Icha, Iis dan Sara berlarian cepat menuju aula setelah Bu Ida menyelesaikan kelas terakhirnya. Sejak diberitahukan Ratna pada jam istirahat kedua ketika Icha dan Iis sholat dzuhur di mushola, jika ada rapat mendadak hari ini, ketiganya langsung berlarian cepat begitu Bu Ida keluar dari kelas. Dan ketika mereka tiba di aula seluruh temannya yang tidak seberapa ini sudah berkumpul di sana. Mereka dengan cepat langsung duduk menyela dalam barisan.
"Udah lama Sa?" tanya Icha pada Chrissa yang kebetulan sekali ada di sebelahnya. Chrissa menoleh pada Icha dan mengangguk, "Sekitar 15 menit sih. Kok lo baru keluar?"
Icha menggerutu pelan, "Bu Ida tuh, nggak percaya kalau udah bel pulang. Nyebelin kan?" Chrissa yang mendengar gerutuan itu hanya terkekeh.
"Itu beneran Nda?" tiba-tiba suara Agung membuat perhatian Icha dan Chrissa teralih. Arinda dan Iman yang berdiri di depan barisan mengangguk bersamaan. "Iya, ini juga kata Pak Yun ada undangan baru tadi pagi. Gimana coba?"
"Padahal masih awal tahun. Udah ada undangan masuk"
"Undangan apa sih Sa?" tanya Icha lagi. "Undangan lomba besok tanggal 10"
Icha menganggukkan kepalanya, "Tanggal 10 kan masih lama. Kok mereka pada keliatan repot sih?"
"Tanggal sepuluh Sabtu besok itu lho Cha. Bukan sepuluh bulan depan" Icha membelalakkan matanya kaget. "What?! Ini hari Selasa lho, Sa!"
"Makanya itu, Cha. Ini dirapatin" mereka berdua lalu kembali menyimak percakapan antara ketua dan wakil di depan.
"Kalian nggak ada kenalan anak paskib lain?" tanya Arinda terdengar frustasi. Tidak ada sahutan. Lalu ia memandang Irfan yang sedang sibuk menjahili Danik yang duduk di sampingnya. Ia mendesah, "Fan! Lo kan anak Paskab. Nggak ada gitu info dari mereka atau lo ada kenalan gitu buat tanya tentang ini. Jangan pacaran mulu!"
Irfan terkesiap begitu mendengar suara menggelegar Arinda memanggil namanya, "Ahh.. ini juga baruaja ketemu Nda. Kemaren kan—"
"Gue itu tanyanya lo itu anak paskab masa nggak ada info gitu, malah jawab yang lain!"
Irfan menampakkan wajah datarnya mendengar Arinda memotong penjelasan dramatisnya. "Nggak ada info Nda—"
"Nggak ada info atau lo-nya aja yang susah bersosialisasi sama mereka?"
"Ahh.. Arinda.. gue itu lagi jelasin. Jangan dipotong-potong kek!"
"Eh Mbak! Gue ada kenalan!" dan suara cempreng membahana dunia semut itu terdengar. Ya. Siapa lagi kalau bukan Icha. Sontak semuanya memandang gadis kecil itu.
"Siapa? Anak mana?" tanya Arinda cepat.
"Rendi, ketua Paskib SMA 3" jawab Icha tak kalah cepat. "Eh, tapi gue nggak ada nomornya" cengirnya tanpa rasa bersalah ketika semuanya akan merasa lega setidaknya bukan hanya sekolah mereka saja yang dadakan tapi, gadis itu merusak ekspetasi. Benar-benar gadis yang sangat 'berguna'.
"Ya Allah, Chaa~"
"Barusan gue mau muji lo, nggak jadi"
"Heh! Sepatu gue nganggur nih Cha. Lo mau nyobain nggak?" ucap Irfan sarkas membuat Icha mencemberutkan bibirnya. "Apa sih, kan tadi tanyanya ada kenalan enggak. Bukan ada kenalan nggak? Bisa kontak mereka. Gimana sih?!"
"Ya tapi sama aja geblek! Aduhh.. ini temen gue satu dateng darimana sih!"
"Apa sih.. kan gue juga bisa minta ke temen gue juga kali" ia langsung memandang Arinda yang tengah menatapnya datar, "Gue sms bentar, Mbak. Jangan galau. Don't worry be woles. Oke. Bentarr"
"Bocah satu ini sumpah banget ya"
"Udah sih Fan. Seenggaknya dia ada usaha, nggak kaya lo"
"Nah kan.. lo mulai lagi lho Nda"
"Udah Bang, sabar dong"
"Dia duluan yang mulai, say"
Icha cepat-cepat mengambil ponselnya tanpa menghiraukan kicauan teman-temannya dan segera mengirim pesan pada temannya yang bersekolah di SMA N 3. Begitu mendapat kontak Rendi ia juga langsung mengirim pesan pada pemuda yang merangkap sebagai teman lesnya tersebut. Dahinya berkerut begitu mendapat pesan balasan dari Rendi. Ia langsung mendonga menatap Arinda yang kebetulan juga tengah menatapnya. Arinda menaikkan sebelah alisnya meminta jawaban Icha tentang pandangan itu.
"Kata Rendi, iya. Sekolah mereka juga dapet undangan tadi pagi" ucap Icha lirih. Arinda dan yang lain langsung mendesah pelan melemaskan bahu mereka.
"Besok latihan" suara Agung kembali menggema. "Jadi sekalian seleksi. Kalian para senior harus siap. Kenapa? Karena ini dadakan dan bisa jadi kemungkinan kita semua yang akan maju buat lomba besok"
"Gue nggak bisa" tiba-tiba Gilang yang sedari tadi diam di tempat mengeluarkan suara. Dan ini menjadi perhatian semuanya. Melihat tatapan teman-temannya ia segera menambahi sebelum Arinda bertanya, "Gue.. mmm, bukannya apa-apa. Tapi serius, kalau gue jadi penjuru atau masuk barisan. Nggak akan ada yang ngimbangi tinggi badan gue, guys"
"Ah bener. Jadi, senior yang nggak bisa Gilang?" tanya Arinda lagi.
"Gue sama Upik juga nggak bisa Rin. Kita ngurusin Bantara. Ada pembentukan anggota baru" dan jawaban Agung membuat Arinda terdiam.
"Mmm.. Rin. Gue juga. Gue nggak boleh capek-capek soalnya gue barusan sembuh" ucap Ririn tiba-tiba, dan ucapan ini membuat Arinda mendesah pelan. Ia duduk dengan lemas. Melihat itu Izul segera ambil tindakan. "Yaudah yaudah. Gini aja, sisa senior yang ada di sini siapa yang mau ikut untuk hari Sabtu besok?"
"Tolong yang OSIS dan Bantara, ambil tindakan. Ini kita anggap sebagai tantangan. Jadi jangan takut, minder atau merasa nggak bisa. Kita itu Paskibra dan kita itu senior. Ayo, bangkit dan berjuang!" Irfan ikut ambil tindakan. Dan dari kalimatnya ini membuat sebagian teman-temannya berdecak. Sejak kapan Irfan jadi Mr. Bijak seperti ini?
"Tika, Zulfa, Sara, gimana kalian? Ikut nggak?" tanya Irfan sedikit tegas. Ya, dan ia kembali menjadi seperti pemimpin. Mendahului Iman yang sedari tadi diam menyandarkan punggungnya di depan sana.
Mendengar pertanyaan itu, ketiganya langsung mendonga menatap Irfan yang berdiri di antara Iman dan Arinda. Entah kapan ia tadi berdiri di sana. "Gue nggak bisa capek-capek, Fan. Jadi gue angkat tangan" ucap Zulfa. Irfan mengangguk. Ia menoleh kan kepalanya kepada Sara yang kebetulan duduk di sebelahnya.
"Gue nggak bisa ikut, Fan. Sorry" Irfan menaikkan sebelah alisnya. Bingung akan alasan Sara. Tapi ia tetap mengangguk, menghormati keenggangan temannya. Dan terakhir ia menatap Tika sedikit lebih lama karena gadis itu menundukkan kepala.
"Gue pengen ikut.. gue pengen ngerasain lomba. Tapi..." ia mendongakan kepalanya, "Jangan jadiin gue penjuru. Sumpah demi apapun gue nggak bisa"
Irfan menipiskan bibirnya begitu mendengar jawaban Tika yang di luar pikirannya. Entah ia akan mengatakan apa tapi ia benar-benar... benar-benar kesal. Kenapa Tuhan memberikan teman-teman yang seperti ini?
Menarik napasnya dalam-dalam ia mengangguk, "Oke. Jadi lo bisa kan? Oke deal. Pasukan inti. Gue, Iman, Arinda, Danik, Ainun, Vera, Tika, Izul, Iis, Shella, Ratna, Icha, sama Chrissa. Fix ya, jangan ada yang bilang nggak bisa, harus bisa. Paham?!"
"Paham"
Urfidha yang merasa bersalah langsung berdiri, "Guys, sebagai perminta maafan. Gue, bakal jadi official buat kalian sebagai tanda perminta maafan gue karena gue nggak bisa ikut"
"Gue juga" tambah Agung kemudian. "Jadi teman-teman, dari kita senior ada 13. Butuh 4 orang sebagai pasukan inti dan 2 orang sebagai cadangan. Dan besok seleksi kita dan kita juga langsung latihan. Oke?"
"Oke"
"Kalau gitu, rapat kita sampai di sini dulu. Kita ketemu lagi besok"