Entah sudah berapa kali aku mengumpat karena ban mobil belakangku keduanya kempes. Aku berdecak dan mulai menyesali keputusanku pergi dari ibu kota. Niat hati awalnya aku hanya ingin menenangkan diri dan mencari sesuatu yang hilang dari diriku yang entah apa itu. Namun, bukannya tenang aku malah makin emosi dan terkena sial bertubi-tubi.
Lihat saja sekarang, aku dan mobilku tersesat di tempat antah berantah. Samping kiri dan kananku hanya dihiasi pepohonan rindang tanpa ada satupun rumah. Sejak tadi, kendaraan yang lewat juga tidak ada sama sekali. Seakan sengaja membuatku emosi, langit yang sudah gelap menggurkan air hujan yang begitu deras dibarengi dengan suara gemuruh yang memekik telinga.
"Anjing! Mana nggak ada sinyal," makiku sambil memukul stir mobil.
Kalau tau akan dihadapkan dengan masalah menjengkelkan seperti ini. Lebih baik sedari awal aku tidak usah pergi. Aku malah membuang-buang waktuku di sini, sial.
Dari kejauhan nampak secercah cahaya menerangi jalan yang gelap. Meski hujan, aku masih bisa melihat dari kaca mobilku kalau yang tengah mengendarai motor bebek itu adalah seorang pria. Mataku membulat ketika motor itu terjatuh dan si pengendara ikut terguling.
"Jangan-jangan modus mau begal gue?"
Dengan prasangka buruk, aku keluar mobil meski hujan masih terasa deras dan membasahi bajuku. Aku masa bodoh kalau si bodoh yang baru saja terjatuh dari motonya itu punya modus mencelakaiku, aku takutnya dia jatuh sungguhan. Tenang saja, aku jago beladiri, kalau dia berniat jahat pasti nyalinya menciut setelah melihat kemampuan bela diriku.
Begitu sampai di depan pria itu, aku membantunya berdiri. Ternyata bukan modus, motornya benar-benar terjerumus ke kubangan.
"Lo okay?" kataku sambil mengulurkan tangan.
Pria itu mengangguk. "Makasih Kang, saya nggak apa-apa kok."
Aku membantunya berdiri. Tinggi pria ini lebih tinggi dariku, hanya saja tubuhnya tidak sebesar aku. "Ya udah neduh dulu aja di mobil gue."
Pria itu menggeleng. "Nggak usah Kang, saya mau ke masjid."
Mataku menelisik. Benar juga, dia memakai setelan baju koko berwarna putih. Namun, karena kehujanan baju kokonya menjeplak. Terlihat otot-otot kering yang terbentuk alami termpampang jelas di tubuh pria ini. Ku akui, untuk seukuran pria yang tinggal di tempat antah berantah seperti ini, bentuk tubuhnya bisa dikatakan bagus.
Eh sebentar, kenapa aku malah memujinya?
"Percuma lo ke masjid, liat baju lo," kataku menyela, meski aku bukan seorang muslim sedikit banyak aku tau kalau seorang muslim tidak bisa beribadah dengan kondisi tubuh kotor.
Pria itu menggaruk tengkuknya yang kuyakini tidak gatal. "Harusnya tadi saya sholat aja di rumah."
Setelah membantunya mendirikan motor bebek usang reyot miliknya. Aku mengajak pria itu masuk ke dalam mobilku untuk berteduh. Walau awalnya dia menolak, akhinya dia manut saat aku sedikit memaksanya.
"Ngapain pasang seatbelt?" kataku melihat gerak-gerik pria di sampingku yang nampak mau memasang seatbelt dengan susah payah begitu kami masuk ke dalam mobil.
Dengan polosnya dia terkekeh. "Ehehe, maaf Kang saya pikir biar gak rusak harus dipasang ini nya."
Aku tidak menggubris ucapannya itu. Tanganku terulur. "Gue Jordi, lo?"
Pria itu membalas uluran tanganku sambil mengangguk sopan, padahal kalau kuperkirakan kami seumuran. Dasar. "Saya Aidil Kang."
Aku mengangguk. "Lo asli orang sini Dil?"
Aidil mengangguk. "Iya Kang saya asli sini, ibu bapak saya bla blabla..."
Aku menghela napas kasar. Kenapa malah jadi panjang? Niatku bertanya adalah untuk tau apakah pemukiman masih jauh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kejantanan Ustad Aidil
RomanceJordi pria metroseksual yang lelah dengan kehidupannya selama ini, dia punya segalanya, uang, sex, wanita, ketampanan, dia nemiliki semua itu. Namun, Jordi merasa ada lubang yang sangat di dalam hinggap di relungnya. Jordi sadar, gemerlap mewahnya d...