2 - Left

730 71 0
                                    

2 – Left

"Pak Remy, maaf ..."

Remy menyela permintaan maaf Asha itu dengan kibasan tangan. Mereka melangkah melintasi lobi hotel menuju mobil yang sudah menunggu mereka di depan pintu lobi.

"Kamu tahu itu bukan salahmu, jadi kamu nggak perlu minta maaf," tepisnya kemudian.

"Tapi, ini malam pernikahan Pak Remy ..."

"Dan aku tahu, kamu pasti udah berusaha nyari solusi sebelum kamu akhirnya terpaksa harus ngabarin aku, kan?" tembak Remy.

"Saya benar-benar sudah berusaha, Pak," ucap Asha.

"Seberusaha apa pun kamu, kamu cuma sekretaris dan lawanmu eksekutif," tandas Remy. "Makanya, udah aku bilang, kenapa kamu nggak mau jadi eksekutif aja dan bantuin aku ..."

"Pak Remy," tegur Asha, menghentikan rentetan kalimat Remy.

Remy berdehem. Ia tahu alasan Asha tidak bisa melakukan itu dan harus terus bersembunyi di belakang Remy sebagai sekretarisnya.

Mereka tak lagi bicara hingga mereka masuk ke mobil. Namun, ganti Neo, sopir sekaligus asistennya, yang bicara,

"Bagaimana malam pertama Pak Remy?"

Pertanyaan seperti itu ditanyakan Neo dengan ekspresi dingin dan nada datar. Seolah itu hanya seperti pertanyaan tentang kabar seseorang, atau tentang cuaca.

"Kamu." Remy menatap belakang kepala Neo tajam. "Dari mana kamu dapat video sebanyak itu tentang ..." Remy berdehem, "itu?"

"Kalau Pak Remy mau tahu, saya bisa memberikan alamat web-nya ..."

"Aku nggak mau tahu," desis Remy.

Malam pertamanya dengan Lana malam ini disponsori oleh puluhan video yang dikirimkan Neo pada Remy dan dipelajari Remy selama sebulan terakhir ini. Meski, ia tidak tahu apakah hasilnya cukup memuaskan wanita itu. Dia tampak kesakitan tadi, tapi setelah itu ... entahlah. Dia tidak mengatakan apa pun, jadi Remy tak seharusnya menebak-nebak, kan?

"Jika itu masih kurang, saya akan mengirimkan video lainnya ..."

"Enough with that stupid video!" bentak Asha sembari memukul kepala Neo dengan berkas di pangkuannya dari kursi penumpang depan.

Dari semua orang yang dikenal Remy, hanya Asha yang berani melakukan hal seperti itu pada Neo. Di mana pun Neo berada, dia selalu saja menakuti orang-orang dengan sikap dan ekspresi dinginnya. Jangankan pada orang lain, pada Remy pun dia selalu bersikap dingin, padahal Remy adalah bosnya. Hanya ada satu orang yang bisa meluluhkan sikap dingin Neo dan orang itu tak ada di sini.

Remy berdehem. "Kamu nggak perlu ngirim video kayak gitu lagi ke aku," tegas Remy.

"Baik, Pak," jawab Neo.

"Lagian, ngapain juga sih, kamu ngirim video kayak gitu ke aku?" omel Remy.

"Karena itu sudah menjadi tugas saya sebagai asisten Pak Remy," jawab Neo.

"Tapi, aku nggak pernah nyuruh kamu ngirim video itu," desis Remy.

"Karena saya tahu, Pak Remy tidak pernah punya waktu untuk hal seperti itu," tukas Neo. "Setiap hari, saya hanya mengantar Pak Remy ke rumah, kantor, atau ke lokasi meeting, terkadang ke lokasi proyek." Neo membenahi kaca spion tengah dan menatap Remy dari sana. "Dan Pak Remy tidak pernah menyuruh saya berhenti mengirim video itu."

Dengan sikap dinginnya itu, Remy heran bagaimana Neo bisa begitu banyak bicara jika berhadapan dengan Remy. Itu pun, hanya dengan Remy. Lihat, ketika Asha menyuruhnya untuk tutup mulut dan membawa mereka pergi dari sana, dia tidak membantah dan melakukan perintah wanita itu.

Cih!

Remy memalingkan wajah ke arah jendela mobil, tapi dia hanya bisa melihat bayangan dirinya di kaca yang gelap itu. Jika sekarang ... Lana pasti sudah tidur, kan?

***

Keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, Lana berjalan ke dinding kaca suite room itu. Ia menarik tirainya terbuka. Berlatar samar bayangannya, dia bisa melihat pemandangan malam di luar sana. Kerlap-kerlip lampu yang seolah tak pernah padam dari bangunan di sekitar gedung itu membantu penglihatan Lana.

Tak hanya itu, bahkan meski malam sudah selarut ini, tapi masih banyak lampu kendaraan yang lalu-lalang di jalan depan gedung hotel itu. Di antara mobil-mobil yang ada di luar sana, ada mobil yang membawa Remy pergi beberapa saat lalu.

Lana penasaran, apa yang dilakukan Remy dengan Asha di luar sana? Apakah wanita itu merasa tidak tenang jika Remy menghabiskan malam ini dengan Lana?

Jika dipikir-pikir, rasanya mereka tak pernah terpisahkan. Di mana ada Remy, selalu ada Asha. Lana tak begitu memedulikan itu ketika awal-awal ia mengenal Remy dan Asha sebulan yang lalu. Namun, selama proses ia mempersiapkan pesta pernikahannya, seringkali orang-orang dari event organizer, bahkan dari pihak butik yang menyiapkan gaun pernikahannya, mengira jika Ashalah yang akan menjadi mempelai wanitanya.

Mereka memang tampak serasi. Asha bertubuh pendek dan kecil, tak seperti Lana yang bertubuh tinggi. Meski, tentu saja, Remy lebih tinggi dari mereka berdua. Namun, bukankah Asha tampak lebih pas di pelukan pria itu jika berdasarkan tinggi mereka?

Lana mendecak kesal. Ia tak tahu kenapa belakangan ia selalu memikirkan hal-hal tak penting seperti ini. Ia hanya perlu menjalankan perannya dan menjalani hidupnya.

Ia dijodohkan dan dinikahkan kilat dengan Remy untuk perusahaan. Sekarang, perusahaan keluarga mereka sudah bekerja sama. Dengan begini, kakak Lana bisa mengamankan posisinya sebagai pimpinan perusahaan. Karena dia memiliki dukungan Remy yang sekarang menjadi adik iparnya.

Lana tak lebih hanyalah tali yang menghubungkan mereka. Kenapa tidak mereka saja yang menikah?

Sungguh ... ironis.

Untuk siapa pernikahan ini? Bahkan saat ini, kamar ini terasa begitu dingin.

***

A Cold MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang