Bab 8

367 118 29
                                    

Rizky Anggara Birowo

Tepat pukul sembilan malam, Rizky mengarahkan mobil menuju ke rumah Ananta setelah menjemput Tara yang langsung menempati jok tengah bersiap untuk tidur. “Mayak! Temeni Mas, jangan tidur, Ra!” hardiknya ketika melihat keponakannya menata bantal yang dibawanya, tanpa mempedulikan lirikan tajam dan omelan Rizky.

Sekian menit setelah Tara merebahkan badan, ia berkata, “Gini, ya, Mas. Aku melakukan ini karena sayang kamu, ngerti enggak, sih?!” kata Tara tanpa merubah posisinya.

Dari kaca spion tengah, Rizky bisa melihat kenyamanan Tara bersama bantal dan juga selimut menutup badannya. “Sayang kok ditinggal merem. Harusnya ditemeni ngobrol, lah! Perjalanan kita itu panjang, lho, Ra.”

Tara bangun dari posisi tidurnya dan berkacak pinggang ke arah Rizky setelah mendengar keluh kesah Rizky yang tiada henti. “Aduuuh!” teriak Tara. “Aku itu bantu kamu, biar bisa lebih dekat sama Mbak Ananta. Kalau lihat aku tidur, dia pasti enggak enak mau tidur juga, kan? Jadinya nemenin kamu nyetir. Masak gitu aja harus aku jelasin, sih!” kata Tara yang langsung memukul lengan Rizky. “Lagian, siapa yang punya ide berangkat malem-malem gini? Kamu seharian kan tidur!”

Keponakannya tengilnya itu mengetahui akal liciknya agar Ananta menyetujui ide pergi bersama dengan mengatakan akan berangkat malam. Sebenarnya yang terjadi adalah, ia seharian hanya tidur dan mempersiapkan diri untuk perjalanan darat mereka. Rizky tak tahu dorongan dari mana yang membuatnya berbohong seperti itu. Ketika mendengar bahwa Ananta masih ada pekerjaan, ia pun mengatakan hal yang sama.

Wis, turuo ae. Timbang ngecepret enggak mari-mari!”[1] kata Rizky tanpa mengalihkan pandangan dari jalan Mayjend Sungkono yang masih terlihat ramai. Mendengar kekehan penuh kemenangan dari arah belakang membuatnya semakin jengkel, “Ngguyumu koyok mbak Kunti, Ra! Medheni bocah, turu!”[2]

Rizky terkejut ketika Tara tiba-tiba berpindah ke jok depan, “Mas Eky! Kok bilang gitu, sih!” Melihat kelakuan keponakannya, pria yang hari itu memakai kaos oblong berwarna putih dan celana pendek selutut tertawa terbahak-bahak. Terlebih lagi saat melirik Tara yang mencureng ke arahnya, dan sepanjang perjalanan menuju daerah Surabaya Barat, tak sepatah katapun keluar dari bibir keduanya.

Situasi menjadi berbeda ketika Ananta masuk dan menutup pintu Mobil setelah Rizky turun menjemput dan meminta izin kepada orang tuanya. Wajah memberengut Tara berubah cerah begitu perempuan yang malam itu terlihat manis dengan overall panjang hingga mata kaki meyodorkan satu kotak berisi risoles dan juga pastel. Pekikan dan ucapan terima kasih terdengar memenuhi ruang dengar mobil, membuatnya tertawa dalam hati.

“Bagi!” perintah Rizky setelah melirik Tara singkat.

“Males! Lagian kamu bakalan kesulitan makannya, ntar malah belepotan. Kamu, kan, enggak suka mobil yang kotor dan berantakan, Mas,” jawab Tara sebelum mengeluarkan suara menikmati gigitan pertamanya. “Enak banget, Mbak. bikin sendiri?”

Jawaban Ananta berupa deheman terdengar lembut di telinganya, berbeda dengan suara cempreng Tara yang terkadang membuatnya merasa prihatin pada siapapun yang kelak akan menjadi suaminya. “Mas!” Rizky menoleh dengan segera ketika suara lembut yang beberapa saat lalu ngobrol bersama Tara, “Aku suapin, kalau Mas mau.”

Tanpa berpikir panjang, ia melakukan gigitan pertama tanpa harus mengalihkan mata dari jalan tol yang masih terlihat ramai. “Enak banget, Na!” katanya setelah menelan risoles mayo yang menjadi salah satu camilan favoritnya, dan Tara tahu itu. Perempuan yang terlihat tersenyum pongah ke arah Rizky tersebut seolah berkata, ‘kamu bisa berterima kasih padaku nanti, Mas'

Bisa Karena TerbiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang