Episode 2

15 5 0
                                    

Percaya tidak percaya, kala itu aku adalah anak yang polos dalam hal apapun. Umpatan sering terdengar di telingaku, tapi mulutku masih begitu bersih tak pernah mengucapkan kata-kata kebencian itu meski dalam kondisi marah sekalipun.

Cinta pada pasangan dan obsesi, dua perasaan yang begitu jauh dari diriku. Tak terjamah oleh hatiku meski aku sering menyukai teman-temanku.

Aku mudah kagum pada siapapun dalam aspek baik apapun. Cara bicara, keindahan wajah, aura yang menguar dari seseorang, kepintaran, nilai, kebaikan hati, kesabaran seseorang, aku mudah sekali mengagumi hal-hal itu meski hanya hal sekecil senyuman. Ya, benar, rasa sukaku pada teman-temanku hingga tahun itu pun masih sekedar rasa kagum saja sebenarnya.

Setelah kupikir lagi, kala itu aku begitu jujur. Cenderung lugu. Aku mengatakan apapun yang ingin kukatakan. Aku mengatakan perasaanku dengan jujur kecuali dalam beberapa kasus khusus.

Kelas 7, kelas pertamaku di SMP, di mana setelah 4 tahun aku tidak bercengkrama dengan makhluk yang disebut laki-laki. Mereka menjadi begitu asing bagi diriku pada awalnya. Tapi perlahan aku mulai membaur, sedikit.

Aku bisa berbicara meski sedikit. Canggung masih ada tapi kurasa tak masalah.

Semua teman baruku menarik. Mereka beragam, membuatku antusias, ingin mengenal mereka lebih jauh. Dan di sinilah mungkin kesalahan terbesarku di mulai.

'Mari kita lihat apa ada yang cocok dijadikan crush?'

Pemikiran bodoh yang akhirnya menghantarkanku pada kehidupan sekolah menengah pertama penuh warna.

Jangan salah paham.

Warna hitam maksudku.

▪¤▪¤▪

'Oh, dia tak satu kepercayaan denganku.'

'Dia tampak menarik, ah tapi juga tak satu kepercayaan denganku.'

'Yang satu itu.. Tama? Dia lumayan.. NEM-nya 26 lebih, dia cukup pintar.'

Mataku sesekali melirik laki-laki berkulit gelap yang tengah bersenda gurau dengan temannya itu.  Orang itu sepertinya mudah mendapat teman.

Aku berusaha fokus ke arah depan kelas, tapi sudut mataku terus menatapnya.

Satu hal yang membuatku beku.

Senyumnya S.E.M.P.U.R.N.A.

Sempurna. Begitu manis dan lebar. Tidak ada paksaan, sebuah senyuman tulus dari dalam hati yang memunculkan pancaran indah di matanya... lalu.. menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan dan menampakkan deretan giginya yang rapi.

Ah, aku paling tidak tahan dengan perfect smile milik seseorang. Aku akan jatuh dengan mudah hanya dengan hal sesepele itu.

Sudah kubilang sebelumnya, aku mudah kagum atas hal-hal kecil. Semudah membalikkan telapak tangan. Kau tidak akan kesulitan untuk mendapatkan hatiku. Percayalah. Buat aku kagum, dengan sifat sikap atau sesuatu pada dirimu. Aku akan jatuh begitu dalam.

Dan ya...

Saat melihat senyum itu.. kuakui, aku lupa bahwa aku hanya cameo dalam drama kelasku. Aku lupa aku tidak seharusnya menjadi main character. Aku bukan pemeran utamanya. Aku bukan Juliet untuk Romeo. Aku bukan kekasih sang Pangeran. Aku bukan Cinderella. Aku ini si Cameo. Aku ini hanya labu yang diubah menjadi kereta kuda. Betapa tidak tahu diri.

Dan selanjutnya, hal-hal bodoh tak berhenti menyapa. Aku melakukan banyak hal konyol yang gila. Tidak tahu tempat dan tidak bercermin.

'Nomor w.a nya yang mana ya di grup kelas?'

(Dasar, Bodoh. Kau melanggar aturannya mulai dari sini.) - Liela, 2022.

▪¤▪¤▪

Museum! Benar! Beberapa hal yang aku ingat soal PLS (Pengenalan Lingkungan Sekolah) di awal jenjang sekolah menengah pertamaku, salah satunya, kunjungan ke museum!

Tidak ada kejadian menarik, kecuali fakta bahwa kegiatanku kala itu adalah kunjungan museum, tidak ada sesuatu yang istimewa.

Ramai, aula luas, dan.. diakui atau tidak, begitu berisik. Itu saja yang teringat di benakku. Tidak ada yang lain soal museum.

Jadi...

Oh, mari kita lompat ke bagian tanda tangan guru selama PLS.

Nametag berwarna merah terkalung pada leher kami masing-masing. Kakak kelas kami meminta kami mendapat tanda tangan guru sebanyak mungkin.

"Biar kalian kenal guru-guru," demikian ujar mereka.

Saat ini aku sudah tak begitu mengingat lagi apa yang terjadi kala itu. Aku hanya ingat aku mendapat tanda tangan wali kelasku, guru lain? Aku tidak ingat bagaimana aku mendapatkannya.

Satu yang kutahu, entah sejak kapan, tapi aku merasa cap Cameo telah melekat lama pada diriku. Jauh sebelum aku tiba di SMP.

Taman kanak-kanak? Tidak. Aku belum mendapat cap mengerikan itu.

Sekolah dasar! Itu dia!

Kelas 3?

Kurasa.. begitu. Memang begitu adanya.

Cap permanen. Tak bisa kuhilangkan meski kusikat berulang kali. Dan pada sekolah menengah pertama, cap itu justru diperbarui setiap hari, namun meski begitu dengan begitu bodohnya aku tetap melanggar aturannya.

Mimpi buruk berulang dalam memori. Kebodohan yang kulakukan terngiang dalam otak. Sikapnya padaku saat itu, saat pertama kali dan pada akhir kisah ini kembali menggoyahkan diriku. Gambar paling memalukan yang aku lihat dari diriku seringkali tertayang di pelupuk mata.

Masa sekolah menengah pertama. 3 tahun penuh siksa dan mimpi buruk. Bukan karena sekolahnya tapi karena diriku sendiri. Perilakuku membawaku jatuh dalam jurang curam nan gelap, membuatku terjerat pada rantai tak kasat mata, dan membuat cakar itu mencabik setiap hari.

▪¤▪¤▪¤▪

"Jangan langgar aturannya! Apapun itu, jangan berani melangkah keluar dari jalan peranmu" --- No One Admires to Liela

-To Be Continued-

No One Admires [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang