7. Hansel and Gretel

8 3 0
                                    

Judith bersenandung, tangannya menata buku-buku barunya ke rak buku. Sesekali gerakannya terhenti, dan ia menggenggam tangannya erat-erat. Ia masih memakai cincin pemberian Tristan. Pasti ayahnya sangat menyayanginya 'kan, sampai bilang seperti tadi? Begitulah isi pemikiran Judith sepanjang perjalanan pulang. Sampai di rumah pun, kata-kata Tristan masih terngiang di kepalanya.

'Ternyata usahaku selama ini nggak sia-sia! Ayah beneran bangga padaku!' pikir Judith, "Kalau begitu, aku harus berusaha lebih keras lagi..."

"Judith." suara Tristan yang berasal dari pintu masuk perpustakaan mengagetkannya. Judith menoleh ke arah pintu, dan melihat ayahnya berjalan ke arahnya, "Apa yang kau lakukan?"

"A-aku cuman mau menata buku..."
"Besok saja ya? Hari ini istirahat dulu."
"Tapi, sebentar lagi selesai..."
"Hm, ya sudah. Ayah tunggu di sini."

Judith segera membereskan buku-buku yang tersisa, sementara Tristan bersandar di salah satu rak. Sebenarnya, masih ada beberapa tumpukan buku yang harus dibereskan, tapi karena merasa tidak enak pada Tristan yang menunggunya, Judith memutuskan untuk berhenti menata buku. Ia bangkit berdiri seraya membersihkan gaun tidurnya dari debu yang menempel, "Aku sudah selesai Yah."

"Ayo kembali ke kamar." Tristan menggandeng tangan Judith.

"Ayah?"
"Ya?"
"Kapan-kapan aku boleh jalan-jalan lagi sama Ayah?"
"Tentu saja. Memangnya kau mau pergi ke mana?"
"Hm... Tidak masalah sih ke mana saja, asal bersama dengan Ayah..."

"Bagaimana kalau pergi ke Belanda? Kurasa kau harus melihat kampung halaman ayahmu kan?"

"Ke Belanda? Mau!"

Tristan tertawa kecil, "Tapi, untuk hari ini, kamu istirahat dulu ya! Mengerti kan?"
Judith tersadar, bahwa ia berada di kamar ayahnya. "Loh, kok aku ke kamar Ayah?"
"Memangnya kenapa? Kau tidak mau tidur bersama Ayah?"
"Eh?! A-aku... boleh tidur sama Ayah?"
"Iya, boleh dong. Ayo, sini."

Judith segera naik ke tempat tidur, dan merebahkan diri di sebelah Tristan.

"Kamu suka baca buku sebelum tidur?" Tanya Tristan. Ia berdiri, dan mengambil sebuah buku. "Bagaimana kalau Ayah bacakan buku untukmu?"

"Itu buku apa Yah?"
"Buku Hansel and Gretel, kamu tau?"

Judith menggeleng, "Aku jarang baca buku cerita, Ayah."

"Padahal baca buku cerita anak-anak itu seru lho." Sebuah kenangan melintas di kepala Tristan. Dulu saat masih kecil, ibunya sering memangkunya dan membacakan cerita rakyat untuknya. Tapi tak lama setelah ia masuk ke sekolah militer, ibunya meninggal karena serangan teroris. "Ini cerita kesukaan Ayah, dan kesukaan nenekmu juga."

"Nenekku?"
"Iya, ibu dari Ayah."
"Oh begitu~"

"Sekarang, duduk yang tenang ya, Ayah akan mulai bercerita."
"Iyaa."

Setengah jam berlalu, dan akhirnya Tristan selesai bercerita. Seraya melihat-lihat ulang isi buku, Judith berkomentar, "Nenek sihirnya jahat sekali!"

"Benar."

"Tapi mereka beruntung ya Yah, ayah mereka orangnya baik!"
"Iya."
"Oh ya, Ayah...?"
"Ya?"
"Boleh nggak... kalau ayah menceritakan tentang ibu?"

'Apakah ia teringat ibunya karena cerita barusan?' pikir Tristan. Seorang ibu yang tega meninggalkan anaknya—ya, mirip seperti Judith dan ibunya. Tak lama setelah melahirkan Judith, ibunya meninggalkannya begitu saja, hingga Judith ditemukan oleh seorang biarawati yang sudah tua. Biarawati itu merawat Judith, tapi karena usianya yang semakin tua, ia pun menjadi kesulitan untuk merawat Judith seorang diri. Pada saat itulah Tristan memutuskan untuk mengambil putrinya.

Sebelum masuk ke keluarga Finn, Tristan berpesan pada Judith untuk tidak bertanya-tanya tentang ibunya, atau ikut campur dalam urusan ayahnya. Meski Judith berusaha untuk mendekatkan diri dengan Tristan, Tristan selalu memperlakukannya dengan dingin.

"Ayah~"
"Eh? Oh, maaf, Ayah melamun ya."
"... Ayah?"

"Ah, pertanyaan tadi ya..." Tristan terdiam sejenak, "Memang apa yang ingin kau ketahui tentang ibumu?"

"Ayah dan ibu pertama kali bertemu di mana?"
"Di bar."
"Bar?"

"Ya, tempat di mana seseorang yang berusia di atas delapan belas tahun bisa meminum minuman beralkohol secara legal."

"Legal?"
"Iya. Legal, artinya sesuai dengan hukum yang berlaku."
"Artinya, kalau aku belum berusia delapan belas, belum boleh minum alkohol?"
"Ya, tidak boleh. Selain itu, anak kecil memang tidak dianjurkan untuk minum alkohol."
Judith manggut-manggut mendengar penjelasan ayahnya.

"Judith ingin memiliki ibu?" Tiba-tiba, pertanyaan itu keluar dari mulut Tristan.

Judith terkejut, tak percaya akan pendengarannya sendiri. Selama ini, hal-hal tentang 'ibu' adalah tabu untuk dibicarakan di rumah keluarga Finn. Tapi, sekarang ayahnya tiba-tiba bertanya seperti itu?

'Ayah dari tadi sore kenapa ya? Tiba-tiba jadi baik...' Judith membatin, 'Eh, tapi Ayah juga bilang kalau ia bangga padaku... Jadi, mungkin maksudnya kalau aku terus berprestasi, Ayah akan memberikanku ibu baru?'

"Kau tidak suka kalau punya ibu baru?" Karena Judith tak kunjung menjawab, Tristan menyimpulkan seperti itu. Sebaliknya, Judith malah tersenyum dan memeluknya, "Aku akan senang sekali kalau punya ibu!"

"Bagaimana dengan adik?"

"Aku juga mau!~ Apalagi, adik perempuan! Aku mau mengajak dia belajar, main bareng, terus, minum teh bareng!"

Tristan ikut tersenyum. Ia mengelus-elus kepala Judith, "Ayah punya kabar baik untukmu. Sebentar lagi, Ayah akan menikah, dan kau akan segera mendapat ibu dan adik baru."

"Adik?!"
"Ya, adik perempuan."

Kegembiraan di wajah Judith hilang, digantikan dengan raut wajah berpikir, "Artinya, dia akan menjadi adik tiriku?"

"Ya, benar sekali. Kau keberatan kalau punya adik tiri?"
"Tidak masalah kok." Judith menggelengkan kepalanya.

"Baguslah kalau begitu." Tristan kembali mengelus-elus kepala Judith. "Judith, nanti saat Ayah menikah, Judith tidak boleh datang ya. Ayah adikmu baru saja meninggal, dan membuatnya menjadi sangat tertutup kepada orang luar. Membujuknya untuk ikut ke acara pernikahan saja sudah sangat sulit. Kamu bisa mengerti kan?"

"... Kalau begitu, kapan aku bisa bertemu dengannya Yah?"

"Ayah usahakan secepatnya ya. Tapi, sebelum itu, sebisa mungkin kamu jangan mencoba untuk bertemu dengannya ya. Mengerti kan?"

"Baik, Ayah."

"Putri Ayah yang baik dan cantik." Tristan mengelus kepala Judith, "Sekarang, tidur ya?"
"Iya Ayah."

Tristan pun menarik selimut sampai sebatas bahu Judith. Ia mengucapkan 'selamat tidur', lalu memeluk putrinya, membuat Judith merasa berdebar-debar. Bukannya balas memeluk ayahnya, Judith malah mendorong Tristan agar menjauh, dan segera duduk untuk menenangkan hatinya, "A-ayah, aku mau kembali ke kamarku saja."

"Hah? Kenapa?"

"Ha-habisnya di sini... dingin sekali." jawab Judith, 'Kan nggak mungkin kujawab kalau aku deg-degan tidur sama Ayah!'

"Kan tadi sudah Ayah peluk, memangnya masih dingin?"

Wajah Judith merona. Ia segera turun dari tempat tidur sebelum ayahnya menyadarinya, "Po-pokoknya aku mau tidur di kamarku!"

"Tapi... Kan tidak setiap hari Ayah bisa tidur denganmu?"
"Ng... Tapi aku nggak—"
"Kamu marah ke Ayah?"

"Bukan begitu..." Judith berusaha menenangkan diri, dan berbalik ke arah Tristan. Ia tersenyum, "Ya sudah, hari ini aku tidur sama Ayah deh!"

"Sini, Sayang." Tristan menggeser posisinya agar putrinya bisa berbaring di sebelahnya. Judith berbaring menghadap ayahnya dan memeluknya. Tristan balas memeluknya, "Rasanya Ayah senang jika bisa memelukmu seperti ini."

"Oh ya Ayah?"
"Ya?"
"Besok Ayah masih pergi bekerja kan?"
"Tentu saja, memang kenapa?"

"Ayah, nanti kalau aku masih tidur pas Ayah sudah mau berangkat, bangunin aku ya? Boleh kan?"

"Baiklah, Ayah berjanji."
"Terima kasih Ayah!" ***

The BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang