Perkenalan singkatku dengan Adam tadi pagi, membuatku sedikit mengenalnya. Adam merupakan mahasiswa semester 7, ia bersama keluarganya hanya bermalam saja di rumah tante Nana setelah itu melanjutkan perjalanan ke rumah neneknya di Bandung.
Adam sempat bertanya kepadaku mengapa aku tak melanjutkan kuliah saja dari pada kerja. Aku tidak sempat menjawab karena tiba-tiba saja ibunya menelpon.
Kemudian Adam mengajakku agar secepatnya pulang karena mereka akan segera melanjutkan perjalanan. Aku hanya pasrah mengikutinya dari belakang.
"Ehm, Je. Saya boleh minta nomor kamu?" tanyanya sembari memegang tengkuknya.
Kupikir ini terlalu cepat, dan tidak mungkin aku memberikan nomorku ke sembarang lelaki, bahkan Adam saja baru sehari ku mengenalnya.
"Maaf, Dam. Aku gak inget nomorku," alibiku. Biarkan saja aku berbohong, toh, Allah pasti gak bakalan marah. Karena Adam bukan mahromku tak ada yang penting juga kedepannya jika harus bertukar nomor.
"Ah, iya. Gak apa-apa."
Sesampainya di rumah, ternyata Raya tengah menunggu kami. Ia berkacak pinggang dan matanya tajam menusuk netraku.
Tak ingin menimbulkan keributan, aku melewatinya masuk ke dalam rumah, rasanya badanku terasa lengket, ingin cepat-cepat membersihkan diri.
"Jehan!"
Aku berbalik menghadap Raya. "Ya?"
"Tadi, mamamu nelpon, nanya kapan kamu pulang kampung," ucapnya seakan mengingatkanku agar secepatnya minggat dari rumahnya.
"Nanti aku telpon ulang, makasih infonya. Aku masuk dulu."
***
"Kalo ada apa-apa kamu telpon tante aja, dan jangan lupa buat berkunjung ke rumah lagi. Pintu rumah Tante selalu terbuka untuk kamu dan keluargamu, Je."
"Iya, Tan. Sekali lagi, Jehan minta maaf kalo ada kesalahan yang Jehan lakukan. Dan, ya, terimakasih untuk tumpangan yang Tante berikan selama Jehan di sini."
Aku menyalimi tangan tante Nana, dan beralih menatap Raya yang mungkin saja lelah melihat drama ini.
"Raya, aku minta maaf kalo aku ada salah sama kamu. Aku pamit dulu, Tante, Om, Raya, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, hati-hati di jalan, salam buat orang tuamu di kampung," ucap Om Raja sembari mengelus kepalaku yang terhalang hijab pasmina jumbo berwarna cream.
Di depan sana, Tera dan supir pribadinya tengah menungguku. Ia yang berbaik hati, mengantarku sampai ke bandara.
"Cih, Je. Kamu lihat no si Raya, mukanya sumringah banget pas kamu keluar," cibir Tera setelah aku masuk duduk si sampingnya.
"Biarin aja, aku gak perduli mau dia jungkir balik di sana, sebodo!"
Tera mengangguk semangat menyetujui ucapannya. Manusia seperti Raya baiknya tidak diperdulikan.
"Paling juga senang dia, supaya kamu gak bisa ketemuan lagi sama si Adam itu."
Masalahku bersama Adam telah aku curhatkan bersama Tera, dan yang Tera katakan jika ternyata Adam memiliki ketertarikan padaku.
Saat itu juga aku tertawa, yakali dalam sehari itu perasaan Adam tumbuh, gak mungkin.
"Cinta mana ada yang tahu." Kalimat itu yang Tera katakan saat ia menyangkal hal tersebut.
Sesampainya di Bandara, Tera memelukku seakan tiada hari esok untuk berjumpa.
"Kabarin aku kalo udah sampai, ya. Kalo udah dapet jodoh, jangan lupa undang. Intinya undangan pertama kamu kasihnya ke aku dulu," tegasnya. Aku terkekeh pelan, ada-ada saja permintaannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALHUBU ALAWL
RandomMencari pekerjaan bukanlah hal mudah bagi Jehan, ada rasa menyesal dan beban yang hilang secara bersamaan ketika ia memilih resign dari perusahaan yang selama 3 bulan ia tempati. Menjadi beban orang tua, membuat Jehan harus bergerak cepat mencari pe...