14

120 23 1
                                    

Tidak seperti hari normal biasanya, hari ini Anjani tak bisa berdiam lama hanya untuk memilih pakaian apa yang akan ia kenakan. Ia bahkan tak sempat melakukan make up rutinnya. Setelah mandi, Anjani hanya fokus untuk berpakaian dan segera pergi.

Bahkan ini masih jam setengah 7 pagi, yang biasanya Anjani baru turun untuk mengobrol dengan orang tuanya sambil menunggu menu sarapannya siap. Tapi kali ini, memikirkan sarapan saja Anajani tidak sempat.

Anjani memakai celana dan kaos biasa, tanpa aksesori dengan wajah bare face. Gadis itu hanya ada sunscreen dan lipstik yang selalu sedia di tasnya. Anjani menyambar kunci mobil, dan langsung jalan cepat menuju garasi.

"Sayang, mau kemana buru-buru banget," tegur sang Mama saat Anjani melewati dapur, di mana sang Mama dan Pelayam sedang menyiapkan sarapan.

"Ada urusan penting Ma, sama teman," jawab Anjani tanpa menoleh.

"Hati-hati di jalan," seru Mama mewanti-wanti.

Sang Mama hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah anakknya yang masih seperti anak sma yang telat masuk sekolah. Padahal jarang sekali Anjani keluar pagi-pagi begini. Anak perempuannya itu lebih suka di rumah daripada di luar dengan temannya. Tumben sekali hari ini dibela-belain berangkat pagi, hanya untuk bertemu teman.

Tetapi, sebagai Mama beliau tidak bisa melarang-larang atau terlalu kepo dengan kegiatam Anjani. Anak tunggalnya itu sudah dewasa, yang pastinya butuh banyak privasi, sebagai orang tua hanya bisa memberi support.

Selain sang Mama, ternyata Anjani juga berpapasan dengan sang Papa yang sedang menyiram tanaman. Anjani harap ia tak banyak ditanyai. Selagi Papanya belum memyadari keberadaannya, Anjani bergerak pelan menuju garasi.

"Anjani, ngapain ngendap-ngendap kayak maling gitu?" tanya sang Papa setelah menoleh dan menemukan putrinya bertingkah aneh.

Anjani tertawa kecil, "ah Pagi Papa, ini Anjani mau ke rumah teman ada urusan penting. Anjani tadi cuma ngga mau ganggu papa aja," ujarnya.

Sang Papa mengeryit curiga, "Pagi banget, tumben?"

Anjani menggaruk belakang kepalannya lalu menjawab, "Iya Pa, sekalian nanti mau berangkat kulaih bareng."

"Oh, ya udah hati-hati," respon sang Papa, lalu beliau kembali lagi fokus dengan tanamannya.

Syukurlah, Anjani bisa bernafas lega, ia melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Astaga, untuk keluar rumah saja butuh waktu yang lama.

Anjani langsung saja membuka pintu mobilnya dan mengendarainya ke hotel tempat 'orang itu' menyuruhnya.

***

Waksa terus-terus mengecek jam tangan dan pintu masuk hotel bergantian. Ia menunggu hampir 30 menit dan Anjani belum juga nampak batang hidungnya. Waksa mulai gusar, kredibilitasnya bisa hancur jika Marko dan Reva sudah pergi sebelum Anjani sampai.

Hingga beberapa saat kemudian, ponsel Waksa bergetar tanda panggilan masuk. Senyuman langsung terbit di wajahnya, padahal itu hanya sebuah telpon. Yang membuatnya senang adalah sang penelpon, Anjani.

"Gue udah sampai, lo di mana?" tanya Anjani dengan suara sedikit tercekat seperti terburu-buru.

"Gue di lobby, gue pakai kaos putih."

Setelah jawaban itu, Anjani tak bersuara lagi. Waksa kembali tersenyum lebar, nampaknya wanita itu sudah mengetahui siapa di balik nomor anonim itu.

"Surprised, Anjani? Kalau lo udah tahu gue siapa, buruan ke sini sebelum acara utama mulai."

Setelah perkataan itu, Waksa mematikan telpon tanpa mendengar jawaban Anjani.

Dari depan pintu lobby, seorang gadi dengan tampilan Kaos putih topi hitan dan celana hitam masuk. Seperti terburu-buru, melihat kanan kiri mencari seseorang.

Hingga Waksa bertemu mata dengan Anjani. Wanita itu langsung buru-buru berjalan ke arah meja yang ditempati Waksa.

"Maksud lo apa Waksa?!" Bentak Anjani, amarah wanita itu seperti sedang meluap-luap.

"Calm down lady, kalau lo mau tau kebenarannya," jawan Waksa santai, sambil menyilangkan kaki dan menyeruput kopinya. Sedangkan Anjani masih berdiri, dengan nafas naik turun.

"Sit down, atau lo mau Pacar lo tahu dan kabur sebelum fakta terungkap?"

Anjani mau tak mau menuruti perintah Waksa. Karena Anjani tahu, mana mungkin Waksa mempermainkannya sejauh ini. Lagipula mereka tak ada hubungan apapun. Bahkan perasaan sepihak Anjani sudah ia tekan sekuat mungkin.

TING

Suara Lift yang sampai di Lobby, langsung membuat Waksa menoleh begitupun dengan Anjani.

Benar prediksi Waksa, jam segini Marko dan Reva akan keluar. Lelaki itu bernafas lega karena Anjani sudah datang lebih dahulu.

"How cute~," puji Waksa, saat melihat Reva bergelayut manja pada Marko. Dari gesture keduanya, sangat menjelasakan bagaimana romantis hubungan mereka.

"Marko..." bisik Anjani tidak percaya. Mana mungkin lelaki yang selama ini ia percaya, ia cintai bisa berkhianat, lebih parahnya dengan sahabat Anjani sendiri.

"Ada baiknya kalau lo ngga 100% percaya sama cowok. Bahkan sama cowok yang lo cintai sekalipun," ujar Waksa.

Adengan lovey-dovey antara Marko dan Reva tak berhenti pada batas pelukan saja. Sesekali Marko mencium pipi atau dahi Reva saat gadis itu bicara. Ya Tuhan, Anjani saja jarang sekali diperlakukan semanis itu.

Anjani merogoh tas kecilnya dan mengambil ponselnya. Ia mendial nomor Marko, Anjani harap-harap cemas menunggu jawaban lelaki itu.

"Halo sayang, ada apa?" Jawab Marko dengan ceria. Dua sejoli itu sedang check out di meja resepsionis. Reva yang sedang mengurus, langsung mengubah ekspresinya setelah mendengar panggilan saya yang diucap Marko. Sudah jelas Reva tahu itu pasti Anjani.

"Kamu lagi di mana? Sarapan bareng di rumah yuk," ujar Anjani sambil menahan isak tangisnya.

"Aduh sayang, kayaknya hari ini nggak bisa. Mungkin besok, aku bakal ke rumah kamu," tolak Marko tanpa berkelit.

"Kamu lagi di mana Sayang?" tanya Anjani sekali lagi, karena pertanyaan utamanya tak terjawab. Anjani bahkan menekankan kata Sayang yang jarang sekali ia pakai.

"Di rumah, ini lagi siap-siap ke kantor sama Papa," Marko beralasan.

Dari jauh, Anjani melihat Reva memeluk lengan Marko dan berbisik sesuatu.

"Sorry sayang, aku lagi urgent banget. Nanti aku telpon lagi," itu ucapan terakhir Marko, sebelum menutup telponnya.

Anjani tak bergerak di tempatnya, tak berniat melabrak atau membuat kekacauan di hotel itu. Anjani menangis di tempatnya, awalnya tak bersuara namun lama-lama nafasnya sesak hingga ia tersegal-segal.

Dadanya sesak, Anjani menepuk-nepuk dadanya sendiri berharap bisa meredakan tangisnya. Ia tak mau terlihat lemah di depan Waksa. Tetapi ia tak bisa mengontrol dirinya sendiri untuk kuat melihat Marko mendua dibelakangnya.

"Hey, tenang Anjani. Lo nggak mau kan di lihat Marko dan Reva dalam keadaan akayak gini?" Waksa berusaha menenangkan Anjani.

Lelaki itu merasa bersalah juga, ia tidak biasa menangani wanita mengangis.

Saat tangisan Anjani mulai mengundang perhatian, terutama perhatian Marko dan Reva. Waksa dengan cepat memeluk Anjani dan menyembunyikam gadis itu di dadanya. Ia tak mau Marko melijat Anjani dalam keadaan seperti ini. Waksa juga tidak mau ketahuan Reva karena sudah mengikutinya.

TBC

Bucin [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang