Prolog

138 20 384
                                    

"Ini bukan perpisahan, ini adalah awal dari suatu peristiwa yang akan memberi banyak pengalaman."

***

Jakarta, 11 April, 2018

Burung-burung berkicau, hasil ciptaan Tuhan, berterbangan di langit bebas bersama kawanan mereka. Kupu-kupu dengan keindahan warna-warni yang ditampilkan, serta bunga-bunga bermekaran mengharumkan sekitar.

Seorang remaja, berlari masuk ke dalam sebuah bandara yang ramai, diiringi dengan kicauan burung dan keharuman bunga mawar yang dia pegang, dan tak lupa sebuah tas yang berwarna Lilac tertenteng di punggung gadis itu, yang sedang menerobos kerumunan-kerumunan yang menghalangi jalannya untuk sampai ke tujuan.

Terlihat di sisi yang berbeda, seorang lelaki bertubuh tinggi, melihat kesekeliling tempat yang ramai, untuk menemukan seseorang yang sudah ia nantikan. Mata lelaki itu berpindah-pindah tempat melihat satu persatu orang yang berlalu lalang di sana.

"Kak Ryan!"

Lelaki itu menoleh ke belakang, seruan gadis itu menggema di telinganya. Didapatinya, seorang gadis yang tengah berlari menembus keramaian, sambil memegang tangkai bunga mawar, dan berusaha menaikkan tas punggungnya, yang merosot dari bahu kanannya.

"Kak Ryan, tunggu!" lanjut gadis itu, semakin menambah laju larinya.

"Kak...." Perkataan gadis itu berhenti, saat dia berada tepat di depan lelaki tinggi itu, yang di mana, diketahui lelaki itu bernama Ryan.

Gadis itu masih diam, belum melanjutkan perkataannya, karena masih berusaha menormalkan napasnya yang tersengal akibat berlari sedari tadi.

"Qan, kamu dari mana aja? Kakak udah nunggu dari tadi. Pesawat kakak udah mau terbang," ujar Ryan, merapikan rambut Qania yang terurai berantakan.

"Maaf, Kak. Tadi jalanan macet, aku baru bisa dateng, lagian tadi ada ulangan dadakan, Kak. Sebel banget, sama Pak Angga, mana ulangan geologinya susah banget. Ihhh, aku sebel banget sama Pak Angga pokoknya!" Qania terlihat memanyunkan bibirnya, membuat kegemasan semakin terpancar di wajah cantiknya.

Ryan, yang merasa gemas karena ekspresi Qania saat menceritakan kejadian tadi, mencubit hidung Qania pelan, "Iya, iya, kakak maafin, Sayang," balas Ryan, terkekeh kecil melihat ekspresi Qania yang terlihat masih sangat sebal.

Kekehan Ryan berhenti, saat netra pandangnya jatuh pada tangkai mawar yang berada di tangan kiri Qania.

"Qan, bunga nya kenapa kamu bawa?" tanya Ryan, beralih menatap Qania.

"Ohhh, ini bunganya buat, Kakak," jawab Qania, menyodorkan bunga mawar itu ke hadapan Ryan.

"Tapi itu bunganya, kakak kasih buat kamu, Sayang," balas Ryan lembut, mengambil bunga mawar itu dari genggaman tangan Qania, lalu menaruh bunga mawar itu ke kantung baju milik Qania.

"Tapi Kak, aku mau bunga ini kakak yang simpen." Mata Qania terlihat mulai memerah, menahan perasaan sedih yang bergejolak di dalam hatinya.

"Kakak, nggak bisa simpen bunganya, Qan. Cuma kamu yang bisa," ucap Ryan, mengelus lembut pipi Qania.

"Kak...." Ryan, membawa Qania, masuk ke dalam pelukannya, seakan dia tahu bahwa sebentar lagi Qania akan menangis. Dan benar, Qania benar-benar menangis, saat Ryan mulai mengelus pelan rambut Qania.

"Aku nggak mau, Kakak pergi..., Kenapa kakak harus pergi, sihh." Qania semakin mengencangkan pelukannya, menangis hebat di pelukan Ryan.

"Kakak nggak bisa nentang keinginan, Mama, kakak, Qan. Kakak harus pergi," balas Ryan, sembari melepaskan pelukannya, dan menghapus lembut air mata yang sudah membasahi pipi Qania.

Ryan dan Pesawat Kertas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang