Aku terbangun dari tidurku sambil masih mendapati sepasang tangan memeluk perutku erat. Ujung bibirku tertarik ke atas, lengan Aidil terbalut baju koko yang dia kenakan. Sepertinya, selepas menunaikan kewajibannya sebagai muslim subuh tadi, Aidil kembali tidur dan memeluk tubuhku.
"Dil, bangun udah siang," kataku sambil menepuk-nepuk lengan Aidilm
"Emmmm..."
Aku terkekeh kecil mendengar sahutan Aidil. Ternyata dia cukup sulit dibangunkan.
Berbekal tubuh yang sudah fit, aku menjauhkan tangan Aidil dari perutku. Pelan, kemudian aku meregangkan beberapa bagian sendi yang masih sedikit kaku karena masih pagi.
Setelah beranjak dari kasur, aku sedikit melakukan olahraga ringan. Sudah menjadi kebiasaanku sejak lama kalai setiap bangun tidur aku berolahraga kecil, seperti loncat atau apapun itu yang penting bergerak.
Saat merasa kalau tubuhku sudah mulai bisa di ajak berkegiatan. Aku membuka gorden yang menutupi kamar tempat aku dan Aidil menginap. Begitu jendala terbuka, udara sejuk nan dingin masuk memenuhi kamar, paru-paruku rasanya diperbaharui begitu menghirup oksigen yang amat begitu segar.
Meski cahaya matahari sudah merengsak masuk ke dalam kamar serta menyinari wajah Aidil. Pria itu tak kunjung bangun, dia bahkan malah menutupi wajahnya dengan bantal sambil bergumam tak jelas.
"Emmmm! Masih ngantuk..."
Aku mendekat, lalu kemudian menarik bantal yang Aidil gunakan untuk menutupi wajahnya dari sinar matahari. "Bangun nggak? Atau lo mau gue tinggalin di sini?"
Aidil menarik napas panjang, dia akhirnya bangun dari posisi tidurnya dan saat ini terduduk dengah mata masih terpejam.
"Dil, bangu-"
Lidahku tercekat saat Aidil menyandarkan kepalanya di perutku karena aku tepat berdiri di sampingnya. Kenapa pria ini selalu saja bisa membuat aku mati kutu seperti wanita sih?
"Dil, bangun," kataku lagi, kali ini aku mencolek perutnya supaya si empunya terganggu dari tidurnya.
"Hemm..."
Aidil perlahan menjauhkan kepalanya dari perutku. Jujur saja, ada rasa sedikit tak rela saat dia menjauhkan kepalanya dariku. Kadung nyaman aku dengan posisi tadi, andai saja aku bisa mengelus kepalanya.
"Jam berapa ini Kang?" ucap Aidil dengan suara bangun tidur, dia terlihat beberapa kali mengucek matanya dan meregangkan beberapa bagian otot tubuhnya.
Jariku menunjuk ke arah jam tanganku. "Jam 9, udah cepet sana mandi nanti abis itu gue."
Aidil menggeleng. "Saya udah mandi tadi subuh Kang."
"Ya udah lo cuci muka sana, kusut banget itu komuk."
Aidil manut, sia berjalan ke kamar mandi dengan sempoyongan sehingga membuat aku secaea tak sadar menyunggingkan setitik senyuman. "Dasar..."
***
Sebuah pemandangan epik tersaji di depan mataku. Fenomena alam langka yang terjadi secara alami seakan memberi kesan indah bagi setiap pasang mata yang terkagum dengan keindahannya.
Kawah putih, sebuah danau indah yang tercipta dari ledakan gunung berapi patuha. Kawah putih seakan menjadi bukti bahwa dibalik kehancuran ada sebuah keindahan, definisi sesungguhnya dari sublime beauty and utter destruction.
Bibirku tak henti mengucap kata pujian pada sang pelukis semesta. Apalah aku yang hanya seorang manusia jika disangdingkan dengan sang maha segalanya?
Sambil terus meratapi keindahan kawah gunung patuha, aku sesekali melirik Aidil yang juga sama terpukaunya seperti diriku. Aku bersyukur bisa melihat keindahan di depanku ini bersama orang yang aku cintai, iya aku mencintai Aidil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kejantanan Ustad Aidil
RomansaJordi pria metroseksual yang lelah dengan kehidupannya selama ini, dia punya segalanya, uang, sex, wanita, ketampanan, dia nemiliki semua itu. Namun, Jordi merasa ada lubang yang sangat di dalam hinggap di relungnya. Jordi sadar, gemerlap mewahnya d...