天省22年 10月 13日
13 Oktober, Tahun ke-22 Tenshō. 1915.
Pagi Hari.——————————
HARI KEBERANGKATAN ditetapkan sehari sebelum dilaksanakan Perundingan Damai. Pagi itu, Kishiga dan regunya diantarkan menuju Stasiun Sentral Edo. Sebuah bangunan bata yang berdiri megah, membentang di Maruno-uchi. Pada kanopi dangkal bangunan tersebut yang berbentuk setengah lingkaran, terdapat sebuah jam besar yang menunjukkan pukul 08.10. Saat itu orang-orang berlalu lalang seperti sekumpulan serangga yang berkeriapan.
Kishiga menginjakkan kakinya memasuki rotunda stasiun. Bersama anggota regu yang lain, ia berjalan melewati loket karcis dan memasuki persimpangan menuju peron. Kishiga mengenakan mantel panjang yang menutupi kemejanya. Sehelai mafela hangat melilit lehernya. Ia menenteng sebuah koper berwarna hijau tua.
Sebelum mereka memasuki peron stasiun, Kishiga berpaling ke sebuah ruangan yang berada di sisi lain stasiun. Pintu ruangan itu dijaga oleh sepasang prajurit berseragam. Menurut informasi yang diterima, Tuan Tsuneyoshi dan regu pengaman khusus yang mendampinginya berada di dalam sana. Mereka juga menunggu keberangkatan menuju Kyoto.
Begitu memasuki peron, Kishiga mengambil tempat di bangku kosong yang memanjang di ruang tunggu. Anggota regunya menyebar ke berbagai penjuru, berbaur dengan lautan manusia, tetapi dalam jarak di mana mereka mampu saling mengamati satu dengan yang lain. Sewaktu Kishiga mengambil sebuah katalog yang tersedia di rak terdekat dan membacanya, seseorang mengambil tempat kosong tepat di sebelah posisi duduknya. Pria itu mengenakan topi fedora pipih menutupi kepala dan sepasang kacamata bulat.
"Sudah menemukan tempat berlibur yang menarik, Kapten?" Pria itu setengah berbisik, berbicara tanpa menoleh pada Kishiga. "Kalau boleh kusarankan, barangkali kau tertarik dengan–"
"Ōyama." Kishiga tidak mengalihkan pandangan dari halaman katalog yang dipenuhi foto-foto restoran. "Sebaiknya tutup mulutmu jika bukan karena sesuatu yang penting."
Kapten Ōyama menyembunyikan tawanya dengan terbatuk berulang kali, sembari mengeluarkan sebatang rokok dari kotak logam yang berada dalam saku jaket. Ia menyalakannya, menghela satu isapan, dan mengembuskan segulung asap. "Para pelukis kain sutra sudah meninggalkan Izumo melalui Jalur San'indō." Nada bicara Kapten Ōyama berubah serius.
"Berapa orang?"
"Sepuluh."
"Profil?"
Kapten Ōyama menggeleng kecil. Sembari mengisap rokok, ia bergumam, "'Tak satu pun. Kita baru akan mengetahuinya sesampai di Kyoto."
"Berisiko."
"Seseorang bernama Kutabe akan membantu kita selama di sana."
Kishiga mengangguk dan berdeham. Ia membuka halaman katalog selanjutnya, mengubah posisi duduk, dan merapatkan tubuhnya pada sandaran punggung. Kapten Ōyama tetap pada posisi semula, bersandar pada lengan bangku dan sesekali menggoyangkan rokok yang tersampir di antara dua jemarinya. Percakapan di antara keduanya berakhir begitu saja. Keriuhan dari lautan manusia menelan keheningan di antara mereka. Orang-orang berlalu, silih-berganti, mendekat sebelum kemudian menghilang dari pandangan.
Setelah beberapa lama, terdengar lolongan panjang dari lokomotif kereta di kejauhan. Kishiga mengamati arlojinya lalu beranjak dari situ, meninggalkan Kapten Ōyama sendirian. Ia berjalan menghampiri sisi peron, sebelum akhirnya berdiri di antara penumpang lainnya.
Sebuah lokomotif hitam-merah memasuki stasiun, membawa serangkaian gerbong berwarna merah bata. Lokomotif itu menurunkan kecepatannya, lalu berhenti tepat di hadapan para calon penumpang. Lokomotif Tipe 4-4-0 yang mampu melaju dengan kecepatan tinggi. Lokomotif itu menggiring belasan gerbong dengan dekorasi yang beragam memanjang hingga ke ujung stasiun. Asap membubung dari cerobongnya dan suara uap yang bergejolak terdengar dari ketel lokomotif. Orang-orang berbaris memenuhi peron, sementara seorang kondektur berbicara dengan beberapa petugas kereta.
Gumpalan asap putih menyerupai kabut pekat menyelubungi sekeliling lokomotif kereta tersebut, membubung hingga ke langit-langit stasiun, seperti ketel uap yang baru saja datang dari langit dan membawa serta sekebat awan-awan.
Kenangan singkat melintas dalam pikiran Kishiga. Sewaktu kecil, ketika ia dan Yasuyo berjalan pulang dari sekolah dengan menyusuri jalanan bersawah di Shitaya, sering kali mereka berpapasan dengan kereta uap yang melaju di kejauhan. Beberapa anak petani berlari-larian di sisi rel, berlomba mengejar gerbong-gerbong yang memelesat.
Setiap kali mendengar lolongan yang memekik dari klakson lokomotif, ia merasakan sesuatu yang berat dan sayu. Suara itu terdengar seperti raungan kesepian, meskipun keramaian dari bangunan dan sawah mengelilingi lokomotif tersebut, serta anak-anak yang selalu menyambutnya dari kejauhan.
Di balik kesemarakannya, lokomotif itu begitu sendirian. Tentang perasaan itu, Kishiga menyadari suatu koneksi yang samar, tetapi erat, antara dirinya dan Yasuyo. Setiap kali berpapasan dengan kereta uap, mereka akan menatapnya hingga menghilang dari pandangan.
***
KISHIGA MENEMPATI GERBONG KEEMPAT. Seluruh anggota regu yang lain berada di gerbong yang sama. Seluruhnya ada empat orang; enam, jika termasuk Kishiga dan Kapten Ōyama.
Kishiga duduk bersebelahan dengan Letnan Sadayuki, sementara Kapten Ōyama dan anggota lainnya menempati tempat duduk berbeda di sepanjang gerbong. Masing-masing duduk secara berpasangan, meskipun seolah-olah saling tidak kenal.
Keberangkatan ditempuh melalui Jalur Rel Tōkaidō, salah satu dari tiga jalur penghubung terbesar di wilayah pemerintahan Dinasti Domugi. Jalur Rel Tōkaidō menjalin 23 kota stasiun strategis yang menghubungkan Edo dan Kyoto. Keberangkatan ini menggunakan perjalanan kereta ekspres, sehingga mereka hanya akan singgah di 10 kota stasiun dan akan tiba di Kyoto dalam ±10 jam.
Kishiga menenggelamkan tubuhnya pada kursi busa dan memandang ke arah selatan, di sisi kiri gerbong. Kereta melaju melewati kawasan perkotaan, di mana gedung-gedung yang berdiri kokoh tampak seperti kelebatan berwarna-warni. Di balik hutan-hutan beton itu, berdiri tembok pertahanan raksasa berwarna kelabu gelap. Sebuah tembok pelindung yang membentang di sepanjang pesisir selatan Jepang hingga ke pelabuhan di Osaka.
Itu adalah dinding pertahanan Tōkaidō.
Tepat di balik tembok tersebut, yaitu di sisi luar, adalah kawasan yang dikuasai iblis Gaki, para monster yang semata-mata dipenuhi hasrat untuk membunuh. Perwujudan dari keinginan yang 'tak terbendung. Sosok monster yang senantiasa mengidam-idamkan nikmatnya meminum otak manusia.
Sementara itu di sisi dalam tembok, yaitu wilayah pemerintahan, orang-orang terus melanjutkan hidup. Setelah perang berlalu dan pemberontakan diredam, semua seakan-akan kembali seperti semula. Kehidupan dan pembangunan bangkit di atas sisa-sisa kekelaman di masa lalu. Meskipun residunya masih sesekali terhirup, semuanya hanya bagian dari sejarah. Sejarah akan tetap diam di tempat, sementara orang-orang yang mengalaminya harus terus bergerak.
Kematian dan masa lalu bersemayam di sisi tembok yang lain, sementara kehidupan dan masa depan terus bertumbuh di sisi yang satu. Dengan kata lain, tembok pertahanan itulah yang mencegah agar kematian tidak menyeberang dan memusnahkan penduduk Jepang. Sebuah garis yang memisahkan antara sejarah dan masa depan.
Setelah merenung sejenak, Kishiga mengambil sebuah buku kecil dari saku tas. Ia membolak-balikkan halaman dan menyematkan telunjuk kirinya pada lembaran yang kosong, lalu menarik pena dengan tangan kanannya.
Pernahkah terbayangkan, kematian dan kehidupan hanya dihalangi oleh sebuah garis? Begitu dekat dengan kematian, sampai-sampai bisa memandanginya. Itu menggugah perasaanku. Kehidupan adalah sesuatu yang dipaksakan. Aku tidak pernah memilih untuk hidup, tetapi aku harus menerimanya, sedangkan kematian adalah pilihan dan kebebasan.
Kishiga menuliskan pada halaman kosong.
——— Ω ———
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghoul's Realm
AdventureMakhluk-makhluk yang bengis dan kelaparan, membinasakan siapa pun yang mereka temui. Mereka adalah Gaki (餓鬼). Satu-satunya harapan terletak pada seorang gadis empat belas tahun, seorang pelukis sutra dari Izumo. Demi membawa gadis itu dengan selamat...