Chapter 1-Mimpi?

472 17 2
                                    

Malam ini udara terasa sangat dingin. Aku segera menarik selimutku dan berusaha memejamkan mataku. Besok upacara, hari Senin. Aku benci hari itu. Kenapa? Karena ketika hari itu Maudy akan berkumpul bersama teman-teman paduan suara, sehingga aku akan berbaris sendirian. Tidak banyak bicara dan pastinya menghabiskan waktu upacara dengan kebosanan.
Aku sudah mulai terlelap ketika tanpa ku sadari jam sudah menunjukkan pukul 20.30. Weekend ini terlalu flat untukku. Maudy ada latihan olimpiade, sehingga kami tak bisa menghabiskan waktu bersama. Aku tidur. Aku selalu tidur dengan nyenyak. Tidak pernah bermimpi. Pernah beberapa kali aku mendengarkan Maudy bercerita tentang mimpinya. Kadang terdengar konyol. Karena pendapatku itulah aku memutuskan untuk tidak pernah mendengar cerita Maudy tentang mimpinya.
***
Aku melangkah tak pasti. Semua terlalu putih untuk dapat melihat yang lainnya. Aku kembali melangkah dengan langkah ambigu. Melihat ke sekitar tapi tak melihat apa pun. Langkahku tiba-tiba berhenti ketika seseorang memegang pundakku. Aku menoleh. Menyipitkan mataku, mencoba melihat siapa sosok itu.
   "Michella? Kenapa baru datang? Gue udah nungguin lo lama banget." Ucap sosok itu. Aku mendengar suara itu dengan baik. Itu suara....
***
Aku segera terbangun dari tidurku ketika alarm ku berdering untuk kedua kalinya. Dengan malas aku menjauhkan selimutku dari tubuhku. Mencoba meraih kembali kesadaranku sepenuhnya. Aku berjalan menuju kamar mandi dan membasuh wajahku terlebih dahulu. Kembali keluar dari kamar mandi untuk mengambil seragam terlebih dahulu. Setelah semua yang aku perlukan sudah siap, aku segera mandi.
Selesai mandi, aku segera memasukkan buku-buku pelajaranku, keluar dari kamar, turun ke lantai bawah, mengenakan sepatuku dan memanggil supir pribadiku. Pak Dadi. Aku memanggilnya beberapa kali namun beliau tak muncul juga. Aku mengecek ke belakang, ternyata tak ada orang. Ah, pasti mamam yang membawa mobil beserta Pak Dadi. Aku mengomel sebentar, percuma. Oleh karena itu aku memutuskan untuk jalan kaki.
Aku berjalan dengan malas. Masih terlalu pagi. Aku memandangi pohin besar di sebrang jalan. Ada seorang pengendara sepeda yang terlihat berjalan menghampiriku.
   "Michella? Kenapa baru datang? Gue udah nungguin dari tadi, lama banget." Celetuk orang itu seraya memperbaiki kaca matanya. Aku menoleh ke arahnya sebentar, kembali menatap jalan. Tanpa ku sangka, dia menahan tanganku.
   "Lepasin. Lo siapa sih?" Tanyaku kesal. Dia malah tersenyum. Memperlihatkan lesung pipinya. Aku tau siapa dia. Dia, anak kebanggan semua guru. Afgan. Jadi.. dia yang semalam ada di mimpiku?
"Ini. Lo belum sarapan kan? Ntar lo pingsan, gue yang repot.makan deh, buruan. Gue tunggu, habis gitu kita berangkat bareng ke sekolah." Perintah Afgan dengan cepat. Aku segera menaikkan kedua alisku,ni.
   " Lo siapa gue ya? Ngatur-ngatur gue kayak orang tua gue aja. " protesku kesal.
***
Aku melipat kedua tanganku kesal. Afgan, sekali lagi dia mebuntutiku. Dia benar-benar keterlaluan. Tadi pagi, aku berhasil lari darinya. Cepat-cepat menyegat taxi dan bergegas ke sekolah. Anehnya, sekarang, dengan tenangnya dia berdiri di sampingku. Laura. Anak di depanku, terlihat tak percaya dengan keberadaan Afgan. Aku mendengus kesal.
   "Sebaiknya lo buruan pergi deh. Lo cuman jadiin gue pusat perhatian." Aku mendengus sekali lagi tanpa melihat ke arahnya. Afgan memajukan kepalanya, sangat dekat dengan pundakku. Buru-buru aku melangkah maju.
   "Lo mau gue pergi? Sayangnya nggak bisa." Jawabnya datar. Aku menatap lurus ke arahnya.
   "Lo! Lagi taruhan sama siapa hah?!?" Bentakku kasar seraya menunjuk ke arahnya. Afgan meraih jari telunjukku. Tersenyum lagi.
   "Gue taruhan sama nyawa gue. Kalau akhir semester ini gue nggak bisa dapatin lo, gue bunuh diri." Jawabnya asal disusul tawanya. Tanganku melayang begitu saja, aku menamparnya. Plak! Tepat setelah bunyi itu banyak mata yang tertuju ke arah kami. Aku menatap mereka garang. Semua berdesis. Afgan, diluar dugaanku meraih tanganku.
   "Sorry, pacar gue lagi pms, galaknya kumat." Jelasnya bohong. Aku menoleh ke arahnya. Bukan diam, malah semakin ricuh. Sampai-sampai ada guru pengawas yang menghampiri kami. Afgan tersenyum ramah ke arah nya.
   "Ada apa, Afgan? Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya. Afgan segera menggelang dan semua murid menoleh ke arah kami. Aku benar-benar menjdi pusat perhatian sekarang. Afgan menggenggam tanganku, menarikku keluar dari barisan. Dia gila!

Afgan berjalan santai meninggalkan lapangan. Aku menahan amarahku. Ini keterlaluan. Sangat keterlaluan. Apa maksudnya? Menjadikanku omongan orang? Aku bukan siapa-siapa di sekolah ini. Aku tak memiliki image atau apapun itu sejenisnya. Berbeda dengan Afgan. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya ia inginkan dariku?


Tentang MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang