Prolog

84 19 6
                                        

Yogyakarta, 2021.

Jogja punya cerita. Malam kian larut, dicumbunya aroma nestapa. Gadis berambut sebatas leher itu duduk di kafe bernuansa klasik ala-ala vintage. Ia menunggu seorang pria untuk menyelesaikan sebuah problema yang terjadi dalam hubungannya. Namun, pria itu belum juga nampak batang hidungnya. Padahal sudah hampir dua jam gadis itu menunggu.

Keadaan yang semula hening, kini mulai berubah. Samar-sama suara genjrengan gitar merambat memenuhi area kafe. Seorang pria berambut belah tengah, tapi tidak terkesan culun naik ke atas panggung kecil. Ia duduk di kursi yang berada di depan mikrofon. Pria itu mengenakan pakaian bernuansa retro dengan atasan kaos putih polos berlengan pendek dan celana jeans biru sebagai bawahannya. Tatapannya dingin, seolah menyembunyikan kesedihan.

"Cek, cek." Suaranya agak berat, tapi tidak lebih berat dari masalah di antara si gadis dan pria yang ditunggunya.

Jari-jemari pria retro di atas panggung mulai menari di atas senar gitar. Membangun harmonisasi suasana yang agak kelabu ini menjadi lebih berwarna. Sejenak ia menghentikan permainannya, lalu menghela napas sambil mencondongkan wajahnya mendekat pada mikrofon.

"Setiap seni memiliki rumah. Seperti musik yang selalu pulang ke telinga pendengarnya," tutur pria itu sambil menatap orang-orang yang tak acuh. "Namun, pendapat itu bisa dipatahkan. Nyatanya musik bukan hanya dapat di dengar, tapi juga dapat dilihat. Seni itu bebas."

Pria itu pandai bicara. Ia menyulap pengunjung yang semula tak acuh menjadi hirau. Bukan hanya mendengar, tetapi juga menatap ke arahnya. Ia tersenyum. Ekspresinya mendadak segar. Tak ada lagi pancaran kesedihan di matanya. Pria itu kini terlihat lebih bahagia dari siapa pun. Perlahan ia mulai mencumbu senarnya kembali, memainkan alunan santai sembari memejamkan mata.

"Tutup mata kalian. Sebab musik bisa dilihat bukan dengan mata kepala, tetapi dengan mata hati. Ia tayang dalam imajinasi."

Gadis yang getir menunggu kini ikut memejamkan mata. Begitu juga dengan pengunjung lain. Pria penguasa panggung kecil mulai bernyanyi dengan suara beratnya.

"Ku pejamkan mata, terlihat kamu di sana, seorang pembawa cerita ...."

Sebuah lagu dari Ardhito Pramono yang berjudul Teman Perjalanan.

"Aku bukan pejabat, atau orang yang hebat. Ku hanya ingin dicinta ...."

Setiap lirik yang ia bawakan perlahan merangkai tayangan demi tayangan hingga menjadi sebuah adegan. Kini para penikmat lagu bagaikan sedang berada di depan bioskop imajinasi. Baik pria itu dan semua pendengarnya menutup mata untuk menikmati setiap petikan demi petikan yang berbaur dengan suara beratnya.

Terbesit senyum tipis di wajah gadis itu. Sejenak ia melupakan laranya. Musik yang dibawakan oleh pria di atas panggung sukses melukis nada dalam imajinasi pendengarnya. Malam yang sendu kini menjelma syahdu.

Ardhito Pramono - Teman Perjalanan

Pria Pelukis NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang