"Jadi yakin, ini di Brimob?” tanya Arinda pada rapat akhir pekan ini. Saat ini semua anggota Paskibra dan sebagian kecil anggota OSIS berkumpul di aula. Rapat dengan lokasi yang akan mereka tetapkan untuk event mereka yang tepat 3 minggu lagi.
"Iya, katanya 408 ada event gedean” sahut Gilang dengan nada aksen Indonesianya yang beda dengan yang lain. Arinda mengangguk pelan seakan ia akan melewati marabahaya.
"Lha kemarin gimana surveinya?” tanya Angga sebagai ketua OSIS. Arinda mengerutkan wajahnya.
"Jadi gini, Ngga. Kemarin itu kita udah survei tapi di Brimob kita belum survei ke belakang. Cuma izin doang. Nah rencana hari ini kita kesana lagi mau survei tempat yang nantinya bakal kita tempati. Karena, Cuma ini satu-satunya tempat yang welcome buat kita” Agung menjelaskan pada Angga. Angga mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menimang-nimang.
"Kalau bisa, cepetan disurvei biar cepet nemuin tempatnya jadi bisa ngurusin yang lain. Soalnya ini waktu mepet banget”
"Iya makanya itu...”
"Gue sebenernya ngeri sama dua tempat itu. Tapi gimana lagi” gumam Icha melamun. Vera dan Chrissa yang berada di sebelahnya langsung menoleh barengan ke arah gadis kecil itu. Icha yang merasa sedang dipandangi menolehkan kearah Vera dan Chrissa bergantian.
"Biasa aja ngeliatnya. Gue serius. Coba lo nanya sama Upik”
Tanpa banyak tanya mereka memanggil Urfidha yang duduk di barisan depan dengan desisan. Urfidha yang tingkat kepekaannya tinggi menoleh ke arah mereka. Begitu ia melihat raut wajah tiga orang yang berada di baris belakang ia segera pindah ke belakang.
"Apaan?”
"Kemarin gimana?”
"Gimana apanya?”
"Lo ngerasain sesuatu gitu?”
"Ngeri sih. Tapi nggak tau lah. Lo gimana Cha? Gue ngerti lo ngeliat sesuatu di 408” Icha yang saat itu sedang melamun tapi masih bisa mendengar menganggukkan kepalanya pelan menjawab pertanyaan Urfidha.
"Nggak usah gue jelasin lo pada pasti tau kan”
"Yaudah ntar kita rame-rame aja kesana” suara lantang Aini menggema diseluruh penjuru aula ini meraup perhatian Urfidha, Icha, Vera dan Chrissa yang tadinya sibuk dengan bahan obrolan mereka kini menoleh barengan ke arah Aini. Aini yang merasa dipandang seperti itu langsung tersenyum lebar, "Yaa.. maksudnya yang bisa aja. Gue sih ikut”
"Gue sama Icha juga ikut” suara Urfidha mengaung melebihi suara lantang Aini.
"Kok gue lagi sih??” Icha menggerutu yang hanya di kekehi oleh Urfidha.
"Kalau kalian emang kudu ikut” Arinda menyahut dari depan. Icha menghela nafas panjang. Lalu ia menoleh pada Vera. "Lo juga kudu ikut, Pe” ucapnya pada Vera dengan nada yang sangat memaksa yang hanya disahuti Vera dengan helaan nafas dan wajah datar. Lalu ia menoleh pada Chrissa. Ia menatap temannya yang satu itu agak lama. Lalu ia menganggukkan kepalanya, "Gue ngerti motor lo mau dipake lagi sama Kakak lo. Jadi gue nggak maksa, lagian lo temen gue yang paling baik”
Chrissa hanya tersenyum mendengar ucapan Icha yang memang terdengar kekanakan. Urfidha dan Vera yang mendengar ucapan Icha hanya menggelengkan kepala malang. Setelah mereka merundingkan beberapa hal, jam 4 mereka selesai dan sebagian dari mereka bersiap pulang, sebagian yang lain mensurvei Brimob.
Icha dan Urfidha adalah orang terakhir yang melewati lorong sempit yang akan membawa mereka menuju halaman belakang Brimob yang biasa dipakai untuk lapangan tembak. Dan baru-baru ini, di sini digunakan sebagai tempat eksekusi mati seorang teroris. Menyeramkan memang. Sedangkan teman-teman mereka yang lain udah lebih dulu jalan. Tiba di halaman itu. Icha berdiri di tangga teratas sambil mengawasi seluruh permukaan lapangan yang tampak hijau itu dan terdapat tembok pembatas di sisi kiri. Lalu ia melihat tebing yang nampak kokoh di ujung lapangan. Entah kenapa tiba-tiba keadaan berubah menjadi redup dan nampak seperti suasana horor di film-film.