6. EJEKAN DAN USILAN YANG MASIH BERLANJUT

3 1 0
                                    

6. EJEKAN DAN USILAN YANG MASIH BERLANJUT

Setelah hari itu. Hari di mana Algrio mengatakan kalimat yang kelihatan sekali kalau kalimat itu menjurus untuk mengejek diriku untuk yang keberkian kalinya. Algrio tambah menjadi-jadi menyebalkannya. Cowok itu tambah gencar membuatku kesal setiap hari. Setiap hari. Garis bawahi itu. Bukan lagi bila aku tidak sengaja berurusan dengannya seperti sebelum-sebelumnya. Melainkan walau aku tidak mau berurusan dengannya Algrio dengan tingkahnya yang tidak bisa ku prediksi membuatku harus berurusan dengannya seperti sekarang ini bukti nyatanya.

Yang bermula karena dirinya yang datang-datang langsung merusuhiku yang awalnya diam saja ditempat dudukku dan sibuk mengerjakan tugas yang telah diberikan lewat perantara Arga, si ketua kelas, karena guru yang bersangkutan tidak bisa hadir dikarenakan urusan pribadi yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan sehingga saat ini kelasku menjadi jamkos atau yang sering disebut juga dengan free class.

Algrio tiba-tiba saja merampas stip-ex yang tengah aku gunakan dan membawanya ke tempat duduknya yang membuatku sontak terkejut dan spontan menyebut namanya dengan nada kesal, sementara sang empu malah menyahut seraya menggunakan stip-ex hasil dari merampas itu di sana dengan tampang tak merasa bersalah sedikitpun, apalagi tidak enak.

"ALGRIO!"

"Pinjem bentar."

"Tapi, kan, aku lagi make, kamu asal ambil-ambil aja!"

"Bentar doang, Alanna."

Tidak tahan untuk hanya tinggal diam saja melihat kelakuan Algrio tersebut yang astagfirullah. Akupun beranjak berdiri. Mendatangi sosok Algrio yang sampai saat ini masih menghapus sesuatu dibuku tulisnya dengan posisi berdiri juga membungkuk.

Aku berusaha untuk merampasnya kembali seperti sebelum-sebelumnya pula yang hasilnyapun kalian tau tidak jauh berbeda seperti yang sudah-sudah alias GATOT. Gagal total. Tangan Algrio yang lebih panjang juga besar serta gesit lebih dulu mengangkatnya keudara. Menghindari tanganku yang akan mengambilnya dari genggaman tangannya yang bila dilihat dari segimanapun tentu akan kebanting, mengingat tanganku yang tidak sepanjang tangannya itu.

Algrio berucap sembari menatapku. "Neh, neh, neh, ngapain?"

"Algrio! Aku masih make! Kembaliin gak!"

"Asal lo bisa ambil dari gue, gue kembaliin."

"Kembaliin gak! Aku belum selesai tau!"

"Ya, asal lo bisa ambil, gue kembaliin, beneran gue."

Tak membalas namun gerak tubuhku seakan-akan menuruti perkataan Algrio tadi. Meloncat-loncat bak ingin mengambil sebuah apel matang langsung dari pohonnya. Namun tidak kunjung juga berhasil mendapatkannya meski aku sudah loncat dengan sekuat tenaga. Akupun tambah mendumel kepada Algrio karena aku hanya mampu sampai menyentuh telapak tangannya saja.

Aku memutuskan untuk berhenti meloncat-loncat dan kembali memanggil nama cowok itu kesal, namun kali ini lebih kesal. "Algrio!"

"Apa? Kenapa berenti? Buruan ambil. Tadi katanya mau pake stip-exnya."

"Gak mau! Kamunya curang! Ngambunginnya tinggi banget!"

"Gue yang ngambunginnya ketinggian, atau lonya yang kependekan?"

"Kok kamu malah ngejek?!"

"Kok ngejek? Gue kan nanya. Gue yang ngambunginnya ketinggian atau lonya yang kependekan?"

"Tapi itu lebih ke ngejek bukan nanya tau!"

"Kalo lo mikirnya gitu yaudah," katanya mengedikkan bahunya acuh. "Jadi lo beneran gak mau nih stip-ex kan? Kalo gitu gue lanjut pake aja." Bersiap untuk kembali keposisi semula. Membungkuk. Aku yang sudah benar-benar jengah memilih untuk mengalah lagi, lagi, dan lagi, karena bila aku mengikuti kemauan Algrio maka aku tidak akan selesai-selesai mengerjakan tugas yang telah diberikan.

Aku membalas. "Pake aja tuh. Kalo perlu kamu makan sana. Aku gak butuh lagi." Sebelum melangkahkan kedua kakiku menjauh dari radar Algrio yang menyebalkan itu dengan perasaan kesal yang masih belum menghilang dan ntah kapan akan menghilangnya.

Aku merasa Algrio melirik.

Jujur. Aku tidak peduli.

*****

"Stip-ex kamu udah dikembaliin sama Gio?" tanya Larissa yang kini berjalan di sisi kananku, mengarah ke kamar mandi bersama, lebih tepatnya aku yang menemaninya untuk buang air kecil, karena memang seperti itulah sejatinya wanita paling tidak bisa apa-apa sendiri bahkan ke kamar mandi sekalipun, alasannya karena biar ada teman saja untuk mengobrol diperjalanan, agar tidak bosan.

Kuangkat bahuku pelan acuh tak acuh lalu menjawab. "Gak tau, tadi kan langsung aku tinggal, paling kalo udah dikembaliin dia taruh di atas mejaku."

Tertawa kecil sontak saja Larissa memepet kepadaku dan langsung menepuk-nepuk lengan bagian atasku sembari berkata yang terdengar seperti mengejek diriku. "Cup, cup, cup. Jangan nangis ya, nanti kalo gak dikembaliin kita ambil. Cup, cup, cup."

Hal itu tentu membuatku menoleh kearah tangannya menepuk-nepuk lalu ke sang empu dengan raut wajah kebingungan juga aneh. "Siapa yang nangis? Enak aja!"

Yang mana malah dijawab oleh yang bersangkutan. Seperti tengah membuktikan kebenaran atas ucapannya barusan dengan menunjuk tepat pada mataku. "Itu buktinya mata kamu udah berkaca-kaca. Ulu, ulu, ulu."

"Gila!"

Malah tambah tertawa setelah melihat respon tidak habis pikirku atas spekulasinya itu. Seketika saja terlintas dipikiranku ingin menelepon nomor rumah sakit untuk memeriksa saraf Larissa yang sepertinya sudah tidak baik-baik saja itu. Sungguh!

Bersyukur aku tidak harus berlama-lama lagi disituasi yang menyebalkan ini karena akhirnya kita berdua telah sampai di depan kamar mandi. Aku berkata kepada Larissa.

"Aku tunggu diluar aja ya. Lagi males masuk soalnya."

"Oke." Mengacungkan kedua ibu jarinya kepadaku tanda setuju cewek itupun setelahnya bergegas masuk ke dalam. Menuntaskan niatnya untuk buang air kecil.

Berdiri. Menunggu disamping pintu utama Kamar Mandi ini. Kepalaku tergerak menunduk bersamaan dengan tanganku yang ingin membuka kantung seragam. Mau memastikan apakah aku tidak lupa membawa uang sangu hari ini.

Tetapi belum sempat aku mengintip isi dari kantung seragamku. Uluran tangan yang kuyakin itu adalah tangan Algrio.

Mengapa aku bisa seyakin itu?

Karena tangan panjang juga besar itu menggenggam stip-ex milikku. Sticker inisial namaku yang langsung tertangkap oleh indera penglihatanku membuatku tambah yakin bila stip-ex itu memang milikku.

Segera aku mengangkat kepalaku untuk memastikan sendiri kebenarannya. Cowok itupun membuka suara. Berkata yang seakan-seakan seperti menjawab serta membenarkan isi pikiranku itu.

"Stip-ex lo."

"Kenapa gak taro di atas mejaku aja?"

"Biar gak hilang. Gue lagi males berurusan sama guru BK cuma gara-gara lo nangis gue hilangin nih stip-ex."

Tolong ingatkan aku, sudah berapa kali aku merasakan kesal hari ini bila sekarang aku kembali kesal lagi? Tapi jujur bila aku harus berurusan dengan cowok yang ada dihadapanku saat ini tidak pernah rasa-rasanya tidak melibatkan perasaan kesal untukku yang disebabkan oleh ulahnya ataupun perkataannya itu.

Dia pikir aku akan melakukan hal sememalukan itu hanya karena stip-ex yang harganya tidak sampai membuatku menjual salah satu ginjalku ini? Yang benar saja! Aku jadi menyesal telah menanyakan pertanyaan tidak penting tadi.

"Kamu pikir aku bakal ngelakuin itu?! Gila aja!"

"Siapa tau?"

Ceklek.

"Ayo Al—"

"Eh? Algrio? Kalian ngapain?"

Diketik: Kamis, 23 Juni 2022
Dipublish: Senin, 19 Juni 2023

ALGRIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang