Jogja

967 179 16
                                    

"Asli, Rene, lo tuh emang anti tol apa gimana? Kita mau ke Jogja loh, jauh lebih cepet lewat tol Cipali." Keluh Seulgi untuk kesekian kalinya.

"Gue nggak anti tol kok. Tapi menurut gue enakan lewat jalur selatan, Gi. Nanti nih ya, kita bakal lewatin jalan yang kiri-kanannya tebing dan jurang."

Seulgi memicingkan matanya dan menatap Irene curiga, "Lo nggak ada niat aneh-aneh kan?"

"Su'udzon lo belum kelar juga sama gue?" Tanya Irene ketus.

"Ehe, udah kok. Kan gue cuma nanya. Sensi amat sih."

Saat ini mereka sudah keluar dari tol Cileunyi dan akan meneruskan perjalanan lewat jalur selatan. Rute yang masih harus ditempuh yaitu Rancaekek – Nagrek – Garut – Tasimalaya – Ciamis – Banjar – Majenang – Banyumas – Wangon – Gombong – Kebumen – Kutoarjo – Purworejo – Wates – Jogja. Padahal menurut hemat Seulgi, jika lewat tol Cipali mereka hanya perlu tetap berada di jalan bebas hambatan sampai keluar pinto tol Solo baru lanjut ke Jogja yang hanya memakan waktu satu jam dari sana.

Perbandingannya begini: rute yang Irene pilih memakan waktu sampai 12 jam perjalanan, rute yang Seulgi sarankan paling mentok memakan waktu 8 jam saja untuk sampai tujuan. Tapi tentu saja rute yang Irene pilih gratis sedangkan rute pilihan Seulgi berbayar. Irene beralasan mereka masih mempunyai waktu 10 hari ke depan, apa lah artinya perbedaan waktu tempuh yang hanya beberapa jam saja?

Seulgi sedang melihat ke luar jendela dan Irene bertanya, "Lo mau tahu?"

"Apaan?" Seulgi balik bertanya.

"Itu, lo mau tahu?"

"Mau tahu apaan, Irene? Lo mau bilang apa emangnya?"

"Astaga, Seulgi! Itu di luar banyak orang dagang tahu, lo mau nggak?"

Seulgi terbahak setelah memahami maksud Irene, "Tahu Sumedang maksud lo? Bilang dong dari tadi." Kekehnya geli, "Boleh deh. Berhenti aja di depan, gue sekalian mau ke toilet juga."

Irene memarkir mobilnya di tempat yang disediakan oleh tukang parkir. Mereka berdua pergi mencari toilet dan menuntaskan urusan masing-masing terlebih dahulu, setelahnya baru bersama ke tukang tahu.

"Bade meser sabaraha kantong, neng geulis?" (Mau beli berapa bungkus, neng cantik?) Tanya penjual tahu.

"Satu aja, Mang." Jawab Seulgi. "Sama lontongnya lima deh." Si Mang tahu melayani pesanan Seulgi dengan cekatan. Bungkusan itu berupa wadah dari anyaman bambu atau rotan dan muat untuk 25 tahu, jadi rasanya cukup untuk mereka berdua.

Setelahnya mereka melanjutkan perjalanan sambil ngemil tahu. Seulgi melirik ke HPnya Irene yang terus-terusan bergetar menandakan ada panggilan masuk. Namun cewek mungil di belakang kemudi itu mengabaikannya.

"Lo nggak mau minggir dulu?" Tanya Seulgi.

"Ngapain? Lo mau pipis lagi?" Irene balik bertanya.

"Biar lo bisa jawab telepon, Rene. Kali aja lo canggung ada gue di sini. Atau kalo lo mau, kita bisa berhenti dulu, terus gue keluar sebentar."

"Nggak usah. Biarin aja."

Rasa penasaran mengusik Seulgi. Walau pun dia paham mereka belum sedekat itu untuk mencampuri hal-hal pribadi. "Cowok lo?"

"Bukan." Jawab Irene singkat.

Tapi memang dasar Seulgi, kadang mulutnya bertindak sebelum otaknya memproses lebih jauh. "Lagi marahan ya?"

"Apaan sih?" Irene mendengus gusar. "Kalo lo keganggu, gue matiin HPnya."

"Eh, jangan!" Cegah Seulgi. "Nanti kalo orang tua lo ngehubungin gimana?"

NebengersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang