Chapter 4

355 79 3
                                    

Pukul 8 kurang 15 menit, di kota London, Inggris. Cuaca sedikit mendung, namun tak sampai hujan. Meski di sebagian wilayah Inggris Raya sedang menghadapi perang dunia melawan Jerman, namun nyatanya situasi di daerah sini tak terlalu mencekam. 

Wanita berkulit putih pucat, dengan rambut hitam panjang dan bando putih yang menghias kepalanya itu berjalan dengan menggenggam kedua sisi mantelnya. Tubuhnya agak sempoyongan, cairan yang mengandung alkohol itu sudah hampir menguasai 50% kesadarannya. Namun wanita itu tetap berjalan, berusaha mengais sisa-sisa tenaganya untuk sampai ke toko kue pastry langganannya.

Sepanjang perjalanan, banyak pria aneh melirik ke arahnya dengan tatapan yang menjijikkan. Lagipula, siapa yang tak tahu sosok wanita itu. Putri tunggal dari Wakil Gubernur kota London, Alfred Stephenson. Seorang Irina Sophia sudah terlalu biasa menghadapi situasi seperti ini, jadi ia hanya berlalu saja tanpa memperdulikan tatapan orang lain.

Semakin lama berjalan, semakin Irina kehilangan kesadarannya. Bahkan dirinya sudah tak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Ia menepi, tangannya berpegangan pada sisi dinding dari sebuah toko bunga. Kepalanya pusing, pandangannya memudar. Irina bahkan hampir saja terjatuh apabila sebuah tangan tak menahan beban tubuhnya.

"Hei, Irin—ah maksudku, kau mabuk? Aku memperhatikanmu sejak tadi. Kau mau ke mana? Biar kuantar."

"Tak apa, aku baik-baik saja. Terima kasih, aku bisa sendiri. Tak usah repot-repot." Irina menjauhkan diri dari wanita itu, lalu mencoba kembali berjalan dengan sisa tenaganya, namun wanita itu terus mengikutinya.

"Hei, hentikan! Jangan dekati aku. Kau ini mau apa?" Irina menahan langkah kaki wanita itu dengan tangannya.

Wanita itu menghentikan langkahnya, lalu menghela nafasnya berat. "Hanya memastikan kau sampai dengan selamat. Takutnya ada pria iseng yang menggodamu. Aku juga akan pergi ke toko pastry itu, mau ke sama bersama?"

Irina mengernyitkan dahi, ia kebingungan karena wanita ini sungguh aneh. Bagaimana dia bisa tahu bahwa Irina akan pergi ke toko pastry?

"Aku dengar sedang ada diskon besar-besaran. Joana sedang menghabiskan stock kue. Kalau kau terlalu banyak berpikir, pasti kau tak akan mendapatkan choco pastry yang terkenal itu." 

"K-kau ini siapa? Aku tak pernah melihatmu. Apa kau baru pindah ke London? Atau kau mata-mata dari Jerman?" Irina mengamati wanita itu dari atas sampai bawah.

Wanita itu tersenyum, lalu mengulurkan tangannya pada Irina. "Aku Angela Seulgi Kang, petugas medis, sekaligus anggota dari tim dokter yang menangani korban perang. Senang bertemu denganmu, Irina Sophia."

Bukannya membalas jabat tangannya, Irina malah terdiam dengan kedua manik mata birunya yang berbinar. "Wah, kau berarti menolong banyak orang! Apa menyenangkan?"

Seulgi tersenyum, dadanya sedikit nyeri. Bagai nyata dan tak nyata. Ia dapat kembali melihat senyum cantik milik Irina yang sangat ia rindukan. Senyumnya masih sama, begitu menawan. Seulgi bahkan hampir saja memeluk Irina jika saja tangannya tak ditarik paksa secara tiba-tiba oleh wanita itu.

"Kau ini malah melamun. Ayo ke toko kue. Nanti aku tak mendapatkan choco pastry."

Irina yang lemah dan hampir terjatuh tadi menarik tubuh Seulgi dengan cepat. Padahal beberapa saat yang lalu, wanita itu tengah mabuk. Tapi, entah mengapa, dirinya malah saat ini nampak lebih bugar. Bahkan begitu bersemangat untuk pergi ke toko kue itu.

— — —

"Satu kejadian sudah kau ubah, Angela. Kau berhasil menghentikan para pria sialan yang akan menggoda Irina setelah ini. Tapi, ah—pertemuan pertamaku dengan Irina jadi sedikit berbeda. Bukan di depan toko Pastry, tapi malah di depan toko bunga."

— — —

Irina dan Seulgi telah sampai di depan toko kue terbesar dan terlaris di London, Maison Bertahux. Toko ini menyajikan berbagai roti khas Eropa, termasuk croissant, eclair, tart buah, juga menu andalan mereka choco pastry. Letaknya di distrik Soho di pusat Kota London.

Kedua wanita itu segera masuk , setelah membunyikan lonceng yang ada di dekat pintu. Suara bising dari peralatan dapur, juga beberapa orang yang sedang berbincang sambil memilih dan mengantri di kasir langsung tertangkap oleh indra pendengar.

Seulgi hendak menggandeng Irina, namun wanita yang lebih kecil darinya itu sudah menghilang entah ke mana.

"Angela! Di sini!" Suara yang Seulgi kenali itu menyapa telinganya. Ia menoleh, mencari sumber suara itu, hingga didapatinya Joana dengan apronnya sedang bersama Irina.

Seulgi melangkah, melewati dengan acuh kerumunan gadis yang melirik ke arahnya.

"Angela! Kenapa kau tak bilang jika mengenal Irina? Dia temanku juga," ucap Joana antusias.

Sementara Irina hanya tersenyum kecil di sebelahnya

"Aku baru bertemu dengannya, tadi dia mabuk. Tapi sepertinya kau sudah tak mabuk lagi ya, Nona?" Seulgi menatap ke arah Irina, setengah mengejek.

"Aku memang mabuk, tapi aku masih bisa mengendalikan diri. Terima kasih sudah membantu, Nyonya Dokter." 

Ketiganya lantas berjalan, menyisir rak-rak berisi berbagai macam kue yang masih hangat. Joana sengaja menyisakan 2 choco pastry, untuk Irina dan Seulgi.

"Pastry ini cepat sekali habis, padahal harganya cukup mahal. Entah kenapa, orang-orang tetap menyukainya." Joana berucap ketika ketiganya sudah duduk di salah satu meja paling ujung. Di sela suapan pastry-nya, Irina menjawab ucapan Joana.

"Pastry-mu sungguh luar biasa, Joana. Aku bahkan hampir menangis memakan ini. Bisakah kau buat yang lebih banyak? Aku akan membelinya dan memberikannya untuk ibu dan ayahku."

Dengan mulutnya yang masih penuh dengan makanan, Irina berbicara. Tentu saja Seulgi yang berada satu meja dengannya itu hanya memperhatikan perilaku Irina dengan tenang.

"Irinaku, masih sama seperti dulu," batin Seulgi.

Joana beranjak dari meja itu karena harus membantu pelayannya menyiapkan beberapa kue lagi. Hingga di meja itu hanya tersisa Seulgi dan juga Irina yang masih sibuk mengunyah. Seulgi tersenyum ketika melihat bagaimana kedua pipi Irina menggembung karena menyuap pastry ke dalam mulutnya dengan potongan besar. Di sisi bibir Irina, krim coklat sisa suapan masih tersisa. Hal itu membuat Irina reflek mengulurkan jarinya, dan membersihkannya.

Tentu saja, Irina terkejut. Seulgi pun jadi mati gaya, Irina pun turut jua.

"Ah, maaf. Aku hanya—"

"Tak apa. Aku yang kurang hati-hati. Pastry ini terlalu nikmat.Terima kasih,"

Keduanya hanya tersenyum malu, lalu kembali diam dengan pikiran mereka masing-masing.

Dalam benak Seulgi, pertemuannya dengan Irina yang berbeda dari seharusnya adalah sesuatu yang manis. Bahkan sangat jauh lebih manis dari waktu dulu. Seulgi telah bisa sedikit demi sedikit mengubah masa lalunya, dan ia berharap dirinya dapat menyelamatkan Irina, agar penyesalan dalam hidupnya tak lagi terulang.

|
|
|

Chapter 4 Selesai
— — —

Andela [Seulrene]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang