Chapter 6-Reuni Mama

130 12 1
                                    

Jakarta tidak pernah sepi. Baik pagi maupun malam. Hujan ataupun terik. Akan selalu ramai. Bunyi klakson menghiasi jalanan. Tapi, entah mengapa setiap kali bersama Afgan aku merasa lebih nyaman. Mulai tidak terusik dengan guncingan dari teman-teman lainnya. Afgan tak pernah sepenuhnya membelaku, tapi selalu tau cara untuk menguatkanku setiap kali aku terlihat ragu.

Sudah hampir seminggu dia duduk di sampingku. Aku sudah mulai terbiasa setiap kali dia mencuri pandang ke arahku. Mulai ada yang tak karuan. Mulai terasa sesak. Aneh. Afgan beberapa kali mengajakku bermain ke panti asuhan. Selain Alina, sekarang aku sudah mengenal lebih banyak anak panti. Mulai dari Dion, adek tertua Afgan yang berumur 14 tahun. Hingga Salsa yang memiliki kegemaran memasak diumurnya yang ke 10 tahun. Entahlah, aku cepat akrab dengan mereka.

Siang ini, karena paksaan mama, aku berada di salah satu mall untuk hunting baju. Sebenarnya aku malas membuang waktuku untuk hal semacam ini. Seharusnya aku sekarang berada di panti dan tertawa bersama anak-anak panti, bukannya berdiri mematung di depan mama.

"Aduuh, jangan yang ini. Michella kan kurus. Masa bajunya longgar gini." Gerutu mama kepada pegawai yang memilihkan baju untukku.

"Ma, kenapa beli baju segala sih? Besok aku pakai kaos aja kan bisa. Lebih casual daripada pakai gaun kek gini." Protesku menjauhi mama.

Mama melingkarkan kedua tanganya di depan perut. Menggeleng kuat-kuat menolak protesku.

"Nggak pakai protes, ya. Kamu kan tau ini reunian penting buat mama. Masa kamu tega jatuhin image mama di depan teman-teman mama?"

Aku mengalah. Percuma berdebat dengan mama, hanya semakin mengulur waktu. Aku dengan kesal menunggu mama memilihkan baju untukku. Hanya karena reuni SMA-nya, mama ngotot untuk membelikanku gaun baru. Sialnya lagi, reuninya diadakan malam minggu besok. Aku gagal menginap di panti hanya karena acara ini.

***
Hari menjelang malam. Kami baru tiba di rumah. Aku langsung melongos ke dalam.kamarku. Malas melanjutkan perdebatan dengan mama. Rasanya ngantuk sekali, ingin segera tidur. Entahlah, biasanya aku susah tidur jika selesai berpergian dengan mama. Hari ini terasa berbeda saja, ingin segera istirahat. Seperti tak sabaran untuk hari besok?

***
"Chel..." Suaranya terdengar lembut.

Aku mengadah ke arahnya. Menatap lekat-lekat setiap sudut wajahnya. Indah. Aku menyentuh rahang pipinya, terasa nyaman. Membuatku tak ingin beranjak dari tidurku dipangkuannya.

"Aku yang nomor satu kan?"

Tanyanya menunjuk ke jantungku. Aku mengangguk meyakinkan.

"Selalu." Jawabku yakin.

"Selalu?" Tanyanya ulang.

"Heem. Selalu."

Tiba-tiba dia membantingku dari pangkuannya, mengambil pistol dari saku belakang celananya. Menudungku pas di kepala.

"Bohong! Kamu mulai jatuh hati pada Afgan!"

Door!!!

"Michel!!"

Suara teriakan mama dari depan pintu kamarku menyelamatkanku dari mimpi burukku itu. Nafasku beradu kencang sekali. Susah payah aku mengatur nafas terlebih dahulu kemudian bangkit dari tidurku. Berjalan membuka pintu untuk mama.

"Kenapa, ma?" Tanyaku to the point.

"Kamu kenapa keringetan gitu? Habis ngapain?"

"Mimpi buruk. Mama ngapain ke kamar Michel?"

"Cuman mau ngasih tau. Besok kamu ditemani Frans, yang tempo hari ke sini itu---"

"Apa ma?!? Frans? Nggak. Michel nggak mau!" Potongku cepat.

Tentang MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang