Malang

1K 183 36
                                    

Jogja selalu meninggalkan kenangan manis untuk Irene, terlebih setelah liburan bersama Seulgi. Rasanya tiga hari di sana terasa kurang. Dia ingin tetap di Jogja, tapi mereka masih punya dua Kota tujuan selanjutnya.

Tiga malam tidur sekasur dengan Seulgi cukup membuat hatinya ketar-ketir. Irene khawatir jika dia tidak dapat menahan dirinya lagi, karena jika boleh jujur, teman seperjalanannya itu sangat atraktif. Apa pun yang Seulgi lakukan selalu menarik perhatiannya, bahkan ketika dia tidur pulas, Irene tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Seulgi juga tidak lagi canggung untuk memeluk atau menggenggam tangannya. Seperti saat ini, ketika dia sedang menyetir menuju Malang, Seulgi menyuapinya cemilan lalu mengelap remahan keripik dari bibirnya.

"HP lo bunyi terus tuh, Rene." Ujar Seulgi memberitahunya.

"Ya biarin aja. Gue lagi nyetir?" Balas Irene.

"Cewek lo tuh," Kata Seulgi lagi. "Ada lope-lopenya."

"Rese amat sih! Doyan banget ngintip HP gue."

"Keliatan kali, bukannya ngintip."

"Auk amat, Gi."

"Dih sewot," Seulgi terkekeh pelan. "Mau gantian gue yang nyetir nggak? Biar lo bisa nerima telepon tuh."

"Nggak penting."

"Kalo ada masalah tuh diselesaiin, Irene. Jangan malah ngehindar, kasian anak orang digantungin dari kemaren."

"Makin bawel lo ya!"

"Cuma ngasih saran." Ujar Seulgi sambil mengacak rambut Irene.

Bangsat! Rambut gue yang diacak-acak, hati gue yang berantakan. Seulgi sialan! Omel Irene dalam hati. Saat HPnya berhenti bergetar, dia langsung menyambarnya dan kemudian mematikannya. Dia bisa merasakan tatapan Seulgi tertuju padanya. Irene menghela napas panjang, "Dia selingkuh."

Mulut Seulgi membentuk huruf O, lalu dia mengerjapkan matanya lucu. "Udah dipastiin?"

Irene mendengus sebal, "Kalo lo nemuin pacar lo di kosannya lagi sama mantannya berduaan, apa yang lo pikirin?"

"Hmm... kalo mereka satu jurusan apa lagi sekelas, mungkin lagi kerja kelompok?"

"Kerja kelompok harus berduaan banget emang?"

"Ya bisa aja kan?"

"Telanjang?"

"Si anjir!" Seulgi mendorong bahu Irene pelan, "Bilang dong dari tadi kalo lo mergokin mereka lagi enaena. Ngapain muter-muter sih?" Dia tertawa.

"Puas?"

Seulgi langsung berhenti tertawa. "Eh, sori¸ Rene..." Dia meringis, "Gue nggak maksud –"

"Sekarang ngerti kan kenapa gue males ngangkat telepon dari dia?"

"Iya." Mereka terdiam beberapa saat, menikmati lagu yang mengalun di radio. "Kenapa nggak diputusin aja, Rene?" Tanya Seulgi lagi.

"Mau, nanti."

"Gantian ya nyetirnya?"

"Apa sih, Gi?"

"Itu lo jadi emosi."

"Gue masih bisa nyetir ya. Nggak usah bawel deh." Omel Irene. "Kalo nggak suka, sana turun!"

"Buset, tega lo nurunin gue di tengah tol gini?"

"Ya abis lo ngeselin!"

"Iya, ya udah, maaf... gue diem deh."

Selama tiga jam sisa perjalanan benar-benar diisi dengan diam.

Akhirnya mereka sampai di Gubuk Klakah, sebuah desa yang berlokasi dekat dengan area Taman Nasional Tengger – Semeru. Desa tersebut terletak di ketinggian 2.200 MDPL dengan kontur yang berbukit-bukit, mobil Irene sampai harus 'dirawat' oleh warga sekitar yang kebetulan mengerti mesin mobil. Tidak mogok memang, hanya berjaga-jaga saja.

NebengersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang