Episode 5

8 5 0
                                    

Trauma. Sesuatu yang seringkali diabaikan. Tapi juga sesuatu yang berakibat fatal. Meski perlahan, itu akan mudah menghancurkanmu.

Aku punya trauma, tentu. Hampir setiap orang memilikinya. Meski setiap orang punya caranya untuk menang dari rasa takut akan traumanya, tidak denganku.

Aku tidak. Atau tepatnya aku merasa belenggu itu tak membiarkanku. Sejujurnya, aku begitu ketakutan.

Tak jarang aku kalah dari traumaku. Lagi, lagi, lagi, membuatku berpikir akulah yang terburuk. Aku hanya memperkeruh dunia dengan keberadaanku yang bagai sampah.

Aku tidak terlalu yakin, dari mana semuanya berasal. Masih segar dalam ingatanku, bahkan dalam ingatan semua orang yang mengenalku semenjak aku dilahirkan hingga sekarang, aku adalah anak pemberani.

Tiada perasaan khawatir atau takut saat aku harus tampil di hadapan semuanya. Aku cantik, aku tahu.

Dulu aku pemeran utama yang hebat. Setidaknya seingatku aku tak pernah punya masalah dengan lawan jenis. Mereka temanku, dan kami bermain mobil-mobilan bersama, bahkan membolos jam tidur siang untuk bermain.

Ibuku sering bercerita tentangku yang suka bernyanyi dan tampil di hadapan seluruh kelas, bahkan meski itu bukan giliranku, aku akan sukarela maju lebih dulu.

Sedari dulu, aku gemas pada anak pemalu. Aku akan mendekati orang-orang semacam itu dan bicara pada mereka hingga mereka berani menampilkan dirinya meski sambil merutukiku atau protes padaku dalam hati mereka masing-masing, mungkin.

Begitu jelas dalam benakku. Dan jelas sekali, sepertinya ada yang kulewatkan, masa apa itu? Entahlah mengapa, aku merasa ada yang salah hingga aku seperti ini.

Sampai detik ini aku terus bertanya, bagian mana yang salah? Aku tidak mengerti, sejak kapan jadi begitu sulit bicara di depan? Bagian mana yang salah dari kehidupanku selama 15 tahun hingga lidahku kelu setiap kali berada di khalayak ramai.

Aku cengeng, sedari dulu.

Sedari dulu aku memang mudah mengeluarkan air mataku saat aku merasa sedih. Tidak untuk membujuk atau menarik simpati, aku menangis saat aku merasa sesuatu mengganggu hatiku.

Tapi aku tidak suka orang mengataiku. Aku benci itu.

Aku kelas 3 SD, aku pindah ke sekolah baru, bertemu kawan lamaku dari TK. Sebagaimana anak baru aku tidak mengerti apapun, aku berusaha menjaga sikapku, tapi entahlah sepertinya aku melakukan kesalahan.

Saat aku menangis aku dikatai cengeng, dan saat aku menatap kosong ke suatu tempat, melamunkan sesuatu diantara bising kelas, seseorang berkata pada guru, "Ibu Guru, Liela melamun. Bukannya bisa kerasukan?"

Aku geram. Tidak suka apa yang kulakukan diprotes apalagi sampai diadukan. Apa masalahnya? Memangnya aku mengganggu?

"Biarkan saja, setidaknya tak membuat kelas menjadi berisik."

Sejujurnya aku bersorak senang dalam hati apalagi saat temanku dari TK itu mendengus kesal.

Perlahan sesuatu berubah, entahlah, apakah mendengar komentar mereka telah membuatku merasa semuanya salah.

Ah, begitu, jadi sepertinya dimulai dari sana..

Tapi di antara semuanya, ada satu hal masih tersimpan rapi dalam memoriku meski aku berusaha menghapusnya berulangkali.

Traumaku pada kamera adalah karena kejadian memuakkan ini. Ditambah ketakutanku dan kebencianku pada komentar orang lain, merubahku sepenuhnya.

▪¤▪¤▪¤▪

Mari kita kembali pada mengapa aku bisa trauma pada benda tak berdosa yang jasanya begitu besar dalam pengabadian peristiwa itu.

Kembali pada tahun 2019 kala suasana normal, orang-orang tak mengenakan masker pada setiap wajah mereka, begitupun aku.

Lelah bersekolah dari pagi hingga menjelang sore. Energiku yang tidak sebanyak kala ku kecil membuat kelopak mataku begitu berat untuk sekedar tetap terjaga. Tubuhku remuk ketika telah sampai pada bangku bus yang rasanya seakan tempat istirahat yang nyaman.

Tama ada di sana, bersama teman sekelasku, Kev. Di bus yang sama, karena, ya, rumah kami searah.

Aku ingat itu kurang lebih beberapa pekan setelah confessin'.

Canggung sedikit karena aku tak menyangka balasan dari chat itu adalah perlakuan tak adil seluruh kelas. Sedikit mengejutkan. Sebuah gejolak hitam dalam dunia monokrom yang menarik.

Hey, cukup baik. Kalau saja mentalku lebih lemah lagi mungkin aku sudah di siksa dalam alam kubur karena memilih melompat, menyayat, atau segala upaya penghilangan nyawa diri yang tidak sepantasnya dilakukan.

Tentu saja tidak kulakukan. Aku terlalu keren untuk punya luka sayat atau luka jerat pada leher. Lupakan saja. Tidak akan kulakukan. Okay? Tandai. Aku TIDAK DAN TIDAK AKAN. Meski seberat apapun.

Kembali lagi.

Mataku yang berat membuatku menyenderkan kepalaku pada senderan bangku, tertidur. Dalam posisi yang sungguh tidak baik. Posisi tidurku itu jelas salah. Itu membuat otot pada rahangku bereaksi, membuat mulutku terbuka lebar.

Aku tertidur sore itu, untuk mendapati fotoku telah ada di grup kelas, pada malam harinya.

Si*alan.

Kau merasa sensornya tidak berguna? Karena memang tidak kuniatkan untuk menyensornya.

Perilaku memotret seseorang tanpa izin dan menyebarkannya bukan hal yang bisa dibenarkan.

▪¤▪¤▪

"Old but still broke. Broke me inside, anytime." - Liela, No One Admires

- To Be Continued -

No One Admires [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang