prophecy

11 2 0
                                    

prophecy : ramalan atau nubuat

Elena berumur delapan tahun sekarang, berarti sudah saatnya dia pergi ke Kuil untuk mengecek bakatnya. Kudengar dia dulu tinggal di daerah pedesaan jadi tidak mungkin ada Kuil disana. Ya, di dalam novel-nya, Elena tidak pernah memastikan bakatnya karena Pasithea menolak gagasan bahwa 'benda kotor seperti itu mempunyai bakat dalam sihir' dan langsung mengejek Elena yang beraninya berpikir dirinya berbakat....

Yup, Pasithea itu sangat kejam.

"Elena."

Anak itu tersentak dan langsung buru-buru hormat. "Nona Pasithea." Wajahnya terlihat bingung kenapa aku memanggil dia. Dengan ragu dia bertanya, "A-ada apa, Nona?"

"Kamu harus mengecek bakat-mu di Kuil hari ini." Aku mengangguk ke pelayan pribadi Elena, Maya, "Siapkan dia dengan segera."

"Baik, Nona."

Aku menahan helaan nafas ketika raut wajah anak itu langsung berubah menjadi terharu. "Aku diperbolehkan untuk mengecek bakat...?"

Ampun deh! Kayaknya anak ini trauma karena kejadian kemarin. Kenapa dia takut sampai segininya sih!

"Tentu saja, semua anak berhak untuk mengecek bakat mereka."

"Terima kasih, Nona!"

Ugh. Aneh sekali mendengar sebutan 'nona' keluar dari mulutnya. "Kamu bisa memanggilku 'kakak'."

"Kakak!"

Aku cemberut dengan tidak puas. Rasanya terlalu akrab jika ia memanggil-ku 'kakak' begitu saja. "Kak Pasithea," aku ulang sambil mengabaikan muka penuh kekecewaan anak itu.

"Baik, Kak Pasithea."

-----------------------------------------------------------------------------

Jeremy bilang dia tidak mau ikut karena malas. Hah... Kalau mau bohong, alasannya bisa lebih niat kan? Ya sudahlah, anak itu juga pasti masih belum siap untuk melihat Elena lagi.

Selama perjalanan ke Kuil, Elena terus melirik ke arahku.

"Cepat ngomong kalau ada perlu," kataku singkat ketika Elena sudah terus melirik selama 15 menit dan masih saja tidak berani berbicara.

"Um... Kak Pasithea, bagaimana cara kita mengecek bakat?"

Oh iya, benar juga. Anak ini kan dari pedesaan, jelas dia tidak tahu apa-apa, dan dia baru sehari pindah ke Kediaman Veren.

"Nanti kamu hanya perlu memegang sebuah bola sihir. Biru jika kamu berbakat dalam sihir dan Merah jika kamu memiliki potensi dalam pedang. Saat ini masih belum ada cara untuk memeriksa 'Bakat', jadi jika tidak ada reaksi apapun, antara kamu memiliki 'Bakat' atau kamu adalah Manusia Kosong."

Elena terlihat bingung. "Bakat? Manusia Kosong?"

Aku menghela nafas panjang. "Dengar ya, aku hanya akan menjelaskan singkat, sisanya bisa kamu pelajari nanti saat guru-mu datang."

Ia mengangguk.

"Manusia di dunia ini dibagi menjadi 4 kategori, Penyihir yang bisa menggunakan sihir dengan handal, Ksatria yang bisa menggunakan aura pedang, Manusia Berbakat yang diberkati dengan Bakat dari Dewi Bulan, dan Manusia Kosong yang tidak mempunyai apa-apa. Ada juga Pemanggil Peri, namun mereka itu jarang ada dan susah untuk mengetahui-nya, karena harus ada Peri yang datang dengan sendiri-nya ke kamu.

"Kebanyakan orang bisa dibagi antara penyihir atau ksatria, dan semua orang di dunia bisa menggunakan sihir. Kecuali Manusia Kosong yang hampa sehingga dia tidak bisa menjadi apa-apa."

Elena mengangkat tangannya, "Jadi semua manusia itu bisa memakai sihir? Bukan cuma penyihir?"

"Benar." Aku mengganguk dengan puas. "Manusia membutuhkan sihir untuk hidup, maka dari itu pasti ada sihir di dalam tubuh kita sekecil apapun itu. Penyihir adalah sebutan bagi 'orang yang handal dalam menggunakan sihir'. Jadi orang biasa seperti Maya," aku menunjuk ke arah pelayan itu, "-tidak bisa dibilang sebagai Penyihir, namun dia bisa menggunakan sihir."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

madness in our reflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang