11. The Reason

8 4 1
                                    

Malam yang indah, merupakan kalimat yang rutin Chander katakan setiap harinya di sini. Karena, di sini hanya ada bulan. Saat Leila lahir di dunia ini, bintang dan bulan sedang menyinari langit. Maka dari itu, ia dinamakan 'Leila'. Dan salju pertama turun di malam dimana ia menemukan bayi ini. Maka dari itu....


"Hahaha, kau lihat? Layla saja sedih tidak disetujui."


Chander menamakan anak ini Layla. Ia bisa membayangkan istrinya menegur selera namanya yang tidak pernah berubah. Tetapi, ia tidak keberatan. Memang ia sangat payah untuk memberikan nama, namun Chander tidak menyesali nama yang ia beri kepada Layla.


Malam ini, malam pertama mereka bertemu--


Chander akan berusaha untuk menjadi ayah yang baik, setidaknya untuk anak ini. Tragedi yang dulu pernah terjadi, Chander tidak akan membiarkan tragedi itu terulang kembali. Kali ini, ia akan membesarkan Layla dengan layak. Ia akan membahagiakan anak ini, yang dibuang entah oleh siapa.


.


.


.


.


"Aku dan Leila tidak akan bisa kembali. Maka dari itu, Chander... keinginanku... kabulkanlah..."


Chander tidak mempedulikan istananya yang kotor. Ia masih bisa melihat api hitam dari ujung matanya yang masih berkobar. Ia masih bisa melihat mayat-mayat hewan buas di sekitarnya. Ia juga masih bisa mencium bau darah yang menyengat. Tetapi, yang bekerja dengan baik hanyalah pendengarannya-- Chander hanya bisa mendengar suara wanita itu. Tidak, lebih tepatnya, Chander ingin mendengar suara wanita itu.



"A-apa itu!? Nggak, jangan bilang kamu tidak bisa kembali! Aku-- aku akan melakukan apapun, bahkan kalau bayarannya jiwaku sekalipu--"


"Berbahagialah.... Di dunia tanpa aku, dan Leila.... ber..bahagia..lah..."


Semakin lama, suara wanita itu semakin memudar, bersamaan dengan cahaya di manik berwarna jingganya,


"......Lia...? LIA!"


Chander menggenggam erat tangan seorang wanita yang tertidur di pangkuannya. Tangannya dingin. Chander pun mengeratkan pegangannya, menggunakan sihir untuk menghangatkan tangan wanita itu. Wanita bersurai merah muda itu tersenyum. Senyumannya membuat darah yang menutupi wajahnya tidak terlihat, setidaknya oleh Chander.


Sambil merasakan kehangatan di tangannya, wanita itu berkata, "Ah... aku.. bersyukur... bisa ketemu... aku.. ak--"


"K-kamu bicara apa, Lia!? Mana bisa aku bahagia tanpa kamu!"


Sial... sial, gumam Chander. Air matanya menghalangi pemandangan di depannya. Wajah Lia sudah tidak terlihat dengan jelas. Apakah Lia tersenyum? Atau ia sedang menahan kesakitan, dengan senyuman palsunya? Apapun itu, Chander harus melihatnya. Rasanya, ia tidak akan bisa melihatnya lagi. Chander tidak ingin itu. Pikirannya berantakan, ia pun tidak mendengar jelas apa yang istrinya katakan. Pria itu tidak bisa membayangkan kehidupannya tanpa Liliana.

Her Plain WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang