Jantungku benar-benar berdegup tak karuan. Afgan terus menggandengku sampai di depan pintu kelasku. Tangannya perlahan ia lepaskan. Ya Tuhan, apakah aku harus masuk ke kelas? Aku sempat menggeleng ragu ke arah Afgan.
"Lo pasti bisa kok belagak cuek. Nggak usah ditanggepi omongan anak-anak yang lain. Mereka aja yang bodoh, mau dikibulin sama si Maudy." Ucap Afgan tegas diakhiri senyuman yang memperlihatkan lesung pipinya.
"Tapi.. gue taut..." Lirihku pelan. Afgan menarik nafas sejenak kemudian melangkahiku dan membuka pintu kelasku.
"Permisi bu.." Ucap Afgan. Sontak semua mata tertuju ke arah kami. Aku berdiri di belakangnya dan menunduk lemah saat mulai terdengar desis-desis tak mengenakkan telingaku. Bu Sarti, guru Bahasa.Inggrisku yang sedang mengajar mempersilahkan Afgan masuk. Aku mengikuti langkah Afgan kaku.
"Maaf mengganggu, bu. Saya mau izin mengantarkan Michella pulang. Tadi sudah istirahat di UKS,tapi sepertinya harus periksa ke dokter."
"Dokter sakit jiwa!" Teriak anak yang duduk paling depan. Kakiku seketika gemeteran. Aku sama sekali tak berani menatap ke arah siswa.
"Huush! kamu nggak boleh ngomong gitu, Aryo!" Tegur Bu Sarti. Setelah itu beliau mengijinkanku untuk pulang bersama Afgan. Aku sangat lega ketika berada di luar.
Aku dan Afgan berjalan menuju parkiran. Afgan terus menggandeng tanganku selama kami berjalan. Hening. Semilir angin yang aku rasakan membuat perasaanku membaik. Aku tidak tau apakah ini karena adanya Afgan atau memang hari yang sedang baik? Yang jelas, aku merasa lebih kuat dari sebelumnya.
"Lo bisa naik sepeda kan?" Tanya Afgan sedikit meremehkan ku.
"Bisa kok. Tapi, sepeda lo kan sepeda gunung." Balasku asal. Afgan terkekeh mendengar alasanku. Sebenarnya aku tidak bisa naik sepeda, tapi sebaiknya aku menutupi dari Afgan. Aku tidak mau dia nantinya meledekku.
"Lucu ya. Orang jaim kok juteknya selangit. Yaudah, tunggu di sini, gue ambil sepeda gue dulu." Ujar Afgan cepat. Aku mengangguk. Afgan berlarian kecil menuju salah satu sepeda berwarna biru terang menyala yang di parkir paling pojok. Setelah mengambil sepedanya, Afgan menyuruhku duduk di belakang. Aku tertawa melihat sepedanya. Sepeda wanita dengan rajang kecil di depannya.
"Hahhaha... Ini sepeda lo, Af?" Tanyaku disela tawaku.
"Udah nggak usah bawel. Buruan naik." Perintahnya. Aku segera duduk di belakangnya dan meneruskan tawaku. Afgan tak henti-hentinya menyuruhku untuk berhenti tertawa.
***
Afgan membawaku ke suatu tempat yang belum pernah ku kunjungi sebelumnya. Atap rumah sakit. Aku tidak habis pikir dengan prilaku Afgan. Untuk apa kami ke sini? Setidaknya banyak mall atau tempat lain yang lebih asyik untuk dikunjungi. Sebentar? asyik? Ah, seperti ingin berlibur saja. Aku lupa, Afgan hanya ingin menyelamatkanku dari omongan anak-anak.
"Kita mau ngapain?" Tanyaku ingin tau.
"Piknik!" Seru Afgan bersemangat. Dia memperlihatkan apa yang dibawanya di dalam ransel. 2 minuman kaleng bersoda dan sekotak penuh brownis kering.
"Ya Tuhan! Afgan! Lo ke sekolah bawa bekal?" Tanyaku gemas ketika Afgan duduk dengan santainya di salah satu sudut atap.
"Hemat kali. Lagian kan gue kurus, makan dikit aja udah kenyang. Nggak kayak lo." Ledeknya menjulurkan lidah.
"Iih! Enak aja! Gue emang makan banyak tapi gue nggak gendut ya." Protesku kesal. Aku memukul pundaknya dengan ranselku.
"Yang ngomong gendut siapaa? Hahaha lo ngerasa gendut ya" Afgan kemudian berlari menjauhi pukulanku. Aku terus mengejarnya dan melanjutkan pukulanku ketika dia tak bisa berkutik kemana-mana lagi. Tanpa ku sadari, tawaku lepas. Tanpa beban. Kedua mata Afgan tak luput sedikitpun memperhatikan tawaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Mimpi
RomansIni cerita fanfic tentang Afgan, Maudy, dan Michella. fnafic pertama ku dan nggak yakin sih bakal banyak yang baca. Cuman sekedar menyalurkan hobby aja. Dicerita ini, aku pingin bikin end Afgan nggak sama Maudy. Thanks banget yang udah mau baca:)))