Lupakan Tuhan Semalam

17.1K 345 15
                                    

Sejak kejadian sore kemarin di mana aku melihay Aidil coli, kami sekarang jadi agak canggung. Walau hidup seatap kami lebih sering sibuk dengan urusan masing-masing, terlebih aku yang merasa aneh ketika berdekatan dengan pria itu.

Seperti saat ini, aku tengah menyibukkan diri dengan membalas satu persatu email yang dikirimkan oleh kolegaku. Kacamata bertengger di kupingku, sempat aku hendak melakukan operasi lasik. Namun, karena wanita-wanita yang sering tidur seranjang denganku mengatakan kalau aku lebih terlihat tampan memakai kacamata maka aku mengurungkan niatku. Mungkin karena kalau pakai kacamata, mata sipitku jadi terlihat lebih bulat.

Sesekali, aku melirik Aidil yang tengah mengajari anak-anak sekitar kampung ini mengaji. Pria manis itu tak memungut sepeserpun biaya. Aidil nampak tampan dengan balutan baju koko dan peci hitam bertengger di kepalanya.

Pria seumuranku itu terlihat sesekali tertawa bersama muridnya. Aidil telaten mengajari mereka mengaji. Meski aku tak mengerti huruf-huruf arab, aku sedikit familiar dengan beberapa bacaan yang didengungkan Aidil, merdu sekali.

Mata kami tak sengaja bertemu, aku segera membuang muka dan begitupun Aidil. Canggung sekali, aku merasa seperti remaja yang sedang menjaga jarak dengan kekasihnya. Saling diam dan enggan bicara, padahal kami bukan lagi remaja kemarin sore. Kami ini dua pria dewasa yang sudah sama-sama tau nikmatnya wanita.

Untuk menyibukkan diri setelah semua email menyangkut pekerjaan kubalas. Kubuka situs film legal dan mencari film kesukaanku. Dari film aksi, romantis, horror, entah sudah berapa film yang kutonton, rasanya waktu berputar begitu cepat.

Aku mengintip jendala kamar, kebetulan sejak hari pertama mondok di rumah Aidil aku memang tidur di kamar dan Aidil di sofa. Sempat aku hendak membelikan kasur kecil, tapi Aidil menolak katanya uang gajinya dariku saja sudah kebanyakan. Anehnya, dia seperti tak pernah membelanjakan uang yang kuberikan padanya itu.

Mungkin karena aku hanyut dengan tontonanku, aku sampai tak sadar kalau Aidil dan anak-anak itu sudah tidak ada di ruang tamu. Mereka mengilang dari sana, tak ada suara anak-anak terdengar.

Kumatikan laptoptku, aku berterima kasih kepada provide internet yang baru kubeli siang tadi. Sinyalnya sampai ke kampung ini, walau sedikit mahal sih.

Aku keluar dari kamar mencoba mencari sosok yang membuatku bertahan di kampung ini sampai sekarang, Aidil. Namun, aku tak menemukan sosoknya di dalam rumah sampai kemudian mataku menangkap kehadiran Aidil yang tengah terduduk di pelataran rumah sambil menegak segelas kopi hitam instan.

Aidil melamun, entah apa yang ads di pikirannya saat ini. Namun, dapat kulihat sesekali dia menagacak rambutnya frustasi.

Aku mendekat dan kemudian beridiri tepat di samping Aidill. "Dil..."

Aidil menoleh, dia tersenyum kikuk saat melihatku. "K-kang."

"Boleh gue duduk?" tanyaku pada Aidil, meski tak menjawab dia mengangguk kecil.

Aku kembali berucap, aku tau sikap canggung Aidil timbul pasti karena ketayan sedang melamun. "Maaf bikin lo kaget, abisnya lo keliatan lagi mikiran hal berat. Lo bisa share sama gue kalau lo mau Dil, jangan sungkan."

"Nggak apa kang, saya cuma sedikit ada masalah aja," balas Aidil, dia terlihat mengepalkan tangannya sendiri entah karena apa. Mataku juga menangkap sesuatu menggunung di area selangkangan Aidil, dia sedang ngaceng.

Aku tak tau harus berekspresi seperti apa karena meski aku menyukai wanita tak dapat kupingkiri bahwa aku sepertinya merasakan sesuatu terhadap Aidil. Aku tak tau alasannya, bukankah tidak sopan dan etis menanyakan tentang alasan seseorang menyukai kalian?

"Dil," kataku sambil melihat ke arah rembulan.

Aidil diam, dia kemudian melihat ke arah bulan yang tengah bergelayut manja di atas Langit ditemani taburan bintang malam. Termaram lampu rumah nampak redup sama halnya dengan ekspresi wajah Aidil.

Kejantanan Ustad AidilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang