Epilog bukan Akhir

2 0 0
                                    

Bukan. Aku tahu, epilog itu akhir cerita. Aku tahu, namun biarkan aku menyelesaikan buku ini dengan satu bab lagi. Biarkan ini jadi bab terakhirnya.

Halo, namaku Liela. Panggil aku Liel. Kisah di buku ini awalnya dimulai dengan kebencian mendalam yang bahkan nyaris tak tertolong. Melintas sedikit saja mengenai sesuatu yang kuceritakan di sini, rasanya seluruh sel tubuhku mulai terbakar amarah, mataku panas, ototku menegang menahan kebencian yang bergelora.

Ya, aku sempat benar-benar benci.

Aku terluka, aku marah, aku trauma dibuat oleh mereka.

Pertama kali mengetik ini, kujadikan bingkai pandangku yang sempit untuk mulai merangkai kata. Memasang jelas bahwa hampir seluruh teman kelasku di SMP adalah penjahatnya. Memposisikan diriku sebagai cameo yang tersakiti.

Tapi itu dulu. Aku sudah mulai berlapang dada saat ini. Aku tak lagi semarah itu. Aku mulai menerimanya. Menerima fakta bahwa mereka adalah sebagian dari kehidupanku.

Pada bab "Dear Penghuni Kelas, Kala Itu", aku bilang bahwa aku tidak ingin bertemu mereka. Benar adanya. Kala itu aku benar-benar sekesal itu. Tidak ingin bahkan sekedar berpapasan. Aku muak. Mana mau aku diminta menemui mereka di acara buka bersama.

Bayangkan kalian dibuat trauma, kepercayaan diri kalian minus dibuatnya, tapi kalian harus bertemu lagi dengan mereka? Wah mereka pasti bercanda.

Itu yang kupikir saat itu, tapi selepas semuanya.. Aku sudah berdamai dengan keadaannya. Aku tidak lagi sebenci itu. Aku menemui mereka. Menyapa.

Ada sedikit rasa kesal, tapi semuanya tetap membaik.

Aku naik ke kelas 12 sekarang. Peristiwa kamera itu sudah tertinggal jauh di belakang. Lebih dari 4 tahun. Jadi, buat apa aku masih bersikap gila soal itu?

Luka itu tetap ada. Hingga kini aku masih tak sanggup berdiri di hadapan kamera (sebagai objek yang difoto) tanpa rasa gelisah. Kalau aku tak menahan diri aku boleh jadi sudah gemetaran, menyentak.

Sampai saat ini aku masih sedikit banyak tak mampu memaafkan Tama. Setidaknya tidak sepenuhnya. Ada benarnya aku kala itu tak menyukai kamera, tapi aku tidak benci apalagi takut. Semenjak peristiwa itu, aku takut, dan aku masih seringkali menyalahkan Tama karena trauma itu menghancurkanku. Tapi tak apa.

Apa yang terjadi, apa yang berlalu. Biarlah. Meski pada akhirnya inilah aku. Masih saja berpikir, bahwa tak akan ada yang mengagumiku.

-NO ONE ADMIRES, FIN-

No One Admires [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang