"Liela gamon acie.."
"Uhuk! Apaan! Dah move on woy," protesku tak terima. Menghentikan kegiatanku yang tengah menelan air minum.
Dengan seringai jahil terpampang, Nava mengangkat alisnya, melebarkan mata, "Yang bener..."
"Rill. Apa yang kau harapkan tho. Anak namche lumayan-lumayan. Mudah saja move on darinya."
"Oh gitu.. Siapa?"
"...anu si....- heh? Gak gaada."
"Hayo siapa itu?" Nava nyengir, menyadari aku baru saja nyaris menyebut nama seseorang.
Cengirannya semakin lebar kala melihat aku tak bisa menahan sudut bibirku untuk tertarik.
Refleks saja tanganku terangkat, hendak menggeplak manusia satu itu. Dengan tidak elit tanganku telak mengenai pelipisnya membuatnya protes, mengambil kesempatan dengan memaksaku menyebut nama seseorang.
"Sobatku.. Kenapa?" ucapku dengan muka innocent, berusaha membuat siapapun jengah melihatnya.
Tidak dengan Nava sih. 3 tahun kami mengenal.
"Hoooo gituuu?? Sobat aja ni??"
"Memangnya kau berharap apa?"
"Yang mana sih Liel, orangnya??" Nava menaik-turunkan alisnya, menggodaku.
Aku memutar bola mata malas, "Yang aktif di acara angkatan."
"Oh oh, yang itu. Gatau orangnya sih, tapi ngerti kok. Hehe," nyengir lebar karena puas.
Aku hanya berdecih pelan. Anak ini shipper garis keras. Aku dekat dengan siapapun bisa jadi bahan tease untuknya. Lebih baik tak usah ambil pusing.
Ah.. Akhir dari kisah SMP-ku ya? Tidak terlalu spesial. Aku sempat menyinggung soal perasaanku saat itu, di hari kelulusan, pada episode 1.
'...Cakar-cakar tajam terus mencabikku, tak memberikan kesempatan untuk luka yang ada. Tak membiarkan luka itu menutup walau satu centi-pun.
Di sisi lain jantungku berdetak cepat. Rasa senang membuat dadaku nyaris meledak. Kupu-kupu memenuhi rongga perutku. Rasa bahagia membuncah.
Aku tak mengerti kenapa aku merasa begitu sakit padahal aku begitu bahagia. ...'
Ingat? Ya. Begitulah kurang lebih.
»›♪♪~play the music~♪♪‹«
Aku masih ingat, bagaimana detail video itu meski sekarang hilang sama sekali dari kartu memoriku. Aku masih ingat saat pertama kali melihatnya, otakku yang memproses dan juga hormon bahagia dan rasa sakit datang bersamaan ke otakku. Aku masih ingat.
Tidak terlalu dramatis jika kukatakan aku menangis sambil tersenyum. Aku ingat melakukannya selama beberapa menit.
Kalau sekarang aku berpikir jernih, aku agak curiga, jangan-jangan aku sedikit harus dipertanyakan kenormalannya. Orang normal tentu tidak menyukai orang yang membuatnya menderita karena trauma. Harusnya begitu.
Aku menyengir. Yah, toh sekarang aku bertemu banyak orang. Lupakan saja..
Lupakan saja, kataku. Tapi ternyata itu tak mudah. Yah, pikiran bahwa tak ada yang akan menyukaiku seperti terukir begitu saja.
Beberapa teman mengatakan aku seperti MC di SMA, atau setidaknya side char yang merupakan sobat dari sang MC, tapi tetap saja aku merasa seperti cameo dalam hidup orang lain. Aku menganggap gila seseorang di platform online yang menyatakan rasa sukanya padaku hanya karena aku merasa tidak mungkin seseorang menyukaiku.
Cara pandang yang sempit. Seperti mengenakan kacamata kuda.
Aku menyukai seseorang? Ya.. Tapi bukan berarti ada yang menyukaiku. Hanya orang gila yang boleh jadi menyukaiku. Bukan dalam artian sakit jiwa.. Tapi seseorang itu pasti sudah gila akan sesuatu sampai menyukaiku..
Sampai sekarang aku tidak sepenuhnya mempercayai mereka.. Dua orang, satu online, dan satu lagi ada nyata dan seringkali di hadapanku. Masih saja.. Aku tidak percaya sepenuhnya.. Bahwa mereka pernah menyukaiku.
"Orang gila.." seringaiku.
-dengan ini No One Admires TAMAT-
Hanya orang gila yang menyukaiku..-Liela
Maka aku pasti orang gila itu - SIAPAPUN YANG PERNAH, SEDANG, AKAN MENYUKAI LIELA
KAMU SEDANG MEMBACA
No One Admires [Lengkap]
RomantikDalam drama, setiap orang memiliki perannya masing-masing, dan setiap peran yang dimainkan memiliki satu-dua aturan yang tak seharusnya dilanggar setiap pemainnya. ▪¤▪¤▪ "Kenapa kau memilih untuk menyerah atas Tama?" "Bukan apa-apa." ▪¤▪¤▪ Ini adala...