21. Perang Besar Sepuluh Tahun Lalu.

14 4 0
                                    

Kobaran api yang dikeluarkan Tuan Forde melesat menghantam benda yang mirip seperti segel. Garis-garis di segel itu mengeluarkan sinar kemerahan. Aku melihat garis itu terus bergerak dan menyadari kalau garis itu membentuk lambang dua gambar Naga yang saling menyerang dengan cahaya bersinar di tengahnya berpendar indah. Lambang Laspragram. Begitu lambang itu sempurna terbentuk, segel itu merekah menjadi dua, perlahan membuka dan menunjukkan sebuah lorong dengan ujung tampak bercahaya terang. Lorong itu tidak panjang dan tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di ujungnya.

"Mari," Tuan Forde melangkah, melanjutkan perjalanan.

Aku mengangguk, mengekor, diikuti Patra dan Danemon. Ketika sampai di ujung lorong dan keluar dari tambang. Hawa dingin menyeruak, menusuk kulit. Aku merapatkan jubah, menghalau hawa dingin. Aku memandang ke depan.

Sebuah Hutan Taiga terbentang luas, menyambut kedatangan kami. Pohon-pohonnya yang runcing, dengan medan tanah nyaris terjal. Bulan purnama bersinar di atas sana. Eh, tunggu dulu. Aku memandang langit yang sudah gelap. Bukankah saat aku pergi menuju tempat ini, hari masih pagi. Tapi kenapa saat sampai di sini? Tiba-tiba sudah menjelang malam saja? Aneh. Apa mungkin berjalan di lorong tadi memang membutuhkan waktu lama dan tak menyadari kalau hari sudah berganti?

Tuan Forde melangkah kaki, mengusir keherananku. Dia juga tidak menyalakan obor, seperti tak peduli dengan suasana hutan yang amat gelap karena sudah malam. Bulan perlahan-lahan tertutup awan, menambah kegelapan.

"Eh, Tuan Forde," aku menyergap, "Apa kita tidak menyalakan obor saja? Jalannya begitu gelap, takut nanti kita bisa ter--"

"Tidak usah," Tuan Forde memotong ucapan ku dengan ketus. Terus berjalan, membuat ku dan Patra terpaksa mengikuti. "Jika kau ingin menarik perhatian. Tinggal nyalakan saja."

Aku menatap Patra. Apa maksudnya?

"Perkataannya benar. Jika kita menyalakan obor atau api, itu akan membuat kita mencolok. Hewan buas atau musuh sekalipun akan tahu posisi kita. Lantas menyerang," jelas Patra.

Aku mengangguk paham.

Berjalan di kegelapan terasa sulit sekali. Aku belum terbiasa. Saat pertama kali menjejalkan kaki di abad ini, aku dan teman-temanku pernah berjalan di hutan pada malam hari. Hanya saja medannya lebih bersahabat ketimbang tempat ini. Berkali-kali kakiku tersandung batu, nyaris terjatuh. Aku menghela nafas. Perjalanan ini akan semakin sulit.

Batang-batang pohon Cemara terlihat di sekitar, tidak merapat, membuat ku leluasa bergerak meski bebatuan selalu saja mengganggu.

Sama seperti tadi. Tuan Forde memimpin perjalanan. Untuk orang yang sudah tua sepertinya, tidak kesulitan berjalan di kegelapan, bahkan lincah menghindar batu dan belukar yang menghadang. Dia macam sudah terlatih saja, atau lebih tepatnya telah terlatih. Dia kan mantan Kesatria Naga.

Semakin masuk ke hutan, semakin banyak batang pohon, semak dan belukar yang kutemui. Bertanda hutannya semakin lebat. Aku melihat Danemon terbang santai di sisiku. Terlintas, kenapa kita tidak menaiki Danemon saja? Bukankah itu bisa mempercepat perjalanan dan tak usah repot-repot berjalan di kegelapan.

Belum sempat mengusulkan pada Tuan Forde. Terlintas siluet aneh terbang di angkasa. Aku tak tahu api itu. Mirip kelelawar dan mengeluarkan suara aneh. Jangan-jangan itu Aholl, si kelelawar raksasa yang pernah menyerangku di Kota Arkapura.

Danemon mengerung garang saat melihat siluet tadi. Patra tampak siaga. Aku memandang siluet aneh yang beranjak meninggalkan lokasi kami. Semoga saja dia tidak kembali.

Beberapa menit berlalu, tidak ada tanda-tanda kemunculan siluet tadi. Semuanya masih aman. Puh! Harapan ku terkabul.

"Hutan Jalitama masih belum sepenuhnya aman untuk dijelajahi. Banyak monster yang berkeliaran seperti yang baru saja melintas. Saran Tuan Forde untuk tidak menyalakan obor tepat sekali," ujar Patra.

THE DRAGON ELEMENT (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang