02. Topi hitam

3 1 1
                                    

Mentari pagi menyelinap masuk. Menghangatkan ruangan yang semalaman kedinginan. Sinarnya perlahan memaksaku sadar, membangunkanku tanpa suara.

Pelan-pelan mencoba membuka mata. Mengumpulkan nyawa yang masih berlarian di awang-awang. Aku membalikkan badan menatap langit kamar, berfikir keras mengingat mimpi semalam walau tak kunjung teringat.

Aku menyerah dan beranjak dari kasur. Hal pertama yang selalu kulakukan setiap pagi; mengecek handphone.

 Hal pertama yang selalu kulakukan setiap pagi; mengecek handphone

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tersenyum kecil. Tak pikir lama aku segera mengirim pesan balasan untuknya.

Zinnia : Maaf ya, tuan putri baru bangun🥹

Sebenarnya hari ini kita berencana menghabiskan akhir pekan bersama. Aku terkekeh membayangkan dia kesal menungguku dengan pakaian rapinya. Bahagianya aku melihat Hugo jengkel.

_______________________

Hugo mengajakku ke mall AENO. Katanya, ada toko es krim kekinian yang tengah viral disana. Memang selalu seperti itu, Hugo paling tau semua tempat viral sejagat Bogor, dan aku hanya membuntutinya.

Saat sampai di depan toko es krim, aku sedikit terkejut melihat keramaian toko itu. Orang-orang mengantri bahkan sampai keluar toko.

Ini bukan kali pertama aku mengunjungi toko yang sedang viral. Tetapi masih saja aku bingung bagaimana orang-orang bisa bersabar dalam mengantri.

Tak berlama-lama, Hugo menarikku ke dalam antrian. Aku berdiri di sampingnya.

"lo ngeh ga? baju kita hari ini lagi serasi banget" ucap Hugo.

Aku bergantian melihat pakaianku dengannya.

"emang kenapa?" tanyaku.

"jadian yuk?" balasnya cuek.

Aku tak habis pikir dia mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang menurutku sakral, karena belum ada yang pernah menyatakannya untukku.

Benar-benar tak habis pikir.

Pria buaya itu nyata. Hugo salah satunya.

"gigi lu jadian" ucapku ketus. Hugo hanya tersenyum kecil mendengarnya.

Antrian kami semakin mendekat. Semakin masuk kedalam toko, semakin banyak orang dan semakin sempit. Aku menaruh tanganku di pundak Hugo agar tidak terpisah karna berdesak desakkan.

Entah kenapa aku menyesal melakukannya.

Hugo bertumpu menjepit tanganku dengan dagunya. Tanpa sepatah kata pun, dan ekspresi yang entah tak bisa diartikan. Sesuatu juga seperti mengalir dalam tubuhku, rasanya aneh.

Lupakan itu, kini kami sudah berada di paling depan antrian untuk memilih menu. Tentu saja aku memilih vanilla dan Hugo coklat.

Beranjak dari toko itu, kami duduk di rooftop mall. Agak panas, tapi masih ada angin yang berseliweran, cocok untuk makan es krim.

"Lebih enak dari es krim mang Aceng," ucapku.

"Nying!, mang Aceng sedih loh kalo denger," godanya berpura-pura sedih.

"Dih, cepu banget lo!" balasku dengan sedikit mendorongnya. Hugo tertawa lepas melihatku.

Saat itu angin tiba-tiba berhembus kencang meniup rambutku yang terurai. Menutupi wajahku membuat berantakan seperti habis terkena badai topan. Hugo semakin kencang menertawaiku yang terlihat kacau, sepertinya habis ini rahangnya akan copot.

Aku melihatnya jengkel sembari mencoba merapikan rambut. Sadar dengan itu tawa Hugo mereda dan mulai membantu merapikan rambutku. Dia juga membuka topinya dan memakaikannya untukku.

"Nah, Tuan Putri udah cantik lagi." sambil mengelus pelan kepalaku dan tersenyum.

Hugo WandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang