Big Brother

194 7 0
                                    

Renard mendengus.

Oh, akhirnya bantuannya datang juga. Pintu terbanting dan dia tidak perlu ikut menoleh seperti yang lain untuk mengetahui siapa di sana.

"Selamat siang," Kata suara itu, tenang seperti air dan halus seperti angin Mondstadt. "Saya datang secepat yang saya bisa."

"Oh, Haoran Li... Tidak ada orang tuamu?"

"Tidak pak, maaf.. Tidak ada yang dapat datang"

Sang guru di depan Renard menghela nafas seolah tau itu akan terjadi–atau ya, memang sudah tau.. tapi berbeda halnya dengan seorang wanita yang berdiri di samping seorang murid terluka disebuah kursi. Dengan ekspresi tersulut-sulut menghampiri tempat Haoran berdiri.

"Kau kakaknya?"

"Uh.. ya?" Haoran tersenyum tipis.

"Apa kau tau apa yang dia lakukan pada anakku?! Apa itu sikap seorang Omega?!"

Haoran dengan jelas mendengar Renard berdecih halus. Renard dan anak yang dimaksud ibu ini sama babak belurnya; pipi lebam, baju sobek, tapi keadaan Renard terlihat lebih baik.

"Boleh saya bertanya maksud anda dari 'sikap seorang Omega' yang anda maksud? Saya tidak mengerti" Suaranya tetap setenang aliran air, tidak ada kemarahan, hanya tersenyum kecil. Namun Renard tau, di dalamnya ada kemarahan yang dipendam.

Geraman rendah terdengar dari wanita paruh baya di depan Haoran, sejenak mengendus bau disekitar Haoran. "Ah.. kau seorang Alpha? huh.. kau pasti terlalu memanjakan adik Omega-mu sampai dia berani melawan Alpha"

"Tidak," jawab Haoran cepat dan tegas "adik saya tidak didiskriminasi di dalam pact sehingga dia masih merasa setara dengan Alpha," dia tertawa kecil, "justru, adik saya patut dipuji dengan menendang alpha kurang aja yang merendahkannya. Harusnya anda yang mengajari anak anda bagaimana cara bersikap, bukankah begitu?"

Pandangan sengit terarah dari sepasang mata tajam alpha wanita, percobaannya untuk mengintimidasi alpha yang lebih muda gagal. "Atau jangan-jangan anda memaksa Omega malang anda untuk melahirkan anak alpha? Oh– kasihan.. bagaimana mungkin dia–" 

Tepat saat kata-katanya belum selesai dan sebuah tangan hampir mendarat pada pipi alpha muda, guru yang mengawasi mereka meneriakkan nama Haoran dengan kencang sekaligus menghentikan tangan alpha wanita.

"Haoran Li!"

Haoran memandang dingin sepasang mata penuh amarah, begitupun matanya yang berkobar api dari amarah yang dipendam. Suasana tegang dengan sepasang alpha yang mengeluarkan aura intimidasinya. Renard dan bahkan anak dari alpha wanita menggigil ditempat, bahkan guru beta merasa kecil dihadapan mereka.

"Tuan Ragnvindr akan menanggung biaya pengobatan anakmu, aku sudah memberitahunya" tidak ada lagi formalitas menghormati yang lebih tua. Renard berdiri, seolah jika dia tidak cepat-cepat melakukannya masalah mereka makin membesar.

"Ha—Ranran... ayo kita pergi aja yuk.." Renard melingkarkan tangannya pada siku Haoran membuat dia dipandang sepasang mata campuran biru dan kuning yang beradu cantik, ah, mau berapa kali pun Renard memandangnya dia tetap terpukau.

Kakaknya dengan enggan mengangguk pada ajakan adiknya, sebelum berbalik mengucapkan salam untuk guru. "Saya menganggap masalah ini telah selesai, kalau begitu saya dan adik saya undur diri" dia menunduk sopan. Renard segera mengikuti gerak langkah Haoran.

---

"kau! bukankah sikapmu berlebihan!" Tegur Renard setelah jauh dari ruang konseling.

Haoran nampak seperti anak anjing yang dimarahi, menunduk dengan bibir mengerucut. Renard menemukan bahwa itu sangat imut, apalagi seperti terlihat sepasang telinga anjing dikepala kakaknya. Sikap yang jelas berbanding terbalik dengan beberapa menit yang lalu.

"Terima kasih karena membelaku, tapi---"

"Mana 'Ranran' tadi?" 

"Hah?" 

Sesaat Renard berhenti mengoceh, menatap kakaknya bagai anak anjing—yang sekarang terlihat terlantar—yang menatap cemberut kearah Renard.

"Kau..." Renard menghela nafas, tidak paham lagi. "Siapa kau? Papa Ajax?"

"Dan kau terlihat seperti Mama Diluc sekarang"

Renard kehilangan kata-katanya, "ya, aku—aku anaknya!"

"Aku anak Ajax Tartaglia" 

Ya Archons, Renard lelah. Yang lebih muda mengusap mukanya dengan tangan, ish, dia gemas sama kakak sendiri. Apa ini yang dirasakan Mama Diluc saat berkonflik dengan Papa Kaeya? Jelas Haoran belajar menjawab seperti ini dari dia, walau secara biologis dialah yang anak Kaeya!

"Oke, lupakan, masalah sudah selesaikan? Kita pulang! Marcel dan Domi pasti menunggu!" Renard berbalik, mengabaikan mata cantik Haoran yang terus memperhatikan gerak-geriknya.

"Kau tidak ingin ku gendong Ren?"

'Apa lagi sekarang Archon..' Renard merasa pipinya memerah, "ke–kenapa juga aku meminta digendong olehmu?"

"Kau lelah, bukankah begitu? Menghajar Alpha yang satu itu terlihat tidak mudah..."

"A,aku sudah melakukannya cukup sering untuk terbiasa.."

Renard melirik tempat kakaknya berdiri di belakangnya, dan sekali lagi, dia merasa melihat telinga anak anjing yang turun dikepala Haoran. Dia merasa diabaikan, tatapannya juga mengatakan bahwa dia tersakiti karena kata-kata penolakan.

"Renren.. sudah tidak ingin digendong kakak.."

"Aku sudah besar! 16 tahun, apa itu tidak cukup? Lagi pula memalukan sekarang untuk kau gendong.."

"Aku tidak merasa malu.."

"Aku yang malu!!"

Renard terengah-engah berargumen dengan Haoran.

Ya, dia lelah, meski dia mendapat luka lebih ringan karena pengalamannya di club seni bela diri–dia sabuk hitam taekwondo–tapi melawan alpha tetap melelahkan. Stamina omega di bawah alpha dan itu tidak terbantah.

Sedangkan kakaknya, kakaknya adalah orang paling mirip anak kecil daripada adik-adiknya sendiri, dia akan bersikap seperti ini jika keinginannya tidak terpenuhi dan Renard sama sekali tidak terbiasa meski dialah objek paling sering dimanja oleh Haoran; digendong, diajak jalan-jalan, dan paling dekat dengan Renard sendiri.

"Ahh...! Baiklah! Tapi turunkan aku saat hampir sampai di sekolah si kembar!"

Dengan begitu Haoran terlihat berseri-seri, dia segera berjongkok di depan adiknya yang segera menaiki punggung itu, Renard melingkarkan tangan dileher kakaknya dan bersandar dengan nyaman.

"Baiklah! Kita berangkat!" Seru Haoran, mulai melangkah.

Renard menutup matanya disepanjang jalan, kenyataannya dia tidak merasa malu digendong seperti ini, punggung Haoran selalu lebar dan hangat dan nyaman, sangat nyaman, Renard selalu saja hampir tertidur. Ada suara gemuruh saat Haoran bersenandung, membawa rasa nyaman lain saat lagu yang disenandungkan adalah lullaby yang mama mereka sering nyanyikan saat akan tidur.

Dia lelah, tumbuhnya rileks dipegangan Haoran karena dia merasa aman, tidak perlu khawatir akan tatapan Alpha lagi saat dia bersamanya. Kakaknya. Yang akan selalu melindungi dia kapanpun. Dan Renard percaya bahwa itu akan selamanya begitu walaupun dia akan pergi ke pelukan alpha lain mengikuti takdirnya.

"Selamat tidur adiknya kakak"

Happy × Issue × familyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang