Bab 10

383 123 9
                                    

Toy city

Sebulan setelah kepulangan mereka dari Yogya, ia melihat Ananta berdiri di depan toko mainan di salah satu Mall yang terletak tak jauh dari Balai Kota. Rizky tersenyum ketika menyadari perempuan itu terlihat bosan dan sesekali melihat ke dalam toko mainan yang terlihat ramai. Tempat yang sama akan Rizky tuju siang ini.

Rizky mendekati perempuan yang menyadari kehadirannya ketika langkahnya tinggal sejengkal darinya. “Lho, Mas Eky. Apa kabar?”

Hingga malam hari mereka berkeliling Yogya menikmati pilihan kuliner yang ditawarkan kota pelajar. Keduanya menikmati pilihan Tara, tanpa ada protes yang dilayangkan keduanya. “Mas Eky, mau? Eh, Mas Rizky. Sorry, ketularan Tara. Karena keseringen dengar dia sebut Mas Eky bukan Rizky,” kata Ananta ketika ingin menawarkan empal daging yang terlihat menggoda dari piring di depan perempuan yang telah berganti baju dengan oversize Tshirt dan juga celana jeans berwarna gelap.

Meski ia sempat terkejut mendengar panggilan itu. namun ia menyadari bahagia yang menelisik ke dalam hatinya ketika mendengar nama Eky terselip di bibir Ananta, “Enggak apa-apa. Kamu bisa panggil Eky, kalau kamu mau?”

Rizky tersenyum ke arah Ananta ketika mengingat pertama kali perempuan di depannya ini memanggilnya dengan nama kecil yang hanya digunakan oleh keluarganya. Ia masih merasakan euforia mendengar nama itu meluncur dari bibir penuh Ananta siang ini.

“Hai. Sendiri?” tanyanya. Karena bagi Rizky keberadaan Ananta di depan toko mainan dan sesekali melirik ke dalam toko terlihat janggal. “Sama siapa?”

Rizky mengikuti arah kedikkan dagu Ananta. Ia melihat seorang perempuan dengan anak pria seumuran dengan Anjas dan Mara, anak dari kakak perempuannya, yang kebetulan akan berulang tahun tepat di hari Sabtu besok. Karena itulah ia berada di depan toko mainan saat ini. “Kakak?” tanyanya yang dijawab dengan anggukan kepala. Perempuan yang siang itu terlihat berbeda dengan rambut berwarna coklat terang, membuat Rizky merindukan warna abu yang selama dua hari menjadi pemandangan biasa baginya.

“Mas mau masuk? Silahkan, lho. Aku bisa lama kok disini, karena keponakanku selalu menghabiskan waktu hampir tiga puluh menit untuk memilih satu macam mainan. Itu kenapa aku memilih di luar dari pada mati bosan menunggu dia mengambil keputusan.” Ananta tersenyum geli menceritakan kelakuan keponakannya yang mirip dengan kedua keponakannya.

Karena tak ingin terlalu lama berdiri menghalangi jalan, ia pun meninggalkan Ananta setelah berjanji untuk menghubunginya nanti. Rizky tahu arah yang akan di tujunya, ia berhutang satu set hot wheel dan playdough untuk kado ulang tahun Anjas dan Mara.

Saat berjalan diantara kotak hot wheel yang tersusun rapi, ia mengingat kembali telepon yang masuk ketika ia sedang rapat bersama beberapa orang. Beruntung rapat sudah selesai, dan mereka hanya tinggal menyelesaikan detail kecil untuk kerjasama mereka.

"Mbak, aku telpon nanti. Lagi meeting," jawab Rizky yang berharap melihat wajah kakaknya, ternyata yang dilihatnya adalah duo kancil yang langsung membuat hatinya menghangat. Karena kesibukannya akhir-akhir membuatnya jarang menengok keduanya

"Om Eky, aku mau ini—“

"Aku mau yang ini ya, Om. Jangan lupa—“

Serbuan suara dari ponselnya membuat beberapa orang tertawa melihatnya. Rizky meminta waktu sepuluh menit untuk menjawab telepon, ia berdiri dan keluar dan mencari tempat yang sedikit sepi.

"Tunggu, Om Eky bingung nanti. Ngomong satu-satu. Anjas dulu." Suara Mita terdengar menengahi kedua anaknya yang masih saja berbicara bersamaan. Menuntut perhatian darinya yang hanya bisa tertawa melihat kelakuan keduanya.

Bisa Karena TerbiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang