Coli

20.2K 427 23
                                    

Tak pernah terpikirkan olehku aku akan merasakan hal ini. Aku, seorang Jordi harus merasakan panasnya terik matahari yang begitu membakar kulit dan menguras dahaga karena banyaknya cairan tubuhku yang terperah keluar dari pori-pori kulit.

"Dil, neduh dulu ya? Gue capek."

Berbeda denganku, Aidil nampak terlihat baik-baik saja. Padahal kami baru saja mengitari hektaran sawah untuk mengusir hama yang merusak padi. Meski sama berkeringat sepertiku, Aidil tak sedikitpun menunjukkan bahwa dia kelelahan, stamina pria kampung ini benar-benar di luar logika. Aku yang dulu setiap hari pergi gym saja kewelahan karena aktivitas mengitari sawah yang baru saja kami lakukan.

"Duluan aja kang, saya masih harus ngusir burung."

Karena memang sudah lelah dan merasa haus, aku memilih kembali ke saung yang ada di pinggir sawah. Tak lama, Aidil datang mengahampiri dan duduk tepat di sampingku.

"Minum dili Dil," kataku sambil menyodorkan bekal minum yang kami bawa dari rumah.

"Makasih kang."

Mataku entah kenapa malah melihat ke arah jakun Aidil yang naik turun saat dia meneguk air mineral dalam kemasan itu. Tanpa sadar, aku juga malah ikut menaik turunkan jakunku sekarang.

Aidil yang sadat tengah diperhatikan, menoleh padaku. "Kenapa kang?"

Aku menggeleng kikuk, sebenarnya aku ini kenapa sih? Ya ampun, mana mungkin aku tergoda melihat jakun seorang pria. "E-enggak Dil."

"Kang Jo putih ya?" celetuk Aidil tiba-tiba.

Aku sendiri mengakui itu, ini adalah kulit bawaan lahirku. Sebagai chindo tak aneh kalau aku punya warna kulit lebih cerah dari pribumi. Ayahku lahir dan besar di Johor Bahru, Malaysia. Sedangkan ibuku asli Singkawang, keduanya sama-sama chinese.

"Namanya juga koko-koko Dil."

Aidil tertawa. "Punya toko nggak kang?"

"Enggak," kataku balas tertawa.

Aku dan Aidil berbincang kecil, kami membicarakan banyak hal. Dari topik konvensional sampai ke masalah-masalah yang tengah di alami oleh negri walanda ini.

"Kalau istri lo sejak kapan jadi TKW Dil?"

Dengan wajah muram, Aidil memilih tidak menjawab pertanyaanku. Aku juga tidak memaksanya untuk menjawab karena itu haknya.

"Kita makan dulu ya kang," kata Aidil sambil membuka rantang yang kami bawa dari rumah.

Saat rantang itu terbuka, wangi masakan menyeruak memanjakan hidungku. Terlihat di rantang tersebut ada beberapa lauk seperti tempe orek, tahu goreng, cah kangkung, nasi putih dan kerupuk. Semua itu dimasak oleh Aidil sebelum kami ke sini, dia bilang kalau dia memang terbiasa membawa sendiri bekal karena dianggap lebih murah.

"Nasinya banyak nggak kang?"

Aku menggeleng. "Gue ambil sendiri aja Dil."

Aidil manut, dia menyerahkan centong nasi dan sebuah piring plastik berwarna merah padaku. Aku menggapainya dan kemudian mengambil beberqpa sinduk nasi beserta lauk pauknya.

Ditengah sesi makan, aku sesekali melihat ke arah Aidil yang jadi sedikit pendiam sejak pertanyaan tentang istrinya keluar dari bibiku. Aku jadi merasa tidak enak.

Sadar kalau aku sedari tadi fokus memperhatikannya, Aidil menoleh dan dahinya mengkerut. "Kenapa kang?"

"E-er, enggak. Makanan buatan lo enak Dil."

Aidil hanya tersenyum menanggapi ucapanku, dia kemudian kembali melanjutkan kegiatan makannya dengan lahap. Entah kenapa, bukannya makan aku malah melirik tanpa henti ke arah Aidil. Timbul sesuatu yang begitu menggelitik hatiku saat melihat pria kampung ini makan dengan lahap.

Kejantanan Ustad AidilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang