Hari demi hari dihabiskan Erina untuk mempelajari hal-hal baru. Di sekolah, dia belajar untuk menghadapi musuh terbesar otaknya, yaitu pelajaran Fisika. Kemudian saat di rumah, Erina menghabiskan waktunya untuk membantu sang Ibu. Sisanya dipakai Erina untuk menari dan menyanyi, menghibur dirinya sendiri.
Ulang tahun sekolah, tinggal beberapa hari lagi. Erina masih setia, membantu teman satu klubnya berlatih. Dia juga tak jarang mengusulkan pendapat, bila diperlukan. Hanya saja, akhir-akhir ini Erina merasa cemas. Ketika dia tak melihat ujung hidung mancung Nicholas sedikit saja. Cowok itu sudah tak masuk sekolah selama dua hari. Erina ingin menghubunginya, tapi dia terlalu malu untuk melakukannya.
"Kirim pesan gak, ya?"
"Gue khawatir, tapi takut disangka kangen Nicholas lagi."
"Nicholas 'kan narsisnya minta ampun."
Erina berjalan mondar-mandir di depan klubnya. Keningnya berkerut, sementara jari jemarinya menepuk-nepuk dahi. Erina terus berpikir, sampai dia menurunkan ego. "Ya udahlah, coba chat, kenapa dia gak masuk sekolah aja."
Pesan yang Erina ketik, sudah hampir terkirim. Sayangnya, Febri tiba-tiba muncul di belakang Erina. Erina tersentak kaget, dia buru-buru menghapus pesan yang dikirimnya pada Nicholas.
"Erina," panggil Febri.
Erina tersenyum canggung, dia berbalik ke arah Febri. Sementara kedua tangannya menyembunyikan ponsel di belakang tubuhnya. Erina berkata, "Ya?"
Febri menjulurkan beberapa kertas ke hadapan Erina. Dia tersenyum kecil, sebelum memberitahu, "Lo sekampung sama Nicholas 'kan?"
Kepala Erina mengangguk, sembari mengambil lembaran kertas dengan salah satu tangannya. "Iya."
"Baguslah!" kata Febri semringah. Dia kemudian melanjutkan perkataannya, "Tolong anterin naskah ini ke Nicholas. Dia udah gak latihan selama 2 hari. Terus beberapa dialog juga ada yang diganti."
Erina melihat ke arah naskah yang ada di tangannya. Dia tersenyum canggung, kemudian berkata, "Emangnya, Nicholas kenapa gak ikut latihan? Dia juga bolos sekolah."
Febri berucap, "Kata temen sekelasnya sih, Nicholas lagi sakit."
"Karena gue lagi sibuk, gue gak punya waktu buat jenguk Nicholas. Tapi, nanti kalo Nicholas belum ke sekolah juga, gue pasti ajakin semua anggota klub buat jenguk Nicholas," lanjut Febri.
Erina langsung terdiam. Pantas saja, Nicholas tak muncul-muncul di hadapannya.
· · • • • ࿙✩࿙ • • • · ·
Setelah pulang sekolah, Erina sempat mampir ke toko buah-buahan. Dia dengan senang hati, mengorbankan uang, untuk membeli beberapa buah apel. Meskipun uang untuk rangkaian produk kecantikannya, terpaksa harus dia pakai. "Gak papa lah. Dibanding malu, mau jenguk, tapi gak bawa apa-apa."
Erina melangkahkan kakinya menuju sebuah rumah yang berada dekat dengan klinik kecantikan. Gadis itu masih ingat jelas, letak rumah Nicholas berada. Dia sudah lama tak menginjakan kaki di sini, tapi rasanya baru kemarin, Erina dan temannya dulu mengajak Nicholas bermain bersama di tempat ini.
Seorang pembantu rumah tangga, berada tepat di depan rumah Nicholas. Wanita paruh baya itu, bekerja menyapu halaman rumah. Dia sibuk menyapu, beberapa daun kering yang berjatuhan tertiup angin.
"Permisi, apa Nicholas ada di rumah?" tanya Erina.
Akhirnya wanita paruh baya itu berhenti bekerja. Dia melihat ke arah Erina kemudian tersenyum tipis. "Temennya, Den Nikol ya?"
Erina mengangguk. Tanpa mengatakan tujuannya pergi ke rumah Nicholas, dia berhasil masuk ke dalam rumah cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BYE BYE MY NIGHTMARE ☑
Teen FictionTentang Erina, yang merasa dirinya seperti kentang. Lalu ditantang menjadi bintang, oleh cowok berhidung mancung, yang pantang berutang. · · • • • ࿙✩࿙ • • • · · "Gue cape, dihina dan direndahin. Gue juga gak mau, terus jadi beban kedua orang tua. Hi...