Sinar matahari mulai meredup. Langit hampir menggelap. Namun, semangat Nicholas masih tetap hidup. Berbeda lagi dengan Erina yang sudah kehilangan setengah tenaganya. Jujur saja, Erina belum makan siang. Dia sempat ditawari, tapi menolak karena belum lapar. Sekarang, dia benar-benar menyesalinya keputusannya.
Rasa lapar membuat Erina tak fokus mendengarkan apa yang Nicholas katakan. Semua kalimat di bibir Nicholas, hanya menjadi angin lalu yang terlupakan. Tak ada satu pun ucapannya yang menerap di otak Erina.
"Erina, lo pengen tahu sebuah rahasia gak?" tanya Nicholas.
"Enggak." Tiba-tiba Erina berhenti berjalan. Kakinya bergetar, begitu juga dengan tangannya. Dia sudah tidak mempunyai tenaga untuk berjalan, sementara angin dingin terus berembus ke arahnya.
Karena Erina tak kunjung menyusul langkah kakinya. Nicholas terdiam, dia langsung berbalik ke belakang. Keningnya berkerut, bola matanya melihat Erina berjongkok di jalanan. "Ayo, Erina! Udah ampir malem loh. Lo mau ketemu kunti? Atau kalian udah janjian mau ketemu?"
Erina mencoba tersenyum tipis. Dia meminta, "Nikol, lo pulang duluan aja."
"Ternyata beneran udah janjian mau ketemu," ucap Nicholas.
Erina terdiam tak menanggapi.
Nicholas menyipitkan mata ke arah Erina. Dia tiba-tiba bertanya, "Kaki lo sakit lagi ya?"
Kepala Erina langsung menggeleng. "Gue gak papa! Lo pergi aja! Kepala gue pusing dengerin lo ngomong terus!"
Nicholas melirik ke sekelilingnya. Rumah Erina sudah dekat, tapi dia khawatir terjadi sesuatu dengan teman masa kecilnya itu. Nicholas kemudian menunjuk ke arah sebuah gerobak sampah. Dia menyarankan, "Kalo lo gak mampu jalan. Masuk aja ke gerobak itu. Nanti gue dorong gerobaknya."
Kedua mata Erina membulat sempurna. Dia berdecak beberapa kali. "Yakali gue duduk di gerobak kotor! Pake otak lo dong Nikol!"
"Gue bilang gue gak papa, mendingan lo cepet pulang. Nanti emak lo nyariin!" perintah Erina dengan nada tinggi.
Tanpa mendengarkan ucapan Erina. Nicholas tiba-tiba menghampiri gadis itu. Dia duduk berjongkok di depan Erina. Nicholas menawarkan, "Ayo naik ke punggung gue."
"Gue kasih tumpangan gratis kayak si Lili," lanjutnya.
Erina terdiam beberapa saat. Dia melihat punggung Nicholas di depan matanya. Punggung ini mengingatkan Erina pada anak laki-laki yang dulu sering bermain dengannya. Akhirnya Erina pasrah dengan keadaannya. Dibanding terus malu dibantu, dia akhirnya memberanikan diri meminta bantuan. "Tubuh gue berat, ja---"
Nicholas membalas, "Tubuh lo langsing, kurus kering---"
"Jangan body shaming!" seru Erina.
"Pokoknya lo kecil. Gue pasti bisa ngangkat tubuh lo. Cepet naik, keburu malem," kata Nicholas.
Jalanan menuju rumah Erina sepi. Mungkin karena tak banyak orang yang keluar, ketika matahari sudah terbenam. Erina jadi berani naik ke punggung Nicholas. Dia berpesan, "Nikol, nanti kalo ada kenalan gue lewat. Lo harus nurunin gue oke? Jangan sampai mereka liat gue naik di punggung lo."
Nicholas tersenyum, "Oke."
Kedua lengan Erina melingkar di leher Nicholas. Awalnya dia ragu, menyandarkan kepalanya ke punggung orang itu. Namun, Erina tak punya tenaga lagi. Dia akhirnya tak mempedulikan Nicholas yang mungkin merasa keberatan dengan tubuhnya.
Sepanjang jalan, Nicholas jadi teringat tempat bermain saat kecil dulu. Dia tersenyum, merasakan kepala yang menyandar di punggungnya. Nicholas bertanya, "Erina, lo masih inget ... rumah kosong, yang sering kita datengin sama temen-temen Tk dulu?"
Kedua mata Erina langsung tertuju pada sebuah rumah kosong yang mereka lewati. Dia bergidik ngeri, mengingat-ngingat pernah mengalami hal buruk di rumah itu. "Gue gak mau nginget-nginget."
Nicholas tertawa kecil. Dia berujar, "Padahal banyak warga yang nyuruh kita, buat jauhin tempat itu. Tapi kita semua nekad main-main, karena di belakangnya ada ayunan sama perosotan gratis."
Erina tanpa sadar menyambung ucapan Nicholas, "Ujung-ujungnya Luna kesurupan. Terus neror kita semua."
Nicholas menggeleng-gelengkan kepala. "Lo masih percaya Luna kesurupan? Ya ampun, dia cuman main-main aja. Niruin monster yang ditonton di tv."
"Masa? Gue gak percaya dia cuman pura-pura. Jantung gue sampai deg deg-an lari-lari nyelamatin diri gue sendiri," ucap Erina.
"Namanya juga bocil, gampang percaya sama hal gituan," ucap Nicholas.
Erina terdiam. Dia bertanya, "Lo tau dari mana Luna pura-pura kesurupan?"
Nicholas terdiam. Dia mendongakkan kepala ke langit yang mulai mengelap. Sementara kelopak matanya tertutup. "Gue udah pernah bilang, kalo gue itu peramal abal-abal."
"Setelah Luna jailin semua anak Tk. Dia ketawa seneng berhasil nakut-nakutin," sambung Nicholas.
Erina mengerutkan kening. Dia merotasikan bola mata, sebelum memukul pelan belakang kepala Nicholas. Erina mengomel, "Kayaknya, selain bawel, lo juga suka ngibul! Pantesan aja hidungnya mancung kayak penyihir!"
"Gue gak ngibul, semua info yang diucapin sama mulut gue itu fakta. Kapan coba seorang Nicholas pernah berbohong?" heran Nicholas.
"Kalo hidung mancung, ini karena keturunan. Mama sama Pa---," Nicholas tiba-tiba terdiam. Dia tak meneruskan ucapannya. Hal itu membuat Erina penasaran. Nicholas tahu semua tentang Erina, tapi Erina bahkan tak tahu kenapa Nicholas pindah sekolah dulu.
Dibanding penasaran sampai rumah. Erina mencoba bertanya,"Nikol."
"Ya?"
"Kenapa pas Tk, lo pindah sekolah. Pindah rumah juga," ucap Erina.
Nicholas menurunkan sudut bibirnya. Dia berpikir sebentar, sebelum menjawab," Gue ... gue .... pekerjaan Mama gue berubah. Dia kerja jadi asisten di klinik kecantikan kota sebelah."
"Ohh, pantesan aja," kata Erina.
"Tapi, kenapa lo balik ke sini lagi?" tanya Erina.
"Mama gue punya klinik kecantikan di sini. Klinik yang baru dibuat itu. Jadi, karena gue pindah rumah ke sini, yaudah gue juga pindah sekolah lagi," ucap Nicholas.
Erina mengangguk-nganggukkan kepala. "Eh tunggu, itu berarti ... lo anak seorang ahli kecantikkan dong? Kok gue baru tahu?!"
"Mama lo bisa buat gue cantik?!" tanya Erina senang.
Nicholas tersenyum. "Erina, kecantikan itu gak selamanya indah, kayak apa yang lo bayangin selama ini. Syukurin aja, apa yang udah dikasih Tuhan sama lo."
"Terkadang, cantik itu bawa malapetaka juga," gumam Nicholas pelan. Sudut bibirnya melengkung ke bawah, sementara kedua kelopak matanya terpejam beberapa detik.
Erina tak mengerti apa yang Nicholas coba sampaikan. Dia hanya menganggukkan kepala. Sebelum menyadari jika bibirnya sudah terlalu banyak bertanya. Dia menepuk jidat, kenapa dirinya jadi banyak bertanya seperti Nicholas? Apa virus bawel sudah tertular kepadanya?
Orang bilang, malu bertanya, sesat di jalan. Namun, jika terus bertanya seperti ini, Erina takut Nicholas menganggapnya reporter kepo. Akhirnya Erina memutuskan diam, tak mewawancarai Nicholas lagi.
"Rumah lo kok belum keliatan juga ya?" tanya Nicholas heran.
"Itu karena lo jalannya kayak siput," balas Erina.
"Gimana gak jalan kayak siput. Toh gue harus gendong rumah gue," lanjut Nicholas.
Erina terdiam beberapa saat. Kalimat yang diucapkan Nicholas terdengar ambigu di telinganya. Ada dua kemungkinan, arti dari ucapannya. Pertama, Nicholas menganggap Erina tempurung siput, yang bisa disebut rumah siput. Kedua, Nicholas benar-benar menganggap Erina sebagai rumahnya. Lebih tepatnya tempat dia berpulang.
Terjadi keheningan beberapa saat di antara mereka. Nicholas tersenyum, dia mengalihkan pembicaraan, "Gue belum bilang rahasia gue ke lo 'kan?"
"Rahasia? Rahasia apa?" tanya Erina.
"Gue bisa tahu, masa depan," balas Nicholas.
· · • • • ࿙✩࿙ • • • · ·
KAMU SEDANG MEMBACA
BYE BYE MY NIGHTMARE ☑
Novela JuvenilTentang Erina, yang merasa dirinya seperti kentang. Lalu ditantang menjadi bintang, oleh cowok berhidung mancung, yang pantang berutang. · · • • • ࿙✩࿙ • • • · · "Gue cape, dihina dan direndahin. Gue juga gak mau, terus jadi beban kedua orang tua. Hi...