roses

11 2 0
                                    

rose (n) : bunga mawar; melambangkan romansa, cinta, keindahan, dan keberanian

______________________________________________________________________________

"Nona, anda ingin kemana?"

Aku berhenti di depan pintu kamarku lalu berbalik dan menjawab pertanyaan Lisha, "Aku ingin pergi ke perpustakaan." Informasi umum pasti akan ada disana, dan mungkin aku akan mengingat ini novel yang mana jika aku mencari peta dari dunia ini. Salah satu hal yang biasanya unik dalam novel fantasi adalah setting dari novel itu. Setidaknya aku harus mencari tahu aku sedang dimana saat ini.

Lisha tidak terlihat terkejut, jadi pasti Pasithea juga biasanya ke perpustakaan. "Baik, Nona. Saya akan menginformasikan Tuan bahwa anda akan sibuk sepanjang hari."

Hooh... Pasithea ternyata suka seharian baca buku ya. Dan "tuan" yang dimaksud Lisha pasti ayah dari Pasithea. Hm... sepertinya mereka tidak dekat. Buat apa Lisha menginformasikan ayah seperti itu, toh ayah juga tidak pernah peduli.

Deg.

Eh?

Barusan... pemikiran macam apa itu? Aku mengenggam kenop pintu dengan erat saking terkejutnya dengan rasa sakit tajam yang tiba-tiba menusuk hatiku.

Ini... residu dari perasaan Pasithea yang asli? Atau jangan-jangan...

"Nona?"

Aku tersentak kaget saat dipanggil.

"Nona, ada apa?"

"Tidak..." Aku buru-buru mengatur wajahku agar terlihat santai. "Aku lupa kalau aku ingin menulis hari ini. Tolong ambilkan alatku."

Lisha menunduk dan segera pergi untuk melakukan tugasnya.

"Hah..." Aku menghela nafas dengan berat. Pasithea Esme Veren... Kamu pasti tidak memiliki hubungan baik dengan ayahmu. Aku mengelus dadaku yang masih terasa sakit, seakan ada yang mencengkram jantungku. "Sakit hati karena keluarga ya..." Aku tertawa miris saat menyadari bahwa lagi-lagi tentang keluarga... Ya memang dari dulu sampai sekarag tidak ada yang benar.

(Baru nanti aku akan mempertanyakan kenapa aku tahu nama panjang dari tubuh ini)

—------------------------------------------------------

Aku berjalan di lorong besar sambil memegang alat yang diberikan Lisha. Buku tulis baru yang dihiasi permata, pena bulu yang indah, dan tinta hitam di botol kaca. Aku menatap lama alat tulis tersebut saat Lisha memberikannya, ini kalau dijual udah bisa buat beli rumah ngga sih? Aku menggelengkan kepala saking konyolnya kewewahan disini. Buku yang dihiasi permata, AYOLAH! Itu ngga perlu banget!

Tapi ini rumah atau istana... kali ini ngga hiperbola loh karena rumah ini beneran luas banget. Lorong ini aja bisa muat 5 kamarku secara vertikal! Yang harus bersihin rumah ini pasti mau nangis setiap hari. Mana pake acara dikarpetin pula... Disini ada vacuum cleaner ngga ya, kalau ngga ada beneran kasihan deh sama para pelayan disini.

Aku berhenti di samping jendela luas yang menghadap ke taman mawar. Taman itu bisa muat 5 rumahku! Haish... memang perlu ya rumah sebesar ini? Tapi, disaat aku melihat mawar-mawar itu yang disinari oleh matahari, aku merasakan rasa damai di hatiku. Heh, lumayan juga ya Pasithea.

(mawar yang melambangkan cinta, namun untuk siapa?)

(untukku? untuk ibu? untuk sosok itu?)

"Kakak!"

Aku menengok ke samping dengan kaget, dan hampir teriak disaat melihat bocah dengan mata yang bewarna sama denganku. Uwah... anak ini benar-benar mirip dengan Pasithea, sampai ke muka mereka saja hampir seperti kembar. Yang berbeda hanya warna rambut saja, rambut anak ini hitam pekat.

madness in our reflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang