulu gimana?" Jeje mengusulkan kepada kedua teman yang duduk di sebelah kanan dan kirinya.

"Boleh, gue juga lapar," jawan Reva setuju.

"Kenapa nggak nanti aja, selesai acara ini," Anjani sedikit tidak tenang jika harus meninggalkan tribun sebelum acara lomba ini selesai. Ia masih berharap Waksa keluar lagi untuk menampakkan wajahnya.

"Ini acara masih satu jam lagi, lo mau kena asam lambung gara-gara telat makan?" Reva menanggapi.

"Tapi gue masih pingin lihat Waksa," Anjani terus memaksa.

"Waksa bakal keluar lagi nanti, kalau waktunya pengumuman juara. Lo jangan fanatik gini deh Ni, lo kelihatan freak tahu kalau udah urusan sama Waksa," Reva mengkritik.

"Udah, kalian jangan berantem di sini," Jeje berusaha menengahi kedua temannya yang adu mulut hingga menjadi perhatian beberapa penonton lain, "lebih baik kita makan sekarang mumpung ada waktu ya Ni, habis makan kita buru-buru ke sini lagi. Lo bakal tetep bisa ketemu Waksa kok," lanjut Jeje.

Anjani menatap Jeje dan Reva nanar, ia kalah debat dengan dua temannya. Mau tidak mau, ia mengikuti mereka untuk makan siang.

***

Di tengah ramainya tempat makan, ada Anjani, Reva dan Jeje yang duduk di depan stan bakso. Ketiganya nampak makan dengan lahap. Anjani yang awalnya sebal, akhirnya juga ikut menikmati.

"Gue udah selesai, gue pamit ke kamar mandi dulu nanti gue susul ke tribun lagi," Reva buru-buru merapikan barangnya, dengan cepat gadis itu berlari meninggalkan meja untuk menuju kamar mandi.

"Bakso gue tinggal dikit lagi, tungguin ya Ni," Jeje meminta pada Anjani untuk menunggunya.

Anjani mengangguk setuju, lebih baik ia menunggu Jeje daripada kembali ke tribun sendiri. Ia adalah tipe yang mudah tersesat di tempat baru. Apalagi ini bukan kampusnya, ia harus bergantung pada Jeje atau Reva sebagai penunjuk jalan.

Hampir sepuluh menit Anjani menunggu Jeje. Ia sampai sebal sendiri karena temannya itu makan dengan sangat lambat. Ia sampai ingin menyuapi Jeje biar cepat habis.

"Akhirnya habis juga, habis ini ke kamar mandi dulu ya Ni," Jeje kembali mengulur waktu. Anjani ingin protes, tetapi ia tidak mungkin membiarkan Jeje menahan panggilan alamnya.

"Iya cepetan, nanti acaranya keburu selesai Je," Anjani berujar kesal.

Keduanya berjalan terburu-buru ke toilet terdekat. Jeje masuk ke dalam sendiri, sedangkan Anjani menunggu di luar. Gadis itu menoleh kanan kiri, di mana banyak gerombolan muda mudi dari universitas lain saling mengobrol atau sekadar lewat di depannya.

Tanpa sengaja ia menatap satu sisi, sebuah pintu menuju tangga darurat. Anjani melihat Reva sedang bercanda ria dengan Waksa, sekali lagi itu Waksa.

Reva dengan Waksa? Sejak kapan mereka dekat? Selama ia berteman dengan Reva, ia belum pernah melihat Reva dan Waksa sekadar mengobrol atau bertegur sapa. Apakah ini sebuah penusukan dari belakang?

Reva menghianatinya, meskipun sahabatnya itu tahu jika ia menyukai Waksa!

TBC

Bucin [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang