"Kang, saya minta maaf soal yang sore tadi."
Aku menoleh ke arah Aidil, meski canggung aku tetap mengangkat ujung bibirku ke atas. "Its okay Dil, bukan salah lo."
Setelah perbincangan singkat itu, aku dan Aidil sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Demi apapun aku masih tak habis pikir tentang apa yang kami lakukan, sial! Aku bukan homo tapi kenapa aku begitu menikmati berciuman dengan seorang pria?
Aku tak ingat siapa yang memulai duluan, yang kuingat hanyalah tiba-tiba aku dan Aidil sudah bertukar bibir saat itu. Ck, sungguh demi apapun aku tak percaya kalau aku baru saja berciuman dengan pria.
Jujur, meski aku akui kalau aku punya perasaan terhadap Aidil tapi memikirkan kalau aku baru saja berciuman dengan pria sangatlah terasa aneh. Aku bukan terlahir homo, jadi kupikir hal itu masih tabu untuk dilakukan.
Sambil menghela nafas, aku kemudian melangkahkan kakiku hendak keluar dari kamar ini. Tidak baik kalau aku dan Aidil ada di satu kamar, bagaimanapun aku yakin dia juga pasti shock karena baru saja berciuman dengan aku. Aku tak tau bagaimana ke depannya, hanya saja semoga Aidil tak berusaha menjauhiku. Aku masih sangat membutuhkan dia.
Ketika tanganku sampai di daun pintu, sebuah tangan dengan balutan urat nan hijau menahanku untuk pergi. "Saya rasa kita perlu bicara Kang."
Aku menggeleng. "Nggak Dil, lo di sini biar gue pesen kamar lain."
Aidil menahan kuat pergelangan tanganku. Sejauh mengenalnya, aku tak pernah melihat dia sampai seserius ini.
"Lo mau ngomong apa? Gini, yang tadi itu nggak sengaja, udah."
Aidil menggeleng, dia menyuruhku kembali duduk di pinggir kasur di samping dirinya. "Duduk Kang, ini penting."
Setelah menghela nafas panjang, aku mengikuti kemauan Aidil dan segera duduk di tempat yang dia tunjuk dengan jarinya. Melihat aku duduk, Aidil segera ikut bagian dan duduk tepat di sampingku. Pria desa itu kemudian menatapku intens, sorot matanya seakan menelanjangiku.
"A-apa?" kataku gugup bak perempuan yang sedang kasmaran, bayangkan pria bertubuh bak model susu protein tersipu malu karena ditatap intens oleh pria lain. Aneh bukan?
"Apa yang Kang Jo rasain saat saya liat tepat ke manik mata Kang Jo?"
"Nggak ada," jawabku berbohong.
"Bohong, jawab yang jujur saya bisa tau kalau Kang Jo lagi bohong dari detak nadi Kang Jo," kata Aidil yang ternyata sudah memegang satu tenganku dan malah makin membuatku salah tingkah, sial.
"G-gue..."
"Akang suka sama saya?" tanya Aidil frontal, dia tak menahan diri.
Kupejamkan mataku mendengar pertanyaan Aidil. Aku ingin berkata tidak, tapi hatiku tak bisa berbohong. Aku menyukai dia, membutuhkan sosoknya, aku mencintai Aidil.
"G-gue deg-degan, cuma itu."
"Kang, liat saya," kata Aidil, aku sungguh terkesiap karena dia menangkup pipiku.
"D-Dil."
Aidil melepas cakupan tangannya dan dia segera menggosok wajahnya kasar. "Arghhhh!"
"Dil, gue-"
Aidil tiba-tiba berbalik. "Saya Kang! Saya yang tadi duluan cium Kang Jo! Ya Allah, sebenarnya saya ini kenapa?"
Aku kaget mendengar penuturan Aidil. "Dil, gue... Gue juga."
Aidil menatapku. "Apa? Apanya Kang? Apa?"
"Gue suka sama lo Dil dan gue pikir apa yang lo rasain sama kayak apa yang gue rasain ke lo."
Aidil terlihat kaget mendengar pengakuanku. Tapi kekagetannya hanya sebentar karena setelahnya dia lebih memilih memikirkan apa yang sebenarnya dia rasakan.
Entah kenapa dengan diriku, tanganku dengan sendirinya menyentuh tangan Aidil yang saat ini masih terdiam memikirkan apa yang terjadi. "Dil."
Aidil mendongkak, dia kemudian menatapku. "Kang."
Iblis merasuki nurani dan juga pikuranku, melihat sosok yang begitu aku cintai bimbang membuat setitik api gairah di dalam hatiku menyala dan mengontrol gerak tubuhku.
Aidil terdiam saat tanganku menangkup pipinya yang kasar bekas cukuran, jari jemariku kemudian turun menggapai kumisnya yang sama kasarnya. Tuhan, pria ini begitu sempurna.
Mataku yang tadinya saling mengunci dengan manik Aidil kini turun ke bibir yang sore tadi menari bersama bibirku. "Dil."
Aidil menggeleng. "Jangan Kang."
"Sttt," kataku seraya menempelkan jari telunjuku di permukaan bibir Aidil.
"Kang..."
"Coba sama gue ya Dil? Lo penasaran samà apa yang lo rasain saat ini kan?"
Aidil menggeleng. "Saya nggak bisa Kang, dosa."
Aku menahan gelengan si tampan itu, pipinya kutangkup dengan lembut dan membuat kedua mata kami saling bertatapan satu sama lain. Kepalaku terngiang sebuah perkataan yang pernah kudengar dalam mimpiku beberapa waktu lalu.
"Lupakan Tuhan malam ini, persetan soal dosa. Malam ini hanya ada kita okay?"
Setelah mengatakan itu aku memiringkan kepalku. Pelan tapi pasti bibirku mendekat untuk kembali merasai manisnya bibil Aidil yang sebelumnya pernah aku cecap.
Aidil tak berusaha menolak, dia diam mematung. Lama, ketika hidung kami bersentuhan dan nafas kali saling bersahutan Aidil mulai memejamkan matanya dan...
Cup...
Bibirku mendarat di sebuah benda yamg kenyal tapi juga sedikit kasar. Pemilik daging lembut berwana merah menggoda itu menegang, dia seperti kaget karena bibir kami saling bersentuhan saat ini.
Berbekal nekat, aku menggerakan bibirku untuk mengajak bibir Aidil menari bersama. Namun, meski aku menggerakan bibirku Aidil tak sedikitpun bergerak untuk membalas.
Karena tak kunjung mendapat balasan, aku menjauhkan wajahku dan menatap Aidil. "Di-mphhhh..."
Aidil menciumku, pria itu menerjang bibirku bak binatang liar. Aku terkesima dengan gerakan sensual yang dia buat untuk membuat bibir kami saling tertaut. Demi apapun aku tak menyangka kalau Aidil sehebat ini dalam berciuman.
Aku yakin karena dorongan hasrat Aidil mulai kesulitan mengendalikan nafsunya, dia seperti tak jijik ketika menciumku bertubi-tubi. Bibir Aidil, mencecap, mencium, mencipok bibirku dengan tempo yang luar biasa. Demi apapun aku tak pernah merasa senikmat ini dalam berciuman, Aidil sungguh berada di level yang berbeda. Sungguh aku sangat kesilutan bahkan hanya untuk mengimbangi gerakannya.
Kami berciuman cukup lama, tanpa aku sadari lenganku sendiri sudah mengalung di leher Aidil sedangkan tangan Aidil menahan tengkuk belakang supaya ciuman kami makin dalam. Di sela ciuman, Aidil kemudian menggigit bibir bawahku.
"Oughhhh," desahku pelan, kesempatan itu kemudian dimanfaatkan Aidil untuk memasukan lidahnya ke dalam mulutku.
"Mphhhhh..."
Lidah Aidil bergerilya dan mengeksplor setiap sisi bagian mulutku. Otot basah itu mengabsen setiap barisan gigiku yang putih. Petualangan lidah Aidil diakhiri dengan saling mengaitnya lidah kami dalam tarian penuh liur yang demi apapun sungguh menggairahkan.
Kami saling bertukar saliva, Aidil bahkan tak segan menlan ludah kami yang tercampur karena lidah kami saling mengait satu sama lain tak mau berpisah.
Merada kalau aku sudah kehabisan nafas, aku mendorong dada Aidil menjauh. Rasanya sesak sekali, aku kagum dengan kemampuan Aidil dalam berciuman tapi tadi itu berlebihan. Sulit sekali mengimbangi kemampuan pejantan kampung ini. "Engap Dil."
Saat aku masih menetralkan nafasku, aku merasakan kalau tanganku dibawa oleh Aidil menyentuh sesuatu di dalam celananya. Benda keras bengkok itu sudah bangun maksimal, aku terkagum karena tingkat kekerasannya setara dengan baja.
Aidil membuat aku menagah dengah satu tangannya, mata kami kemudian bertemu dan pria desa itu berucap. "Saya udah nggak tahan Kang, tapi saya nggak mau jadi perempuannya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kejantanan Ustad Aidil
RomansaJordi pria metroseksual yang lelah dengan kehidupannya selama ini, dia punya segalanya, uang, sex, wanita, ketampanan, dia nemiliki semua itu. Namun, Jordi merasa ada lubang yang sangat di dalam hinggap di relungnya. Jordi sadar, gemerlap mewahnya d...