Di Rumah sakit, Zarina berlarian menghampiri suster yang sedang berjaga untuk menanyakan dimana ruangan Lyvia berada. Suster mengarahkan ruangan nya dan Zarina berlari kembali setelah mengucapkan terimakasih.
Zarina membuka pintu ruangan dan melihat satu orang pria yang sedang berbincang dengan dokter yang sering ia temui. Di sudut ruangan, Lyvia masih belum sadar di ranjang pasien.
"Kau pasti yang tadi menelepon Lyvia," kata Digy ketika menyadari kehadiran Zarina.
"Iya, terimakasih sudah membawanya kemari,"
"Sebaiknya saya pergi dulu. Sekarang Lyvia sudah baik-baik saja setelah kesulitan bernafas tadi," kata dokter lalu berpamitan keluar ruangan.
Zarina menghampiri sahabat nya yang masih terbaring.
"Sejak kapan dia memiliki anxiety disorder?" tanya Digy yang menghampiri ranjang Lyvia juga.
"Sejak 4 tahun lalu. Satu tahun kemudian dia pindah ke kota ini dan perlahan membaik sampai tahun ketiga ini, tapi sepertinya sejak ke..." Zarina terdiam, tidak melanjutkan kalimat nya. Dia mendongak melihat Digy yang sedang menunggu kalimat itu berlanjut. Zarina mengangkat satu alisnya.
"Aku sangat berterimakasih kamu membawa Lyvia kesini, tapi kamu siapa ya?" tanya Zarina khawatir dengan orang yang membawa Lyvia ke Rumah sakit.
Digy paham dengan apa yang ditanyakan Zarina, dia mencemaskan sahabatnya karena di tolong orang asing dan tahu penyakit Lyvia.
"Nama ku Digy, Aku kenal Lyvia sejak pergi ke desa tempat tinggal nya untuk melatih warga desa. Lalu hari ini, aku bertemu dengannya di museum dan dia menangis sendirian. Aku juga tahu dia adalah penulis terkenal di kota ini. Begitu sudah jelas?" jawab Digy.
Zarina menghela nafas lega. Tak lama kemudian Digy pamit pulang. Dia menitipkan salam untuk Lyvia.
***
Aku merasakan nyeri di pelipis ku. kukedipkan kelopak mata ku karena cahaya yang amat terang. Mataku terbuka penuh, lalu melihat area sekitar.
Bau ini. Sudah pasti Rumah sakit.
Entah sudah berapa lama aku terbaring disini dengan infus yang sudah tertancap di tanganku. Ku dengar suara pintu terbuka dan memperlihatkan Zarina yang mendekat ke ranjangku membawa kantung plastik isi snack.
"Via? Bentar aku panggil dokter dulu,"
Dengan cepat aku menahannya. Menggelengkan kepala tanpa suara.
Zarina duduk di samping ranjang ku. Membuka snack yang tadi di bawanya lalu memakannya. Padahal dia sedang di luar kota untuk urusan kerjanya, tapi dia rela kesini karena teman nya yang satu ini sangat merepotkan.
"Sengaja ya makan tanpa nawarin Saya," akhirnya aku bisa bersuara untuk mencairkan suasana. Zarina terkekeh pelan.
"Iya, masa nawarin orang yang lagi sakit sih,"
"Saya mau pulang," pintaku. Zarina berhenti makan dan melipatkan kedua tangannya.
"Besok pulang. Terus ya, kenapa sih kita ngga bicara santai aja? Pakai gue-lo gitu. Kita udah kenal lama lho. Terus juga, Lo terlalu memendam perasaan yang bikin Lo jadi disini lagi. Coba lebih terbuka lagi sama Gue, Via," Zarina menaikkan nada bicara nya.
Aku menaikkan kedua sudut bibirku. Apa yang dikatakan Zarina itu benar. Aku tidak mudah untuk berbicara santai, walaupun dengan sahabatku sendiri. Lalu, Aku sering memendam perasaan ku. Namun, untuk masalah-masalah sepele Aku bisa menceritakannya pada Zarina.
"Ya udah Gue latihan ngomong santai sama Lo deh," kataku. Aku tidak percaya jika aku bisa berbicara santai, apalagi pakai Gue-Lo.
"Bentar-bentar, HAHAHAHHA Lo jadi aneh kalo ngomong pake Gue-Lo,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Me,Doing My Best
Teen FictionGadis Tulip Putih yang memiliki mimpi-mimpi indah memilih untuk tinggal sendiri di rumah kecil. Mimpi-mimpi nya tentang kehidupan tenang di dunia selain kematian. Namun, siapa sangka gadis pemimpi itu memiliki kenangan buruk di masa lalu nya yang ia...