Episode 4

10 4 0
                                    

Hidup itu singkat. Dan kurasa otakku tahu persis akan hal itu. Banyak hal buruk yang dihapus begitu saja dari memori.

Tapi sebagian besar bertahan dalam jejak rekam kehidupan. Tas, alat tulis, seragam menjadi saksi bisu hidupku di sekolah menengah pertama. Jalur bus yang tetap sama, yang hingga sekarang masih tetap menjadi kesayanganku meski karena alasan yang berbeda, 2B, telah menjadi salah satu bagian penting hidupku yang seringkali terasa monoton.

Chat-chat lama, entah yang masih ada atau terhapus masa telah menjadi berangkai kalimat yang mewarnai hidupku yang monokrom. Menjadi bingkai dan kaca yang melindungi foto hitam putih dalam kenang ingatan.

Pesan lama yang telah terhapus itu beberapa menjelma dalam bentuk mimpi dan jejak rekam yang menorehkan senyum, sisanya menjelma sebagai penyesalan penuh keputusasaan tak berujung.

Foto-foto yang hilang dari ponselku, yang boleh jadi masih utuh di ponsel temanku, telah menjadi pengabadi kisah yang sejujurnya ingin kuenyahkan.

***

"Gak punya harga diri."

"Cewek nembak duluan."

Cukup 7 kata, 2 kalimat yang sangat bisa dijadikan 1. 7 kata yang menghancurkan hidupku begitu saja tanpa permisi, mempertegas cap cameo yang kupunya.

Aku menembak lelaki? Tama?

Haha, gila.
Aku tak lakukan itu si*lan. Aku hanya bilang aku menyukainya. Apa ada yang salah dengan itu?

Bahkan aku tak lakukan apapun selain bilang aku menyukainya dan alasan aku menyukainya.

Aku tak mau jadi pacarnya. Sejak awal pun aku tahu itu hal buruk. Lantas untuk apa pula aku berpacaran dengan bocah itu? Aku tak menemukan banyak dampak baik dibaliknya.

Hanya ingin menjadi temannya. Hanya itu. Aku hanya ingin itu. Aku hanya terlalu polos kala itu. Aku hanya tak tahu bahwa anak SMP di masaku tak berpikir sesederhana itu.

Apa yang salah dengan menyukai orang dan lantas bilang bahwa kau menyukainya? Menyukai seseorang... bukannya ingin jadi teman?

Kenapa?
Apa yang salah dengan pola pikir itu? Aku tak mengerti. Setidaknya kala itu. Aku tak mengerti kenapa semuanya menjauhiku. Bahkan mulut tanpa adab itu dengan lancang mengataiku tak memiliki harga diri.

Maafkan aku, Kawan, bahkan meski itu telah berlalu lama, terhitung 4 tahun kau mengatakannya, aku masih belum merelakannya penuh. Aku harap kau dipermalukan juga. Ah, tidak~ aku tidak mau kau malu di jenjang pendidikanmu. Mungkin di karirmu ketika kau sudah hampir di puncak lantas digelincirkan oleh apa yang kau lakukan di masa lalu, itu jauh lebih tepat!

Ah tidak! Aku tidak boleh berpikir begitu, ya? Haha maaf aku memang orang yang buruk ^^...

Biar kuperjelas apa yang terjadi.

▪¤▪¤▪¤▪

Malam itu kala para siswa kelas 7 masih berada dalam euphoria semester baru, dengan segala kebodohanku aku menanyakan soal PR pada Tama.

Dengan sok polos menanyakan bagaimana PR-nya. Aku seharusnya bisa mengerjakannya. Hey, ku tidak sebodoh itu, sungguh.

Aku hanya penasaran. Siapa anak dengan nem rata-rata 8 ini? Kenapa dia begitu ceria dan memiliki senyum manis? Layaknya matahari, menusuk mataku dengan that "sunshine-boy vibes"?

Awal buruk yang semakin buruk. Dia menjawab pesanku dengan ramah. Memberiku contekan. Aku ingat menertawakan nama tokohnya. Ingat betul. Rasanya ada seekor kupu-kupu yang menggelitik perutku. Orang ini menyenangkan. Setidaknya kupikir begitu.

Aku sudah membahasnya pada episode 3, tapi aku mengulanginya untum mengingat kembali. Selanjutnya akan menjadi lebih menarik.

Biar kuberi tahu, aku bukan anak yang sabar. Jika kau mengenalku, maka kau akan menyadari betapa gegabah dan terburu-burunya aku.

Confessin' to someone is not big deal.

Itu sesuatu yg kupegang bahkan meski hingga sekarang, sebagai seorang Liela.

Itulah yang terjadi beberapa malam setelahnya. Entah sepekan atau dua pekan. Aku tidak ingat persisnya.

Aku tidak ingat pesan sebelumnya, atau setelahnya. Tapi aku ingat inti percakapan malam itu.

Tama 7C
_________________________________

Kamu beneran ga punya pacar?

Enggak. Gaada.

Kamu ada yang kamu suka? Siapa?

Memang kenapa?

Gapapa aku pengen tahu aja.

Oh yaudah.

Siapa e

Kenapa dulu.
Baru nanti kuberi tahu.

Tidak apa.

Yaudah.

Aku menyukaimu

*kepintaranmu

Oh.
Aku suka Zia.

Woww... Anak kelas mana?

Gak sekolah di sini.

_________________________________

Katakanlah aku bodoh. Karena memang sepertinya terlalu gegabah. Tidakkah obrolan itu terlalu frontal?

Tentu saja. Karena aku seseorang dengan karakteristik terbuka. Aku terkadang tidak terlalu berpikir bahwa suka perlu disembunyikan. Aku tidak membayangkan itu akan merusak 3 tahun kehidupanku di masa sekolah menengah pertama. Tidak pernah terbersit sekalipun di otakku itu membuat seonggok makhluk yang katanya merupakan Homo sapiens mengatakan aku tak memiliki harga diri.

How dare him.

▪¤▪¤▪¤▪

"Jika saja aku tidak dikendalikan banyak hal. Jikalau saja tidak ada kendali agama. Jikalau tiada lagi kendali nasihat-nasihat lama. Mungkin kala itu aku sudah menghabisinya.

Beruntung, dia tak menyebut orang tuaku. Sampai kata itu terucap darinya kala itu, entahlah. Mungkin saja aku tak lagi berdaya, atau justru sebaliknya, nyawanya mengatakan selamat tinggal pada jasadnya. Lancangnya mulut itu. Tajam taring harimau-pun kalah olehnya." - Liela, No One Admires

- To Be Continued -

Saran? Gas comment ae~ Share ke temen-temen juga kalau menurutmu cocok untuk mereka.

No One Admires [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang