22

109 16 5
                                    

"Makasih ya," ujar Anjani lirih.

"Ini udah ke 20 kalinya lo bilang makasih. Kuping gue sampai bosen," komentar Waksa.

Keduanya masih berada di dalam ruangan Presma dan Anjani masih dalam proses pengobatan oleh Waksa. Mungkin karena Waksa jurusan kedokteran, alat P3K di sana begitu lengkap. Waksa mengoleskan salep anti nyeri di pipinya. Untuk tidak ada perlukaan dalam, sehingga hanya perlu diobati bagian luar saja.

Anjani menunduk, merasa bersalah karena melibatkan Waksa di dalam masalah percintaannya dengan Marko.

"Maafin gue Sa, karena gue, lo jadi diamuk Marko dan bikin lo jadi pusat perhatian tadi."

"Gue bener-bener merasa bersalah. Setelah ini, gue bakal pastikan Marko dan Reva nggak gangguin lo lagi," lanjut Anjani.

Waksa masih terdiam, sejak awal lelaki itu sadar jika tindakannya yang membuat Anjani dan Marko berpisah. Itu semua karena keegoisannya untuk balas dendam pad Anjani. Padahal Waksa tahu, jika tindakan Anjani tidak pernah merugikan dirinya.

"Lo nggak salah, sejak awal gue emang sengaja mau balas dendam dengan cara hancurin hubungan lo sama Marko," ungkap Waksa.

Anjani terkejut, tentu saja. Tapi ia tidak paham, untuk apa Waksa balas dendam padanya. Ia sama sekali tidak pernah mengusik Waksa, kecuali menguntitnya beberapa waktu sebelumnya.

"Gue tahu momen lo diam-diam stalking kehidupan gue. Dan gue ga suka itu, tapi gue bukan tipe yang akan konfrontasi langsung di depan lo. Jadi gue pilih buat hancurin lo dari dalam."

Fakta yang dibicarakan Waksa hampir membuat jantung Anjani berhenti. Lelaki itu tahu semuanya, dan selama ini merencanakan balas dendam. Anjani tahu, jika Waksa juga jahat padanya. Namun, hati kecil Anjani merasa jika Waksa tidak melakukan kesalahan fatal.

"Tapi berkat lo, gue tahu kalau Marko bukan lelaki setia, jadi balas dendam itu punya manfaat baik bagi gue juga."

"Kalau lo risi dan kurang nyaman sama kehadiran gue. Gue ngga masalah untuk berusaham hilang dari pandangan lo. Gue bersedia kalau misal lo ngga mau lihat muka gue. Maaf banget kalau misalkan tindakan gue selama ini mengganggu kehidupan lo," lanjut Anjani.

Gadis itu beranjak dari duduknya mencoba meninggalkan Waksa, sejak ia tahu kalau lelaki itu tidak suka melihatnya. Anjani tidak mau menjadi orang yang menyebalkan.

Tidak bisa dipungkiri dalam hati Anjani, masih ada Waksa. Pertemuannya dengan lelaki itu sangat berdampak banginya. Degupan jantung yang tidak wajar ketika mereka pertama bertatapan, masih membekas di ingatan Anjani.

Tapi saat ini, tidak ada penyesalan. Anjani akan pergi secara suka rela.

***

3 years later

"Gara-gara kejadian itu, lo beneran awet ngejomblo ya. Lo masih trauma?" Jeje bertanya pada sang sahabat yang baru saja lulus kuliah kemarin, dan hari ini sudah pusing untuk mencari pekerjaan.

Anjani mengedikka bahunya, "gara-gara lo juga sih, gue jadi ketularan jomblo."

Jeje tersenyum kecut mendengar lontaran fakta dari Anjani.

Setelah 4 tahun kurang menjalani perkuliahan, akhirnya kemarin Anjani resmi bebas dari tugas dan mata kuliah. Kini saatnya untuk mencari kerja.

Waktu begitu cepat berlalu, dan tidak terasa ia semakin dewasa dan bertanggung jawab. Banyak hal yang ia lewati untuk membuatnya kuat seperti sekarang.

"Udah apply job ke mana? Ngga ikut Ayah lo aja langsung?"

Anjani menggelengkan kepalanya, "gue ga suka jadi perhatian."

"Oh, gapapa lagian masih banyak perusahaan di luar sana."

Anjani mengangguk setuju, "dia juga nawarin gue posisi di rumah sakit tempat dia residen."

"Waksa?"

"Iya, katanya gue suruh coba daftar dulu. Katanya ada posisi kosong yang sesuai sama pendidikan gue."

"Coba itu aja, siapa tahu keterima. Lumayam kan buat pengalaman," Jeje sangat mensupport apapun yang akan Anjani lakukan. Termasuk membiarkan Anjani dekat dengan Waksa.

Meskipun Jeje tidak tahu kronologi apa yang terjadi di ruang Presma waktu itu. Gadis itu bisa merasakan saat Anjani keluar, sesuatu hal buruk sudah terjadi.

"Lo gapapa Ni?" tanya Jeje khawatir ketika ia melihat Anjani keluar sebuah ruangan dengan mata berkaca-kaca.

"Gue gapapa, tadi pipi gue udah diobatin Waksa."

"Oke, kita pulang sekarang?" tawar Jeje. Gadis itu merasa jika Anjani harus segera di bawa ke rumah, sebelum hal-hal buruk terjadi.

Sehingga mereka berdua langsung pulang, tanpa kembali berpamitan dengan Waksa.

Hari berlalu hingga Jeje sadar jika Anjani selalu menolak untuk main ke kampusnya. Padahal biasanya, Anjani tanpa disuruh sudah datang sendiri. Ada yang tidak beres pada sahabatnya itu.

Jeje memutuskan untuk bicara empat mata pada Anjani. Ia harus tahu, apa yang sedang Anjani sembunyikan.

"Lo ada masalah ya?" Jeje bertanya.

"Enggak, emang lagi banyak aja tugas kampunya."

"Gue sahabatan sama lo dari lama Ni, gue tahu bukan tugas kampus yang buat lo berubah gini."

Anjani tidak ingin menjawab, sehingga Jeje dibiarkan menunggu.

"Apa ini gara-gara kejadian itu? Apa Waksa mengancam lo Ni?"

"Bukan gitu," Anjani dengan tegas menepis dugaan Jeje.

"Kalau lo ga cerita, gue bakal cari tahu sendiri ke Waksa."

"Jangan Je."

"Makannya lo cerita."

"Gue tahu semuanya Je, awal dari hancurnya hubungan gue sama Marko. Waksa yang sengaja tunjukin kelakuan Marko biar gue hancur. Dan Waksa lakuin itu buat balas demdam ke gue."

"Balas dendam apa maksud lo?"

"Dulu gue sempet stalking Waksa. Gue lakuin itu cuma karena penasaran. Dan gue cuma lakuin beberapa kali aja. Tapi ternyata tindakam gue biki Waksa nggak nyaman. Jadi gue memutuskan untuk menjauh dari Waksa dan berusaha buat nggak nampakin diri di depan dia."

Jeje memaklumi kelakukan Anjani, karena ia tahu sahabatnya itu bisa menjadi cewek gila di saat-saat tertentu. Tapi Jeje pastikan kalau Anjani tidak akan pernah merugikan orang lain.

"Bagus deh, gue lega kalau alasannya itu. Dari awal gue emang ngga setuju kalau lo dekat sama Waksa. Asal lo bahagia, gue bakal dukung apapun keputusan lo," ujar Jeje sembari memeluk Anjani.

"Makasih Je."

TBC

Huruf miring : Flashback

Bucin [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang