Bab 3

463 128 14
                                    

Bapak

Rizky melirik sekilas perempuan berusia enam puluh tahun yang terlihat sibuk dengan batik dagangannya. Sepiring nasi goreng bikinan Simbok—perempuan yang bekerja untuk keluarga mereka semenjak di rumah eyangnya—selalu berhasil mengalihkan dunia Rizky. Hingga panggilang sang ibu tak ia indahkan, hingga getokan di kepala menyadarkannya.

“Kamu itu, ya! Ibu panggil sampai tenggorokan serak kok ya ndak denger, to!”

Astaghfirullah, Ibu! Aku kan lagi makan. Kalau keselek sendok, piye!” protest Rizky yang tetap melanjutkan makan, meski sang ibu berkacak pinggang di belakangnya. “Ibu mau di belakangku sampai kapan?” Tak lama setelah mengatakan itu, ia berdiri untuk mencuci piring bekas makannya. Kebiasaan yang kedua orang tuanya ajarkan semenjak Rizky dan kedua saudara perempuannya duduk di bangku SD.

“Hari ini ada jadwal keluar, ndak?”  tanya Wulandari dari sofa di depan televisi. Tangannya dengan cekatan membuka dan melipat kembali batik tulis yang ada di pangkuannya. Salah satu yang selalu dilakukan ibunya saat barang dagangannya baru diterima, karena tak ingin mendapatkan batik cacat seperti kejadian beberapa tahun yang lalu.

Aroma batik menguar dan memenuhi ruang tengah rumah yang terletak tak jauh dari SMP negeri di jalan Tenggilis Mejoyo itu. Saat seperti ini, ia bisa membayangkan memasuki Pasar Klewer ketika mengantarkan ibunya berbelanja batik setiap kali mereka pulang ke Solo. Kegiatan yang selama beberapa tahun ini tidak mereka lakukan karena sang ibu yang yang tidak diijinkan terlalu lelah.

“Ntar mau visit habis salat Zuhur, Bu,” jawab Rizky yang duduk berselonjor kaki tak jauh dari ibunya yang tak bisa diam meski usia mengharuskannya untuk mengurangi kegiatan. Perempuan yang menjadi tanggung jawabnya semenjak sang bapak berpulang beberapa tahun yang lalu.

Tiba-tiba bantal kursi melayang ke arahnya, “Gayamu visit koyok dokter ae, Mas![1]Setiap kali ia menggunakan kata tersebut selalu membuat sang ibu cemberut ke arahnya. Rizky tertawa melihat wajah jengkel ibunya dengan tawa tarbahak-bahak.

"Kalau bilang mau ke warung, Ibu pasti bilang koyo wong kurang kerjaan ae ngalor ngidul sobo warung[2], ya, kan?"

Tanpa merapikan batik yang masih berserakan, Wulandari meninggalkan Rizky yang sibuk dengan ponsel di tangannya. "Sak karepmu[3], Mas. Pokoknya nanti kalau Tara datang, suruh ke Ibu dulu. Jangan diajak pergi-pergi dulu."

“Nggih, Bu,” jawabnya tanpa mengalihkan mata dari ponsel yang menunjukkan pesan dari perempuan yang di nanti sang ibu. Ia tahu ibunya pasti  meminta cucunya itu membawakan sesuatu dari Yogya. Semenjak perempuan berambut panjang itu meneruskan pendidikan di kota pelajar, setiap kali pulang ke Surabaya selalu memberi kabar pada Wulandari. Seperti menemukan ekspedisi murah dari Yogya- Solo ke Surabaya, sang ibu selalu meminta anak kakak sepupunya itu untuk membawakan batik atau bahkan makanan khas yang hanya bisa ditemukan di sana.

“Ibu pesan apa sama Tara?” teriaknya pada sang ibu yang sudah meninggalkannya menuju dapur.

“Pesan menantu, puas!” jawaban Wulandari membuat pria bertubuh tinggi langsing itu terguncnag karena tawa. Perempuan tercintanya yang tak pernah lelah memintanya untuk menikah terkadang memiliki cara untuk mencerahkan harinya. Seperti saat ini, ketika belum ada calon istri di dalam pikirannya. Bukan karena Rizky tak ingin menikah, tapi murni karena ia belum bertemu dengan seorang perempuan yang membuatnya ingin menikah.

Rumah kedua orang tuanya berada tak jauh dari Universitas Surabaya, di atas tanah seluas kurang lebih 600m2. Rumah utamanya terdiri dari 4 ruang tidur, 3 kamar mandi dan 1 kamar pembantu. Di Bagian belakang sejajar dengan garasi, terdapat 1 paviliun yang difungsikan sebagai guest house. 

Bisa Karena TerbiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang