1940, London, Inggris.
"Seulgi! Bangun! Dasar pemalas! Bagaimana bisa kau tertidur sementara masih banyak orang yang perlu diobati? Cepat bangun!"
Seulgi membuka matanya ketika pukulan tangan beberapa kali menyentuh bahunya. Ia segera duduk, dan mengusap matanya.
Sejenak ia begitu terkejut, sebab badannya terasa lebih sehat dan lebih kuat dari sebelumnya. Belum lagi pemandangan di sekelilingnya yang nampak berbeda.
Seulgi tentu ingat kapan dan di mana tempat ini.
Di hadapannya, Wendy sudah berdiri dengan berkacak pinggang.
"Hoy! Angela Kang! Kau tuli atau bagaimana? Kenapa diam saja?"
"Wendy? Kau masih hidup?"
Seulgi menunjuk wanita berambut pirang di depannya itu dengan muka terkejutnya.
"Apa-apaan kau ini? Aku tentu masih hidup! Yang mati itu pasien yang terlambat kita tangani. Lebih baik, kita bergegas ke pangkalan. Banyak yang membutuhkan bantuan medis."
Wendy tanpa basa-basi menarik tangan Seulgi untuk keluar dari tenda. Keduanya naik ke mobil tank tentara bersama para tenaga medis lainnya.
Sementara selama perjalanan, Seulgi mencoba mencerna hal tak masuk akal yang sedang dialaminya saat ini. Sebut saja ini gila, sebab Seulgi terbangun dari tidurnya dan jiwanya kembali ke 60 tahun yang lalu, di mana masa perang dunia ke 2 sedang terjadi.
Seulgi memperhatikan tiap jengkal tubuhnya. Kulit di kaki dan tangannya, perutnya yang masih terbentuk, dan juga wajah yang terlihat amat muda.
Seulgi kembali ke umurnya yang ke - 20. Entah apa yang terjadi di kehidupannya saat ini, Seulgi tak tahu. Ini seperti kisah film fiksi yang pernah ia tonton di rumah Joana tempo dulu.
"Nona Kang! Kau melamun? Ada apa? Aku rasa sedari tadi kau banyak diam? Apa kau sakit?"
Wendy kembali mengajak Seulgi berbicara. Sejenak, Seulgi memandangi wajah segar dari rekannya itu. Bisa ia ingat betul, Wendy telah wafat di kehidupannya saat ini.
Jujur, Seulgi amat merindukan sosok sahabatnya itu.
Wendy tersentak ketika Seulgi tiba-tiba memeluknya begitu erat, seperti seseorang yang lama sekali tak berjumpa.
"Hey! Kau gila ya? Jangan peluk begini! Seperti lama tak bertemu saja." Wendy melepaskan pelukkan Seulgi dengan paksa, dan lantas membenahi pakaiannya.
"Sudah hampir sampai. Bersiaplah. Ada banyak yang perlu kita tolong."
Seulgi melirik ke depan, di mana kendaraan yang ia tunggangi sudah masuk ke area pangkalan militer Inggris.
Bak dejavu, Seulgi begitu mengingat kejadian ini. Di mana ia nanti akan berakhir dengan mengobati seorang anak remaja yang terkena tembakan karena ia sedang mencari ayahnya yang sudah tewas di medan perang.
Seulgi tersenyum, ia masih bisa mengingat jelas bagaimana manisnya anak itu.
Mesin kendaraan tank itu berhenti, Seulgi telah bersiap untuk turun dan mengobati para korban.
— — —
Sebanyak 230 orang sudah diobati oleh Seulgi, 10 orang sudah tewas karena kehabisan banyak darah. Meski sudah sangat lelah, Seulgi tetap menunaikan kewajibannya sebagai petugas medis bagi para korban juga para anggota militer Inggris.
Seulgi memberi perban dan obat merah dengan hati-hati, seperti yang ia lakukan dulu. Tak ada satupun kegiatan yang ia lewatkan. Seluruh kegiatannya masih sesuai dengan apa yang seharusnya.
"Sebentar lagi, anak itu pasti datang. Aku ingat betul, setelah aku mengobati kakek tua itu, tak lama anak itu datang," ucap Seulgi dalam hati.
Ketika Seulgi telah selesai mengobati kakek tua yang terkena batu itu, tak lama beberapa orang menggendong seorang gadis yang begitu lemah dengan darah yang berkucuran dari lengannya. Seulgi yang sudah tahu pun, lantas mengambil alih dengan membawa gadis itu berbaring agar ia dengan mudah bisa mengobati lukanya.
Namun, bukan main terkejutnya. Seulgi bahkan sampai terjatuh ke belakang, ketika gadis yang dilihatnya bukan seperti yang ia ketahui waktu itu. Justru gadis yang ada di depannya adalah Katie.
Wajahnya begitu mirip dengan Katie. Bukan mirip, tapi sama persis.
Seulgi mencoba mengembalikan akal sehatnya, biar bagaimanapun ia tetap harus mengobatinya.
Dengan cepat, Seulgi mengambil gunting bedah, dan menyobek baju gadis itu di bagian lengan. Seulgi kemudian mengambil penjepit, dan dengan perlahan menarik keluar peluru panas yang masih menancap di lengan.
Setelah itu, lukanya ia jahit, sebelum akhirnya ia beri obat-obatan agar cepat kering.
Seulgi memandangi wajah Katie.
Ia benar-benar yakin bahwa gadis itu adalah Katie. Karena rasa penasaran yang semakin membuncah, Seulgi berniat untuk menanyai gadis itu nanti, ketika ia sudah terbangun.
Namun, ketika Seulgi hendak beranjak dan meninggalkan tempat itu, sebuah tangan menahannya. Seulgi menoleh, mendapati sosok gadis yang ia yakini adalah Katie itu menahan tangannya.
"Bibi! Terima kasih sudah mengobatiku!" ucap gadis itu sambil tersenyum.
Seulgi mengernyitkan dahinya, masih tidak habis pikir dengan semua hal yang terjadi ini.
"Ka-kau? Katie kan?"
Gadis itu menggaruk kepalanya yang tak gatal, bak anak kecil yang ketahuan mencuri, gadis itu malah tersenyum kecil.
"Apa acting-ku kurang bagus? Kau bisa mengenaliku."
"Jadi, kau benar Katie? Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi?" Seulgi bertanya keheranan.
Ia bahkan ikut menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Bibi bilang, mau kembali ke masa lalu, 'kan? Aku hanya membantu saja."
Seulgi menurunkan pandangannya, menyentuh perlahan bahu Katie yang terdapat luka tembak,
"Tolong jelaskan siapa dirimu dan apa maksudmu berbuat seperti ini?"
"Bibi, lebih baik kau cepat pergi dari sini, bukankah pukul 8 malam nanti kau akan bertemu dengan Irina, kekasihmu—uhm maksudku calon kekasihmu?"
Seulgi terdiam, merujuk pada ucapan Katie, ia teringat akan memorinya ketika pertama kali bertemu Irina di depan toko kue pastry milik Joana.
Seulgi lantas kembali menatap Katie yang saat ini sedang memakan beberapa roti di sisi ranjangnya.
"Bibi, cepatlah. Atau kau takkan bertemu Irina lagi. Kau tahu kan? Kau bisa mengubah semuanya sekarang."
Secepat kilat, Seulgi meraih jaketnya lalu bergegas keluar dari tenda pengungsian, sebab semua korban telah diobati dan jadwal tugasnya sudah selesai.
|
|
|Chapter 3 Selesai
— — —
KAMU SEDANG MEMBACA
Andela [Seulrene]
FanfictionAngela Seulgi Kang, wanita tua berdarah Inggris Korea itu menatap makam cantik yang ada di hadapannya seperti biasa. Ia selalu membayangkan wajah cantik milik Irina Sophia yang tengah tersenyum memandangnya. Meski wajahnya sudah lapuk dan berkeripu...