03: keputusan

56 7 202
                                    

"Laki-laki yang baik itu yang menunggumu, bukan kamu yang menunggu."

***

"Iya. Urusan gue ke sini itu buat ngelamar lo, Qan," potong Dylan, berhasil membuat Qania langsung bungkam.

Dylan tak ingin membuang banyak waktu, segera dia mengeluarkan sebuah kotak dari kantung celananya. Kotak cincin. Itu yang dia keluarkan.

"Om, Tante, perkenalkan saya Dylan Advano Mahes, dan tujuan saya datang ke rumah kalian untuk melamar anak Om sama Tante," ujar Dylan, padahal Qania masih diam membisu. Qania menatap Dylan heran, membuat keningnya berkerut. Dylan serius ingin melamarnya.

"Dari awal saya bertemu dengan anak Anda, saya sudah menaruh hati pada Qania. Namun, saya ragu untuk mengungkapkan perasaan saya pada Qania." Dylan tak memperdulikan bagaimana tatapan yang Qania tujukan padanya, lelaki itu masih terus saja berbicara. "Saya dan Qania sudah menjadi teman selama empat tahun dalam proses menempuh pendidikan di bangku kuliah," tambah Dylan, membuat tatapan kagum dari Farhan merekah dan senyuman bangga dari Siti yang melihat bagaimana bagusnya cara Dylan berbicara.

Tidak diragukan lagi, siapapun pasti akan merasa kagum saat Dylan sudah mulai berbicara, raut wajahnya yang terlihat serius dan suaranya yang tegas serta tutur katanya yang sangat sopan. Dylan--si anak Komunikasi yang membuat orang tercengang melihat public speaking-nya.

"Karena saya dan juga Qania sudah sama-sama lulus dan berhasil mendapat gelar sarjana, saya rasa sudah saatnya saya untuk menjadikan anak Om sama Tante menjadi pendamping hidup saya." Dylan melirik Qania sejenak, gadis yang sedari tadi hanya bisa terdiam.

"Sebenarnya saya sudah yakin, kalau kamu itu adalah laki-laki yang baik, Dylan. Tapi bagaimanapun saya ini adalah ayahnya Qania, saya ingin anak saya mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik," jelas Farhan tiba-tiba, langsung membuat suasana menegang. "Apa kamu bisa menjamin kebahagiaan anak saya jika Qania hidup bersamamu?" Pertanyaan Farhan tak membuat Dylan
takut, malahan lelaki itu tersenyum kecil.

"Om saya tahu kecemasan Om sebagai orang tua Qania. Tetapi saya bisa menjamin bahwa selama hidup bersama saya, Qania akan merasa bahagia dan tak akan merasakan kekurangan baik lahir maupun batin," jawab Dylan tegas.

"Qania ini suka sekali merajuk, apa yang akan kamu lakukan sebagai suaminya nanti jikalau Qania merajuk?" Pertanyaan Farhan membuat mata Qania membulat sempurna, gadis itu segera menoleh pada Farhan, kenapa ayahnya bertanya seperti itu?

Dylan terkekeh, "Hehe, saya tahu kok Om, kalau Qania itu memang suka merajuk. Jadi, saya sebagai teman Qania selama empat tahun sudah tahu cara jitu agar Qania bisa kembali seperti semula. Dengan memberi Qania makanan-makanan manis. Seperti coklat atau martabak. Kedua makanan itu akan membuat Qania langsung merasa senang," jawab Dylan, yang mendapat anggukan dari Siti dan Farhan.

Seakan belum puas sampai disitu Farhan masih terus saja bertanya, "Bagaimana cara kamu supaya Qania bisa mencintai kamu?" Itu pertanyaan yang sangat Qania yakini bahwa Dylan tak akan bisa menjawabnya. Jika Dylan tak bisa menjawab otomatis Dylan akan tertolak menjadi calon menantu Siti dan Farhan. Dan Qania tidak akan repot-repot lagi menolak lamaran Dylan. Qania tersenyum lega, ternyata ini tak sesulit yang dia pikirkan.

"Itu mudah," jawab Dylan, lagi-lagi berhasil membuat mata Qania membulat.

Ni anak gila apa gimana dah? Gimana dia mau bikin gue suka sama dia, batin Qania.

"Dengan jadi teman Qania."

"Hanya teman?" Farhan kembali bertanya.

Dylan mengangguk mantap, "Bukankah saya dan Qania hanya teman kampus yang berujung menjadi teman hidup?" Siti dan Farhan menatap satu sama lain, begitupun Qania yang menatap Dylan jengkel.

Ryan dan Pesawat Kertas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang