Billy Iskandar Muda
Pintu terbuka. Pemandangan ruang apartemen minimalis bernuansa biru langit terpampang di mataku. Aku hendak menurunkan tas gitar yang ku gendong. Namun, wajahku malam itu mendadak pucat pasih. Benda yang seharusnya ku bawa, kini tak berada di tempat yang seharusnya. Aku mematung di depan pintu, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
'TAS GITAR GUA KETINGGALAN!'
"Kenapa lu, Bil?" tanya seorang pria yang sedang duduk di dalam ruangan. Ia duduk di depan laptop dengan rambut acak-acakan. Satu kakinya terangkat naik ke atas kursi, ia menatapku dengan matanya yang sayu.
Rizwantara Putra namanya. Ia merupakan teman satu atap ku di ruangan ini. Kami menyewa kamar apartemen ini dengan sistem patungan. Tara merupakan rekan kerjaku sebagai seorang freelancer interrior design. Seperti Angar Pratama yang menjadi barista Moonbucks, kami sudah saling mengenal sedari kuliah dulu.
Sayangnya tak ada jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan Tara. Pria itu memicingkan matanya menatapku yang ditelanjangi kehampaan, sembari perlahan berjalan mendekat padaku. "Bill?" Masih tak ada respons dariku. "Bill, lu kesurupan apa gimana?"
"Gitar gua lenyap. Dunia mendadak senyap ...," ucaku lirih.
"Lenyap?" Tara semakin dilanda rasa heran. Ia semakin mengerutkan keningnya sambil menggeleng pelan.
Aku mengangguk tanpa ekspresi sebagai balasan.
"Yang lenyap gitar lu, apa waras lu?" tanya Tara. Ia kembali duduk di kursinya setelah memastikan aku tidak kesetanan.
"Lu tau, kan? Gitar itu enggak tergantikan buat gua?"
"Terus definisi lenyap tuh gimana? Lu lagi naek motor, tiba-tiba gitar lu kesedot black hole gitu? Masuk ke lobang pantat lu sendiri?"
Aku menarik napas panjang dan menutup pintu kamar. Setelah itu menarik kursi yang tak jauh dari posisi Tara, lalu duduk di sebelah pria itu untuk menceritakan seluruh rangkaian peristiwa. Rangkaian yang terdiri dari awal aku naik panggung sampai mengantar gadis bernama Mira. Sementara lawan bicaraku masih terlihat tak begitu serius menanggapi. Mungkin karena Tara lelah, ia juga baru saja pulang dari meeting bersama client.
"Ya udah, paling besok juga udah pulang tuh gitar," ucap Tara.
"Kalo dia punya kaki mah bisa pulang sendiri, Tar. Masalahnye itu gitar kagak punya kaki!"
"Palingan itu cewek kelupaan kayak lu. Kalo itu gitar enggak pulang ya tingal beli baru."
"Gitar itu peninggalan almarhum nyokap gua, Tar. Kalo gitar itu ilang, jangankan perform di Moonbucks ...." Aku sangat serius menatap mata Tara. "Gua berhenti main musik!"
"Kok lu jadi ngomel-ngomel sama gua si?" tanya Tara datar. Ia kembali menatap layar laptopnya.
"Enggak tau dah." Aku mengambil ponsel. "Gua cari deh orangnya di instagram. Kali aja ketemu." Aku menulis nama Mira di daftar pencarian, tetapi ada ribuan Mira di instagram. "Perkecil wilayah. Mira Jogja."
"Yah, lu kayak bocah apaan dah. Masa Mira Jogja?" celetuk Tara yang entah sedang sibuk melakukan apa. "Mana ketemu kalo nyarinya begitu. Enggak sekalian Mira yang tadi beli kopi di Moonbucks? Atau Mira yang pulang dianterin BIlly? Atau pake hastag, Mira Jogja yang ngopi di Moonbucks karena putus sama pacarnya, terus dianterin sama si Billy ke depan Luxury?"
"Ide bagus," timpalku dan mulai mengetik semua perkataan Tara.
Tara menggeleng sambil terkekeh. "Bil, BIl ... lu ada-ada aja."
Pencarian itu tak berjalan mulus. Mencari akun Mira seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Namun, ketika hampir menyerah. Aku menatap Tara yang sedang fokus pada layar laptopnya. Sontak aku segera merapat. "Minggir, Tar." Aku menggeser Tara dari depan laptopnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Pelukis Nada
Storie d'amoreSetiap lirik punya cerita, setiap kata punya makna, setiap nada punya arti. Hidup itu bagaikan musik. Banyak jenis genre, tapi apa pun itu, musik selalu mengalir dalam telinga pendengarnya dan bermuara di benak. "Sejatinya musik adalah ilustrasi yan...